LINTAS ATJEH | JAKARTA - Seorang wanita asal Jakarta, Indonesia pertama kali mengenal ganja ketika ia pindah ke Amsterdam pada awal tahun 2000-an untuk menempuh pendidikan tingkat tinggi.
Menetap di negara Kincir Angin lebih dari 1 dekade, wanita berusia 41 tahun itu telah terbiasa dengan gaya hidup para warga Amsterdam.
"(Di Amsterdam), sudah biasa orang menghisap ganja di kedai kopi di kota," ujar Pat, seperti dikutip dari The Jakarta Post.
Pada tahun 1976, pemerintah Belanda mengizinkan penggunaan ganja di kedai kopi untuk tujuan rekreasi. Setelah menuntaskan pendidikan bisnis di Amsterdam, pada tahun 2015 Pat pindah ke Barcelona dan mulai bertani ganja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ide itu datang beberapa tahun setelah berbisnis alat-alat indoor dan rumah kaca. Pat sendiri terinspirasi dari para pelanggannya yang telah bertani ganja, baik di dalam skala industri maupun skala yang lebih kecil seperti perumahan.
Ia memulai bisnis ganjanya dengan menanam 500 batang ganja high-cannabidiol (CBD) di dalam suatu ruangan.
"Dari awal saya sebenarnya tidak menanam bijinya. Di sini banyak biji yang sudah ready, jadi, para petaninya hanya perlu menyediakan lahan dan mengurus perizinan dan pemeliharaan," paparnya.
Ganja high-cannabidiol paling banyak tumbuh di Barcelona, karena kandungan tetrahydrocannabinol (THC)-nya yang rendah. Pemerintah Spanyol mengizinkan budidaya ganja dengan kandungan THC maksimal 0.02%.
"Kandungan di atas itu dilarang, apalagi untuk memasarkannya, Anda harus berurusan dengan badan hukum," ujarnya.
Kadar THC yang tinggi di dalam ganja bisa mengakibatkan kecanduan, jadi beberapa negara menetapkan hukum yang membatasi kadar dari kandungan tersebut. Namun dengan memiliki izin penelitian, ia tidak akan menghadapi masalah hukum jika ada tanamannya yang mengandung lebih dari 0,02% THC.
"Dengan izin penelitian, saya bisa memantau kadar THC supaya tidak melebihi batas," jelasnya.
Pemerintah Spanyol mewajibkan para petani ganja untuk membayar layanan spesialis untuk memantau penelitian dan pengembangan data para petani tersebut.
"Jadi, kami harus mengeceknya setiap saat," katanya.
Selama satu tahun, ia bisa menikmati panen sampai 3 kali dengan rata-rata 8 sampai 10 kilogram per panennya. Kemudian ia bisa menjual hasil panennya itu dengan harga sekitar 3.000 Euro per kilogram atau setara dengan Rp52 juta.
"Ya, bisnis ganja sangat menjanjikan di sini, ucapnya. Ia bahkan berencana untuk membangun perkebunan ganja yang lebih luas,"jelasnya.
Pat -bukan nama aslinya- berharap suatu hari nanti Indonesia bisa mengizinkan penggunaan ganja. Pasalnya secara finansial, industri ganja sangatlah menjanjikan.
Sama seperti Rom (bukan nama asli), petani ganja asal Medan, Indonesia yang sudah mengadu nasib lebih dari 20 tahun di Amerika Serikat. Sebelum bertani ganja, pria yang kini menetap di New York ini pernah bekerja sebagai koki di restoran cepat saji dan juga menjadi seorang teknisi instalasi satelit.
Pada tahun 2009, temannya mengajaknya untuk berlibur ke Humboldt County di California, area yang populer atas budidaya ganja, yang menghasilkan miliaran dolar untuk perekonomian kota tersebut.
"Di sana sangat sepi, terasa seperti penyembuhan. Prospek bisnisnya juga sangat menjanjikan," ujar pria berusia 44 tahun ini.
Sepulangnya dari liburan itu, Rom mulai memikirkan ide untuk menanam ganja. Ia akhirnya melakukan penelitian secara bertahap sebelum perlahan-lahan menjadikannya sebagai bisnis.
Pada awalnya, ia mulai menanam 5 biji ganja dan 1 tanaman induk untuk dikembangkan. Lalu ia melakukan kloning untuk memproduksi berbagai jenis biji ganja.
Saat ini, Rom menjalankan proyek budidaya ganja di skala yang lebih besar. Dengan dukungan para investor, ia mengembangkan kebun ganja seluas 25 hektare di Oklahoma City.
Selain itu, ia juga mengelola 100 kebun ganja dengan mendirikan 100 rumah kaca, di mana 80 di antaranya telah dibangun. Hasil panennya kini bisa mencapai 30-60 pon atau setara dengan 14 kg-27 kg per minggu dengan harga sekitar 3.000-4.000 dolar Amerika per pon atau senilai dengan Rp43 juta-Rp57 juta juga per 0,45 kg.
"Harganya bisa berbeda-beda, tergantung bentuk, bunga, warna, dan bahkan rasa, ada rasa lemon dan jeruk," jelasnya.
Pemerintah New York telah memperluas izin penggunaan ganja dari yang awalnya untuk kebutuhan medis semata, kini menjadi untuk kebutuhan rekreasi juga. Menurut Rom, hal tersebut akan membuka potensi besar bagi industri ganja di kota besar itu.
"Sangat menjanjikan. Permintaannya sangat tinggi, hingga berapa banyak pun hasil panen, sepertinya tidak akan pernah mencukupi permintaan tersebut," ujarnya.
Rom menilai bahwa kesuksesan kota yang mengizinkan penggunaan ganja akan menginspirasi banyak kota, termasuk kota-kota di Indonesia. Menurutnya, pemerintah Indonesia harus mempelajari bidang apa saja yang akan memperoleh keuntungan dari industri ganja.
Ia percaya bahwa dengan pendidikan, pengetahuan, serta kebijakan dan penegakan hukum yang jelas dan baik, pemerintah Indonesia pasti bisa melegalkan penggunaan ganja.
Di Indonesia sendiri, gerakan yang mendukung legalisasi ganja telah berlangsung selama 5 tahun terakhir. Salah satu kampanye yang paling aktif dilaksanakan oleh Lingkar Ganja Nusantara (LGN) yang berada di bawah naungan Yayasan Sativa Nusantara (YSN).
Direktur Eksekutif YSN, Dhira Narayana menyatakan bahwa selama mengampanyekan legalisasi ganja lebih dari 5 tahun, ia berharap akan semakin banyak orang yang setuju dan memahami ganja dengan baik.
"Kami ingin masyarakat bisa melihat ganja sebagai peluang sosial bisnis," ujar Dhira.
Direktur penelitian dan kampanye Sativa Nusantara Foundation, Iganisia Satyagraha, menambahkan bahwa tantangan terbesar untuk melegalisasi ganja di Indonesia adalah ganjaphobia. Ganjaphobia sendiri berarti ketakutan berlebihan terhadap ganja, akibat informasi yang salah.
"Masyarakat juga perlu diberitahu bahwa ganja bukan hanya untuk dihisap, melainkan juga berguna untuk pengobatan, sandang, dan industri komoditas," ujar Iganisia.
"Karena propaganda tentang efek buruk ganja telah disebarluaskan sedemikian rupa sejak sekian lama," pungkasnya.[Sariagri]