LINTAS ATJEH | YERUSALEM - Konflik Israel dan teroris Hamas di Gaza, Palestina, tidak bisa dilepaskan dari tokoh bernama Khaled Mashal, lahir di Silwad, sebuah desa di utara Ramalah, Palestina, 28 Mei 1956.
Khaled Mashal, inilah, tokoh paling utama teroris, pemegang remote control jarak jauh, setiap kali Hamas (Gerakan Pertahanan Islam) melakukan aksinya, mengganggu ketenangan Israel, sebagai proxy Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah.
Khaled Mashal, hidup mewah di Doha, Qatar, dengan total kekayaan pribadi hasil perhitungan para analis terorisme mencapai Rp36,400 triliun (US$2,6 miliar) tahun 2020.
Pukul 18.00 WIB, Minggu, 16 Mei 2021, jaringan televisi berita berbasis di Doha, Ibu Kota Negara Qatar, Al Jazeera (aljazeera.com), melaporkan, korban tewas warga Palestina di Gaza sudah mencapai 170 orang, dimana 41 orang di antaranya anak-anak, dan warga Israel dilaporkan tewas mencapai 10 orang.
Khaled Mashal, terus bergelimang harta di Doha, di balik ratusan warga Palestina di Gaza, selalu menjadi korban jiwa, setiap kali konflik dengan Israel.
Dompet Khaled Mashal, terus menebal, setiap kali muncul konflik. Khaled Mashal menyusun proyek agitasi, berbagai bentuk audio visual palsu, berupa derita nestapa rakyat Palestina.
Masyarakat beragama Islam dari berbagai negara, mengumpulkan donasi. Uangnya masuk satu pintu, yaitu Khaled Mashal.
Uang hasil donasi, kemudian dibeli senjata, biaya pelatihan militer, mendidik tenaga perakit roket dan bom, sekitar 40 persen dari dana donasi yang masuk.
Sisanya, sekitar 60 persen, untuk biaya hidup bermewah-mewahan Khaled Mashal dan petinggi Hamas lainnya yang tengah berada di luar negeri.
Agen intelijen asing yang negaranya menjadi pesaing Amerika Serikat (AS), seperti Federasi Rusia, China dan Iran, serta menginginkan Hamas menjadi proxy, selalu menghubungi Khaled Mashal di Doha.
Singkat cerita, Khaled Mashal, selalu menjadi tokoh penting, setiap kali Hamas dimanfaatkan untuk menggangu ketengangan Israel, sebagai proxy AS di Timur Tengah.
Tercium Mossad
The Jerusalem Post, menyebutkan, Ha-Mossad le-Modiin ule-Tafkidim Meyuhadim (Mosaad), agen intelijen Israel, sejak Maret 2021, sudah mencium gelagat Khaled Mashal, akan membuat gara-gara, selama puasa umat Islam, menghadapi Idul Fitri 1442 Hirjiah (Kami, 13 Mei 2021).
Analisis Mossad mengacu kepada keterlibatan intelijen Rusia, China dan Iran untuk memanfaatkan Hamas, sebagaimana reportase Al-Monitor, sebuah program televisi bertajuk "What is Hidden is Greater" yang disiarkan saluran Qatari Al Jazeera, Minggu, 13 September 2020.
Jaringan televisi berita berbasis di Doha, Qatar, Al Jazeera, menampilkan cuplikan eksklusif gudang senjata Hamas di Jalur Gaza, Palestina.
Ini penampakan pertama keberadaan gudang senjata Hamas di Gaza, pasca bentrok dengan Israel tahun 2014.
Video memperlihatkan sejumlah anggota Brigade Izz al-Din al-Qassam, sayap bersenjata Hamas, memperlihatkan rudal Fajr produksi Iran, rudal 9M133 Kornet produksi Rusia, dan sejumlah senjata panggul produksi China.
Dalam kesempatan itu, jurnalis Palestina yang menjadi pembawa acara, Tamer al-Mashal, dipandu Ismail Haniyeh, Kepala Biro Politik dan Panglima Hamas.
Mengutip sumber Mossad, The Jerusalem Post, menyebutkan, Khaled Mashal, bakal memanfaatkan sentifitas umat Islam di dalam memicu konflik dengan Israel di Jalur Gaza.
Karena itu, otoritas berwenang Israel, melarang warga Palestina, untuk melakukan salat tawarih di Masjid Al Aqsa, Yerusalem timur, selama bulan suci ramadhan, 13 April – 13 Mei 2021, karena dikhawatirkan Hamas akan memanfaatkan situasi di balik kerumuman.
Israel memang menghindari konflik, karena bentrok keduanya yang terjadi periode 6 – 16 Juli 2014, menyebabkan 1.880 warga Palestina tewas dan 10.000 lainnya cedera. Dari jumlah tersebut, 398 di antaranya anak-anak, 207 wanita, dan 74 manusia lanjut usia.
Sementara itu, bentrokan yang dimulai Senin, 10 Mei 2021, dipicu pula implikasi rentetan dari rencana eksekusi putusan Pengadilan Negara Israel untuk memerintahkan pengosongan rumah warga Palestina di wilayah Seikh Jarrah, Jalur Gaza, Palestina yang diklaim sebagai wilayah Israel.
Keluarga Palestina mengklaim tanah di Sheikh Jarah secara historis adalah milik mereka, tetapi menurut orang Yahudi, tanah itu, dimiliki asosiasi agama mereka sejak sebelum 1948.
Yerusalem Direbut 1967
Israel merebut Yerusalem Timur, tempat kawasan Masjid Al Aqsa, berada, dari Jordania pada 1967 dan mencaploknya sebagai milik mereka, tetapi sebagian besar komunitas internasional tidak mengakuinya.
Israel menduduki seluruh kota pada sejak tahun 1980 dalam sebuah tindakan yang tidak pernah diakui komunitas internasional.
Masalah dan ketegangan rencana penggusuran pemukiman warga Palestina di Seikh Jarrah kemudian menjadi inti konflik terbaru.
Senin siang, 10 Mei 2021, adalah Hari Yerusalem, peringatan momen tahun 1967 ketika Israel mengambil alih kota itu.
Ratusan nasionalis Israel direncanakan melakukan parade dengan bendera, melewati Yerusalem dan kawasan Muslim lainnya.
Bagi mereka itu adalah pertunjukan patriotisme, tetapi bagi orang-orang Palestina itu adalah provokasi.
Kaum nasionalis Israel diberi akses ke Kuil Gunung (Temple Mount) yang satu kompleks dengan Masjid Al Aqsa, situs tersuci ketiga dalam Islam.
Namun pada Senin pagi, 10 Mei 2021, otoritas Israel, tiba-tiba membatalkan izin akses bagi warga Israel, meski pawai Kota Tua, terus berlanjut.
Tapi sebelumnya keluar larangan Polisi Israel bagi masyarakat Palestina mengunjungi Masjid Al Aqsa, selama ramadhan 2021.
Bagi masyarakat Palestina yang beragama Islam, larangan Israel sangat mengada-ada, karena Masjid Al Aqsa, merupakan tempat suci ketiga bagi Umat Islam dari seluruh dunia.
Karena dilanggar, maka Jumat malam, 7 Mei 2021, Polisi Israel, menyerang jamaah yang sedang salat di Masjid al-Qiblatain di dalam Al Aqsa dengan granat kejut dan peluru karet.
Sejumlah pemuda Palestina membalas dengan melempari tentara Israel menggunakan batu dan botol kaca.
Bentrokan terjadi antara pasukan keamanan Israel dan warga Palestina yang mencoba memasuki Al-Aqsa melalui Bab Al-Silsila, salah satu pintu gerbang masjid.
Bentrok meletus dua hari, 8 – 9 Mei 2021, menyebabkan ratusan warga Palestina di sekitar Masjid Al Aqsa, mengalami luka-luka dan puluhan dilarikan ke rumah sakit.
Intervensi polisi Israel juga menyerang pemuda Palestina di depan gerbang Damaskus dan Es-Sahire Kota Tua, menimbulkan kepanikan di kalangan perempuan dan anak-anak.
Polisi kemudian mengizinkan lintas di jalan yang dikendalikan melalui gerbang Kota Tua.
Mereka melanjutkan intervensi mereka secara berkala terhadap umat Islam di masjid, sementara jemaah terus melakukan tarawih, salat malam khusus selama bulan suci Ramadhan.
Direktur Masjid Al-Aqsa, Sheikh Omar al-Kiswani, meminta polisi Israel untuk menghentikan serangan mereka dan mundur dari halaman masjid.
Masjid Al-Aqsa adalah situs tersuci ketiga di dunia bagi umat Islam. Orang Yahudi menyebut daerah itu "Temple Mount," mengklaim itu adalah situs dari dua kuil Yahudi di zaman kuno.
Kembali kepada rencana warga Israel untuk berjalan kaki merayakan Hari Jadi Kota Yerusalem, Senin, 10 Mei 2021.
Kendati Senin siang, 10 Mei 2021, sudah resmi dilarang Polisi Israel, mengingat ada potensi bentrok, tapi warga Israel sudah terlanjur berkerumun di dalam Kota Tua Yerusalam.
Analisis Mossad Benar
Dugaan Mossd memangg benar adanya. Saat itulah, muncul serangan 160 roket milik pejuang Hamas dari Jalur Gaza, secara beruntun ke arah kerumunan warga Israel di Yerusalem timur.
Karena sudah mengetahui bakal ada gerakan Khaled Mashal memperalat Hamas, maka hanya dalam hitungan menit, Israel Defense Forces (IDF) dari matra Israeli Air Forces (IAF), membalas serangan jauh lebih intensif ke Gaza sejak Senin siang, 10 Mei 2021.
“Hamas memang licik memanfaatkan momentum,” tulis The Jerusalem Post.
Perdana Menteri Israel, Banyamin Nyetanyahu, menegaskan, Israel, sebagai sebuah negara berdaulat, berhak membela diri setiap diserang. Israel berhak pula melakukan serangan balik ke jantung pertahanan Hamas di Gaza, Palestina.
Hamas memang lahir dari ideologi wahabi. Hamas bagian dari jaringan Ikhwanul Muslimin (IM) dan The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang juga lahir dari ideologi wahabi.
Israel, Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Yordania, Mesir dan Jepang, menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris. Tapi Iran, Rusia, Turki, China dan banyak negara di seluruh dunia Arab, tidak mengambil sikap atas Hamas (Yousef, Mosab Hassan, 2010).
Blog Opiniagung.com, 8 Nopember 2020, mengatakan, Khaled Mashal, selama ini paling jarang mengunjungi Palestina, terutama daerah jalur Gaza.
Untuk masalah jarangnya pemimpin Hmasini mengunjungi Gaza karena beralasan takut dibunuh agen intelijen Israel, Mossad.
Hampir Dibunuh
Khaled Mashal, memang pernah akan dibunuh tahun 1997. Ini sebagai tindakan balas dendam karena Khaled Mashal mendalangi peristiwa pengeboman pasar Mahane Yehuda di Israel yang mengakibatkan banyak warga Israel menjadi korban.
Bahkan aksi rencana pembunuhan kepada Khaled Mashal oleh agen-agen Mossad, hampir berhasil.
Agen Mossad menunggu di pintu masuk Kantor Hamas di Amman, Yordania. Ketika Khaled Mashal masuk ke kantornya, salah satu agen datang dari belakang dan melekatkan perangkat khusus ke telinga kiri yang ditransmisikan racun reaksi cepat.
Khaled Mashal langsung dilarikan ke rumah, karena sudah dalam keadaan sekarat.
Berita Khaled Mashal dalam keadaan sekarat, sampai ke telinga Raja Yordania, Hussein dan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton.
Perdana Menteri Israel, Benyamin Nyetanyahu, diinstruksikan, agar segera menyelamatkan nyawa Khaled Mashal.
Pertimbangan Raja Hussein dan Presiden Bill Clinton, jika sampai Khaled Mashal, mati, maka perdamaian di Palestina, semakin sulit diwujudkan.
Kepala Mossad, Danny Yatom, diperintahkan terbang langsung ke rumah sakit King Hussein Medical Center, Amman, Yordania.
Danny Yatom menyerahkan obat penawar racun bagi Khaled Mashal. Khaled Mashal selamat dari upaya pembunuhan Mossad.
Diusir dari Yordania
Sembuh dari sakit, Raja Hussein, meminta Khaled Mashal, membuat perjanjian tertulis. Isinya kalau tetap ingin tinggal di Yordania, tidak boleh lagi terlibat dalam aktifitas Hamas.
Bukti kesungguhan Raja Hussein, maka Yordania, ikut bersama Inggris, Jerman, Jepang, Kanada, Israel, menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris sejak tahun 2009.
Dalam perkembangannya, Khaled Mashal, melanggar perjanjian, karena masih mengendalikan Hamas dari Yordania.
Akibatnya, Pemerintah Yordania, mengusir Khaled Mashal, sehingga sekarang menetap di Doha, Qatar.
Di Qatar, Khaled Mashal menjalin hubungan dengan koalisi Bulan Sabit Syiah Iran dan Qatar. Karena Hammas dan Khaled Mashal sudah di-blacklist sebagian besar negara-negara Liga Arab yang beraliran Suni seperti Yordania, Mesir, sampai Saudi Arabia, karena sering bikin ulah.
Kedekatan Khaled Mashal dengan Iran, membuat Hamas semakin kuat, karena didukung oleh roket, uang, serta jaringan militan yang didanai Iran, Rusia dan Cina.
Itu sebabnya Hamas selalu bersahabat dengan Hizbullah di Libanon, karena sama-sama di danai dan dilatih oleh Iran dan Qatar.
Tapi selain medapat dana dari Iran, Khaled Mashal bersama Hamas menggalang dana dari donasi negara-negara Islam lainnya dengan menyebarkan propaganda kekejaman militer Israel.
Walaupun tindakan Israel, sering kali dipicu oleh serangan roket Hamas terlebih dahulu ke wilayah Israel.
Israel seperti negara lainnya pasti akan membalas semua serangan dari negara lainnya yang menarget penduduknya.
Hamas Serang Israel
Di sinilah dimulai lingkaran bisnis menggiurkan Khaled Mashal bersama komplotan petinggi Hamas. Hamas serang Israel, dibalas Israel, menimbulkan korban warga sipil di Gaza meninggal dunia, dan propaganda dirancang.
Donasi dari negara lain masuk. Rusia, China dan Iran, suplai rudal, dan sebagian besar uangnya masuk kantong Khaled Mashal dan pemimpin Hamas lainnya yang bermukim di luar negeri.
Kalau kantong Khaled Mashal sudah mulai menipis, buat lagi gara-gara, roket Hamas ditembakkan ke Israel.
Israel marah, dengan melakukan serangan balik, mematikan. Dunia internasional terhasut, mengecam Israel, dilakukan penggalangan dana dan kantong Khaled Mashal, kembali terisi penuh, dan ini berkali-kali dilakukan, sesuai kebutuhan.
Israel dan AS, telah melakukan berbagai upaya, untuk memutus mata rantai jaringan Khaled Mashal dan Hamas. Di antaranya, Israel membuka hubungan diplomatik dengan Uni Emirat Arab, Maroko, dan Saudi Arabia
Ini tentu membuat jaringan Khaled Mashal dan Hamas, semakin dipersempit. Arab Saudi tahun 2017, mendesak Qatar, agar segera menetapkan Hamas dan ekstimis Suni sebagai organisasi teroris. Tapi desakan Arab Saudi, ditolak Qatar.
Qatar sendiri sebenarnya negara yang berpijak pada dua kaki. Walaupun menjadi anggota Liga Arab, tapi Qatar sendiri dekat dengan Iran, karena walaupun mayoritas penduduk Qatar adalah Islam Suni.
Tapi para penguasa dan orang-orang kaya (para sheik) adalah kalangan Islam Syiah. Bahkan dari hubungan aneh Suni dan Syiah di Qatar ini juga mempengaruhi Hamas.
Yaitu saat Liga Arab yang mayoritas negara-negara Islam Suni, mengumumkan kelompok Syiah Hizbullah di Libanon sebagai kelompok teroris, penentang terbesarnya adalah Hamas yang merupakan kelompok extrimis Suni.
Dari kerumitan politik di Timur Tengah, inilah, Khaled Mashal mendapatkan keuntungan besar dan bisa hidup mewah di Qatar.
Dari Doha, Qatar, Khaled Mashal mendapatkan duit dari Iran, Rusia dan Cina, sekaligus dari negara-negara Islam lainnya.
Di antaranya dari Indonesia yang penduduknya banyak tidak mengerti kerumitan politik di Timur Tegah, tapi dengan lugunya selalu berdonasi dan membela mati-matian Hamas, atas nama perjuangan Palestina melawan penjajahan Israel.
Di Indonesia, masyarakat ditipu persepsi, Hamas berjuang demi kepentingan Islam. Padahal Hamas, hanya sebagi organisasi teroris yang menghambar kemerdekaan Palestina.
Kuncinya Amerika Serikat
Pengamat politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, Dr Yulius Yohanes, M.Si, mengatakan, hanya Amerika Serikat (AS) yang bisa menghentikan konflik Israel dan Hamas di Gaza, Palestina.
Karena di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, lima Anggota Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki hak veto, yaitu AS, Perancis, dan Jerman, sudah menetapkan Hamas (Gerakan Pertahanan Islam) sebagai organisasi teroris, dan tinggal Federasi Rusia dan China yang belum mengambil sikap.
“Apapun keputusan Dewan Keamanan PBB, pasti akan diveto AS. Apapun sikap dunia internasional terhadap Israel, tidak akan berpengaruh apa-apa. Dunia internasional sekarang, sudah seharusnya menekan AS untuk menghentikan serangan Israel Air Forces dari Israel Defense Force membabi-buta ke Gaza, Palestina,” kata Yulius Yohanes.
“Agak sensitif memang.Tapi ini realitas internasional. Di dunia internasional, teroris adalah musuh bersama. Jadi, tidak akan mungkin Hamas diajak bernegosiasi di dalam forum internasional, karena sudah ditetapkan sebagai organisasi teroris,” ujar Yulius Yohanes.
Menurut Yulius Yohanes, setelah sebagian besar negara di Timur Tengah, sudah mencairkan hubungan diplomatik dengan Israel, maka hubungan Perdana Menteri Israel, Benyamin Nyetanyahu dengan Presiden Palestina, Mahmud Abbas, berjalan relatif baik.
“Tapi masalahnya, setiap kali wacana Palestina akan diberikan kemerdekaan penuh, di dalam negara Palestina, kelompok Hamas yang memiliki wilayah otonomi khusus di Jalur Gaza, selalu menjadi penghalang. Presiden Palestina, Mahmud Abbas, harus terus-menerus mendapat dukungan dunia internasional. Dukung Palestina, bukan berarti dukung Hamas,” kata Yulius Yohanes.
Dikatakan Yulius Yohanes, konflik yang terjadi sekarang, sama sekali bukan konflik antara Israel dan Palestina, tapi murni konflik antara Israel dan Hamas. Fakta menunjukkan pula, setiap kali ada konflik, Hamas selalu berlindung di tengah kerumunan warga Palestina.
“Di samping menekan AS, dunia internasional diharapkan pula bisa menekan Federasi Rusia, China dan Iran yang dalam banyak fakta, patut diduga selalu berada di balik Hamas setiap kali konflik dengan Israel. Harus pula diklarifikasi secara jujur, atas dugaan selama ini, senjata rudal yang digunakan Hamas adalah produksi Federasi Rusia, China dan Iran,” kata Yulius Yohanes.
“Saya pikir, sekarang, dunia internasional, harus menghentikan, tindakan mengorbankan masyarakat manusia tidak berdosa di Timur Tengah, untuk kepentingan pragmatisme ekonomi, dan lain sebagainya,” kata Yulius Yohanes.
Dikatakan Yulius Yohanes, setelah mencermati konflik Israel dan Hamas tahun 2014 dan terjadi lagi sejak Senin, 10 Mei 2021, maka anggapan sementara pihak bahwa Israel merupakan proxy Amerika Serikat, dan Hamas sebagai proxy Federasi Rusia, China dan Iran.[Suarapemredkalbar.com]
Sumber: aljazeera.com/reuters.com/the Jerusalem post/abc.net.au/tass.com