TAHUN ini merupakan tahun kedua dilarangnya mudik dikarnakan pandemi Covid-19 yang melanda di seluruh dunia. Pemerintah telah memutuskan larangan mudik atau pulang kampung dalam perayaan lebaran tahun 2021. Hal ini telah menjadi keputusan resmi pemerintah setelah melalui rapat koordinasi bersama tingkat menteri pada tanggal 23 Maret lalu. Larangan ini terjadi lantaran masih tingginya angka penularan dan kematian akibat virus corona, setelah beberapa kali libur panjang serta tingginya angka pasien yang dirawat dirumah sakit akibat Covid-19. Larangan mudik ini berlaku untuk seluruh PNS, TNI, POLRI, BUMN, karyawan swasta, pekerja mandiri dan juga seluruh masyarakat. Larangan mudik ini berlaku selama 12 hari yaitu dari tanggal 6 Mei sampai dengan 17 Mei 2021.
Dengan dilarangnya mudik ini memiliki berbagai dampak, salah satunya dari sigi psikologi. Umumnya, libur lebaran seperti ini dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia untuk pulang ke kampung halaman. Tradisi mudik menjadi fenomena masyarakat Indonesia menjelang satu syawal.
Merayakan idul fitri merupakan sunnah bagi kaum muslim di seantero dunia pun, demikian bagi penduduk Republik ini dimana notabenenya muslim merupakan komunitas terbesar yang mendiami Indonesia raya ini. Merayakan idul fitri bersama keluarga besar di kampung halaman menjadi inpian bagi setiap insan yang ada diperantauan.
Lahirnya nuansa kebersamaan bersama orang-orang tercinta saat merayakan hari kemenangan bagi ummat muslim pasca sebulan penuh menahan diri dari segala polaristik nafsu duniawiah merupakan kebahagiaan yang tidak dapat diperdagangkan. Karena nilai-nilai ukhwah islamiah mengalir ke segala sendi kasih sayang yang selama ini terpendam lama setelah berpisah dengan sanak keluarga. Baik karena melanjutkan studi atau pun menjadi pekerja mencari nafkah di kota besar.
Gambaran kebahagian saat mudik selalu terlihat di seraut wajah para pemudik, meski terkadang mereka harus berselimut dengan peluh dan bergelut melawan lelahnya perjalanan dari kota mereka tinggal menetap selama ini menuju kampung halamannya. Rasa lelah itu sirna karena kerinduan yang mendalam, penat dalam bus umum, sengatan teriknya sang surya menilat kulit saat diatas sepeda motor dalam perjalanan juga bukan sesuatu hal yang mereka takuti. Yang ada dalam benaknya hanya bertemu dengan keluarga tercinta di kampung halamannya.
Cerita pulang kampung atau mudik saat lebaran bukanlah perihal sederhana untuk dilakukan karena tidak sedikit para pekerja harus mengumpulkan biaya sebagai tabungan atau bekal pulang kampung di masa kurun waktu satu tahun.
Di setiap media cetak dan elektronik akan terus mewartakan tentang kabar masyarakat yang hendak mudik. Tidak jarang yang menjadi trending topiknya masalah kemacetan dan habisnya tiket tranportasi umum yang akan digunakan dalam pemberangkatan pemudik yang arusnya akan meledak pada H-1. Begitu banyaknya serba serbi mudik di saat lebaran menghiasi halaman media cetak dan ulasan live pada media elektronik.
Kehangatan terbangun dengan seketika kala kita menyatu dengan kerabat, sahabat dan sanak famili di desa dimana kita dilahirkan dan dibesarkan. Bak lukisan menceritakan imajinasi si pelukis pada kisah indahnya sebuah intuisi pada hakekat hati yang terikat dengan silaturrahmi. Bukan ciptaan manusia ketika hati menyatu dengan hamba-hamba pilihan Tuhan (orang tua di kampung) tapi inilah anugerah Illahi Rabbi menyatukan hati antara anak dan orang tua, antara adik dengan kakaknya, antara sahabat dan karibnya sehingga muncullah hukum mewajibkan diri pulang kampung saat lebaran telah berada di penghujung ramadhan.
Kisah indah diatas adalah sepenggal cerita di masa yang telah lalu. Kini penggalan cerita itu hanya ada dalam angan-angan belaka, pandemi Covid-19 telah merubah pola hidup manusia tanpa dan atau disadarinya. Covid-19 telah menjadi isu penting di belahan dunia ini, seantero dunia membicarakan makhluk halus yang bernama corona ini. Makhluk yang sangat ditakuti saat ini, jika ada kematian karena positif Covid-19 maka jenazah manusia ini pun harus dimakamkan dengan protap Covid-19.
Begitu menyayat hati kala kita membaca artikel tentang kematian yang disebabkan covid atau kita liat di siaran media elektronik atau media sosial. Makhluk tak tampak ini juga telah meluluhlantakan semua sendi kehidupan bermasyarakat, dimana kita terus dianjurkan untuk malakukan phisical distancing dan social distancing. Corona juga telah merasuk jiwa manusia karena kita sudah tidak ada lagi terbangunnya kepercayaan satu sama yang lain. Karena kita mengganggap tidak ada lagi orang-orang yang sterill dari virus, karantina mandiri pun terus kita lakukan sebagai bentuk upaya dalam memutus mata rantai corona. Namun disisi lain kita telah memutus tali silaturrahmi dengan para kerabat dan sanak saudara maupun tetangga kita. Memutuskan tali silaturrahmi adalah pengekangan hati nurani sebagai kaum muslim.
Dua tahun sudah corona hadir di muka bumi entah berapa nyawa telah dia renggut menghadap sang khalik. Kami tidak tahu pasti, yang nyata hanya nukilan kisah terbaca di halaman website ataupun berita di layar kaca yang kita tonton ataupun kita baca. Di negeri asalnya, Wuhan Cina, corona telah berlalu pergi. Namun dia belum berakhir di beberapa negeri di belahan dunia ini, kok bisa? Kini dia semakin menjadi-jadi di negara India, negara yang terkenal dengan para dewa. Corona terus mengerogoti dan memisah raga dengan nyawa manusia, ”sadis”.
Begitulah kiranya kata yang pantas untuk corona. Dunia yang kini sedang dalam tantangan baru, manusia berperang dengan makhluk tanpa kasad mata. Kematian hadir, musuhnya tak nyata. Traumatis psikologi ummat manusia kini terus melanda tanpa tahu kapan berakhirnya ini semua.
Perang melawan corona adalah perang kejiwaan yang harus kita lakukan. Kita harus membawa pikiran alam bawah sadar kita pada hal-hal yang bersifat positif, hindari cerita fiksi ataupun brita hoax yang terkadang terbaca tanpa kita sengaja. Senjata yang paling ampuh melawan corona adalah mempengaruhi jiwa kita pada kedekatan terhadap Allah Sang Pencipta. Hidup dan mati itu adalah takdir dari-Nya. Sekiranya jiwa kita tenang dan sehat maka imun tubuh akan akan stabil. Kestabilan imun tubuh akan mampu melawan virus yang ada.
Lebaran kita di kota ini saja “si corona” seakan bercerita begitu dari alamnya yang tak nyata.
Penulis: Azzura Balqis l (Mahasiswi Prodi Psikologi Universitas Syiah Kuala)