"Penetapan pilkada pada bulan November 2024 oleh Pemerintah Pusat mencerminkan bahwa mereka tidak lagi menganggap adanya UUPA dan MoU Helsinki di Aceh. Jadi lebih baik kita referendum," kata Fahmi yang akrab disapa Tumi Hua saat ditemui LintasAtjeh.com, Selasa (06/04/2021), di Peurelak.
Untuk itu, sambung Tumi Hua, para elit politik dan tokoh-tokoh Aceh agar segera mengusulkan dilaksanakan referendum jika pemerintah pusat tidak lagi menganggap adanya UUPA yang menjadi simbol keistimewaan Aceh.
"Jika para elit politik tidak berani atau takut kehilangan jabatan untuk mengusulkan referendum, kami anak-anak anggota GAM yang syahid pada masa konflik dahulu siap menggelar referendum untuk Bangsa Aceh," tegasnya.
Dikatakannya, pengorbanan harta bahkan nyawa rakyat Aceh sehingga lahirlah MoU Helsinki dan UUPA semestinya dapat dihargai. Para elit politik diharapkan dapat benar-benar melaksanakan apa yang tertuang dalam butir-butir MoU Helsinki.
"Saat ini belum terealisasi sepenuhnya butir-butir MoU Helsinki, jadi jangan pula Pemerintah Pusat mengabaikan atau tidak menganggap ada perjanjian tersebut. Karena itu sangat melukai hati kami para anak syuhada dan rakyat Aceh," ketusnya.
Menurutnya, tidak dapat dilaksanakan pilkada 2022 dengan alasan ketiadaan anggaran Pemerintah Aceh sehingga dukungan program yang sudah dicanangkan KIP Aceh tidak dapat terealisasi itu hanya permainan elit politik saja.
"Jika memang Pemerintah Aceh tidak mau mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan pilkada 2022, para elit politik harus berani bersuara. Jangan hanya duduk diam di Gedung DPR Aceh," tandasnya. [Sm]