KOMISI II DPD-RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) tidak melanjutkan pembahasan RUU pemilu, ini berarti pemilu dan pilkada serentak berlangsung tahun 2024, sesuai amanat Pasal 201 ayat 8 UU nomor 10 tahun 2016 tentang pemungutan suara serentak nasional untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di seluruh Indonesia.
Sesuai Pasal 201 Ayat (8) UU No. 10 / 2016 tentang pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di Indonesia dilaksanakan November 2024.
Sementara kepala daerah yang terpilih di pilkada 2020 akan habis masa jabatannya pada 2024. Sedangkan kepala daerah yang selesai menjabat pada 2022 dan 2023, disesuaikan menjadi 2024, dan kekosongan akan diisi oleh penjabat hingga 2024.
Itu artinya, tahun 2024 ada pilkada serentak di 542 daerah di seluruh Indonesia, termasuk serentak memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, biasanya, digelar April atau hanya berselang tujuh bulan dengan Pilkada.
Bila memakai UU 10/2016, otomatis tahun 2022 dan 2023 di seluruh nusantara tidak ada Pilkada. Yang berakhir masa jabatan kepala daerah tahun 2022 sebanyak 101, terdiri 7 gubernur, 76 bupati dan 18 walikota. Sedangkan yang berakhir tahun 2023 sebanyak 171 kepala daerah yang terdiri dari 17 gubernur, 115 bupati dan 39 walikota.
Dari 101 daerah itu, sejumlah daerah khusus di wilayah Indonesia juga akan melangsungkan Pilkada pada tahun 2024, termasuk Daerah khusus yang seharusnya melaksanakan Pilkada 2022 seperti Aceh, DKI Jakarta, Papua Barat dan DI Yogyakarta, mengikuti jadwal pilkada serentak 2024.
Menolak Pilkada Serentak
Hasil survei Index Politica Indonesia yang dilakukan pada 18 – 28 Januari 2021 menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia setuju apabila pelaksanaan pilkada dilakukan serentak. Namun, mereka menolak apabila pelaksanaannya dibarengi dengan Pilpres dan Pileg pada 2024.
Hasil survei yang dijelaskan Direktur Eksekutif Index Politica Denny Charter diketahui ada 40,7 persen masyarakat setuju Pilkada dilakukan serentak. Dengan masing-masing persentase 5,3 persen sangat setuju dan 35,4 persen setuju. Untuk masyarakat yang tidak setuju Pilkada sebanya 35,3 persen. Dengan rincian, responden tidak setuju 32,4 persen dan sangat tidak setuju 2,9 persen.
Rilis pertanyaan mengenai Pilkada serentak berbarengan dengan Pilpres dan Pileg 2024, mayoritas masyarakat menolak. Ada 14,1 persen masyarakat setuju Pilkada serentak 2024. Dengan rincian masing-masing sangat setuju 1,3 persen dan setuju 12.8 persen. Survei dilakukan terhadap 1610 responden yang tersebar di 34 provinsi dengan wawancara tatap muka. Sedangkan untuk pengambilam sampel menggunakan multistage random sampling, di mana asumsi metode simple random sampling. Sementara margin of error 1,6 persen pada tingkat kepercayaan 95,0 persen.
Untung Rugi Pilkada Serentak 2024
Sejumlah keuntungan apabila bila Pilkada digelar 2024, antara lain netralitas kekuatan petahana dilevel legislatif maupun eksekutif. Khusus Jakarta, Pilkada 2024 bisa dokatakan menguntungkan karena dapat menempatkan sosok strategis dan membawa efek bagi pusat.
Namun, tentu, tidak ada jaminan stabilitas keamanan berlangsung kondusif, karena transisi jadwal pelaksanaan Pilkada yang berlangsung lama hingga 2 tahun. Potensi masuk angin akibat manuver para pihak rentan mengganggu stabilitas keamanan. Selain memang, pilkada 2024 berpotensi Memicu Gesekan Psikosocial di Masyarakat, khususnya wilayah rawan konflik seperti Aceh dan Papua.
Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait indeks kerawanan Pemilu (IKP) 2019 di sejumlah daerah, IKP Indonesia saat ini 49,63 atau meningkat dari IKP yang dirilis pada 25 September 2018 sebesar 49,00.
Bila secara provinsi, maka Papua menjadi wilayah paling tinggi tingkat kerawanannya. IKP Papua mencapai 55,08. Disusul DI Yogyakarta dengan skor 52,67 dan Jawa Barat 52,11.
Kerawanan Tinggi Papua Barat dinilai ada 2 variabel, yakni integritas penyelenggara dengan skor 4,00 dan profesionalitas penyelenggara di skor 3,80. Selain itu, kerawanan juga dipengaruhi variabel profesionalitas penyelenggara.
Indikator variabel profesionalitas penyelenggara dalam beberapa isu memperlihatkan kondisi rawan yang mencapai skor 5, dengan Indikator sangat rawan adalah masalah penganggaran yang belum ada Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), pencairan anggaran, serta masalah kualitas daftar pemilih. Sedangkan kasus lain dinilai cukup rawan dengan skor 3 untuk indikator ketegasan penyelenggara, penyediaan dan aksesibilitas informasi, serta dukungan kesekretariatan.
Sedangkan Aceh, dari 7 provinsi yang menyelenggarakan Pilkada 2017, termasuk dalam kategori rawan dengan skor tertinggi di antara provinsi lainnya, yaitu skor 3.00. Kerawanan dimensi ini diukur dari 3 variabel yakni hak pilih masyarakat, karakteristik lokal, dan keterlibatan masyarakat. Dari 3 variabel dalam dimensi partisipasi masyarakat, skor paling rawan untuk Provinsi Aceh adalah pada variabel karakteristik lokal (4.00) dan keterlibatan masyarakat (3.00). Semua indikatornya menunjukkan kerawanan. Pada indikator budaya patriarki dan pengaruh tokoh agama/adat mendapatkan skor 5. Sementara untuk 2 indikator lainnya, kondisi kemiskinan masyarakat dan tantangan geografis sama-sama mendapatkan skor 3.
Dalam hal ini apabila Pilkada digelar 2024 besar peluang kompleksitas masalah pada Pemilu 2019 terulang kembali. Pada aspek pelaksanaan, penyelenggara dihadapkan pada persiapan yang tumpang tindih, karena menyiapkan enam jenis pemilihan di tahun yang sama. Beban kerja penyelenggara menjadi kian berat, bahkan cenderung lebih berat dan rumit dibandingkan Pemilu 2019. Hal itu bisa berakibat penurunan kualitas penyelenggaraan ”pesta demokrasi”.
Interval waktu pelaksanaan bila Pilkada 2024 digelar adalah risiko terlalu berdekatan dan itu akan berdampak terhadap para petugas KPPS. Beban kerja penyelenggara menjadi kian berat, bahkan cenderung lebih berat dan rumit dibanding Pemilu 2019. Hal tersebut dapat berakibat penurunan kualitas penyelenggaraan ”pesta demokrasi”.
2019 lalu pemilu tingkat eksekutif dan legislatif dilakukan serentak. Salah satu persoalan yang muncul banyak petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia. Berdasarkan data KPU, 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit.
Pertimbangan Keamanan
Disisi lain, pemerintah pusat perlu mempertimbangkan faktor stabilitas keamanan dalam negeri apabila tetap memaksakan pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024. Tensi dan ketegangan politik akan semakin tinggi ketika Pilkada serentak bersamaan dengan Pilpres dan Pileg.
Untuk konteks lokal di provinsi yang pelaksanaan pilkada berakhir 2022, pemerintah pusat sangat penting menjaga ikatan relasi dengan aktor politik dalam rangka menjaga stabilitas politik. Terlebih di daerah pasca konflik. Perlu menimbang keinginan elite lokal disatu sisi dan arus bawah disisi lainnya, agar dinamika politik tidak memicu pertarungan tidak sehat antar elite politik, yang ujungnya berdampak kepada masyarakat Indonesia.
Bila ini tidak menjadi pertimbangan, multiplier effect dapat muncul, seperti situasional pembangunan dan keamanan yang tidak stabil, dikarenakan rentang masa pengisian pemerintahan yang definitif terlalu panjang sehingga tata kelola pemerintah dari seluruh aspek tidak stabil gara-gara kekosongan yang lama.
Sedangkan dalam konteks Aceh, jika dipaksakan 2024 maka relasi hubungan antara Aceh dan pusat akan semakin disharmonis, tentu dampaknya pada lintas sektor di Aceh. Pemerintah pusat penting menjaga hubungan dengan Aceh karena ikatan historis pelaksanaan demokrasi Aceh, dimana pusat selalu menawarkan jalan tengah yang bermartabat untuk menyelesaikan konflik regulasi, khususnya terkait pelaksanaan demokratisasi di Aceh.
Penulis: Aryos Nivada (Dosen USK dan Peneliti Jaringan Survei Inisiatif/JSI)