-->

Peusaba Aceh: "Makzulkan Walikota Banda Aceh..!!"

22 Maret, 2021, 07.03 WIB Last Updated 2021-03-22T00:03:26Z
LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Ketua Peusaba Aceh Mawardi Usman mengaku geram dengan ulah Walikota Banda Aceh dan pengikutnya yang tetap ngotot melanjutkan proyek IPAL pembuangan limbah tinja, di kawasan situs Makam Ulama Kesultanan Aceh Darussalam di Gampong Pande. 

Walikota Banda Aceh sama sekali tidak menghormati Fatwa Ulama, yaitu Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 5 Tahun 2020 untuk menjaga situs sejarah. Nampaknya bagi Walikota Banda Aceh uang proyek lebih penting daripada mengikuti Fatwa Ulama. 

Ketua Peusaba Aceh kepada redaksi, Senin (22/03/2021),  mengatakan ada beberapa hal yang membuat Walikota Banda Aceh sangat layak dimakzulkan:

Pertama, Walikota Banda Aceh tetap bersikeras melanjutkan proyek IPAL di kawasan Titik Nol Kesultanan Aceh Darussalam, artinya Walikota berniat memusnahkan sejarah asal usul Kesultanan Aceh Darussalam dan  sejarah asal usul jejak Peradaban Islam di Aceh. 

Kedua, Walikota melawan Fatwa Ulama yang meminta situs sejarah islam dilindungi, namun Walikota malah ngotot habis-habisan menghancurkan situs sejarah dengan menggunakan bantuan  Sejarawan Lhee tali (75 sen) dan Buzzer Sen Sitali (25 sen). Walikota menolak kebenaran. 

Ketiga, Walikota telah sengaja melanggar UU nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya karena menyetujui proyek IPAL di Kawasan Zona Inti II, padahal sesuai aturan Zona inti adalah zona yang wajib di lindungi.

Keempat, Walikota melakukan pembohongan publik dengan mengklaim bahwa situs makam para Raja dan Ulama Kesultanan Aceh sebagai pemakaman masyarakat umum.

Kelima, Pemerintah Kota Banda Aceh menipu dengan mengaku didukung Geuchik Gampong Pande untuk melanjutkan proyek IPAL, padahal dari surat dan pengakuan Geuchik Gampong Pande menyatakan beliau tidak hadir dan tidak pernah menyetujui pembangunan IPAL di Gampong Pande. Sehingga Walikota Banda Aceh dapat dijerat dengan pasal Pencatutan Nama atau tuntutan ganti rugi.

Keenam, Walikota Banda Aceh melakukan intimidasi untuk melanjutkan proyek IPAL dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Adat. 

Peusaba mengatakan Walikota dan jajarannya dapat dijerat dengan pasal berlapis meliputi pembohongan publik, pelanggaran HAM, pencatutan nama, intimidasi terhadap masyarakat adat dan Pelanggaran UU Cagar Budaya. 

Peusaba mengatakan langkah hukum amat mungkin dilakukan oleh rakyat Aceh dan Masyarakat Gampong Pande sebagai pembelajaran kepada orang lain agar jangan memusnahkan sejarah Aceh Darussalam. 

"Walikota Banda Aceh telah menghalalkan segala cara untuk membuang tinja di makam ulama, maka sudah selayaknya Walikota Banda Aceh dimakzulkan!" tegas Mawardi.

"Rakyat dan Bangsa Aceh serta Para Pemimpin di Aceh harus bersatu padu menyelamatkan titik Nol Kesultanan Aceh Darussalam, dan makam Para  Raja dan Ulama. Ini adalah Jihad untuk mempertahankan bukti awal penyebaran Islam di Aceh dan Asia Tenggara. Peusaba meminta seluruh Rakyat dan Bangsa Aceh di dalam dan luar Aceh, dan di dunia Internasional agar dapat bersatu padu, untuk memakzulkan Walikota Banda Aceh. Ini adalah Jihad Konstitusi...!!! Walikota harus Dimakzulkan..!! Hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan Titik Nol Kesultanan Islam Aceh Darussalam," seru Ketua Peusaba.

Ketua Peusaba Aceh Mawardi Usman juga mengingatkan Rakyat Aceh tentang kisah Gubernur Militer Belanda di Aceh Karel Van Der Heijden 1877-1881. 

Sejak Menjadi Gubernur Militer Belanda di Aceh Karel Van Der Heijden aktif menyerang pasukan Aceh, menghancurkan makam para Raja dan Ulama, bahkan membakar makam Raja dan Ulama karena kebenciannya kepada pejuang Aceh yang tangguh. 

Kemudian dia menyerang Nisan para Raja dan Ulama dengan penuh kebohongan dengan mengatakan kalau makam yang dihancurkan adalah makam rakyat biasa. Akhirnya perang menjadi-jadi di Aceh, tidak ada satupun yang aman dari serangan Pejuang Aceh. 

Dalam hikayat Aceh diceritakan kekejaman Karel Van Der Heijden atau Raja Dajeu buta siblah:

Raja Dajeu buta Siblah abeh paleh 
Kaphe laknat Dum dipeuhabeh kubu raja ngen ulama 
(Raja Dajjal buta sebelah benar-benar jahat 
Kafir Laknat menghancurkan kubur Raja dengan Ulama) 

Ketika Van Der Heijden menyerang Samalanga di salah satu Benteng terkuat Aceh Benteng Kuta Batee Iliek, para ulama Aceh yang mahir menggunakan senjata, membaca Al Qur'an dan doa agar dapat menghabisi Van Der Heijden. 

Dalam sebuah tembakan Van Heijden terkena matanya dan menjadi buta sehingga kemudian di Aceh dikenal dengan nama Raja Dajeu Buta Siblah (Raja Dajjal Buta Sebelah). Akibat matanya buta, Van Der Heijden dan pasukannya kocar kacir melarikan diri dari Kuta Samalanga. 

Sejak saat itu Karel Van Der Heijden sudah hilang kesombongannya. Namun kekejaman Karel Van Der Heijden dalam menghancurkan Makam Raja dan Ulama menjadi masalah Internasional saat itu, dan juga dikecam di negerinya sendiri di Belanda, karena telah melakukan kejahatan perang dengan menghancurkan makam Raja dan Ulama.

Kemudian Van Der Heijden membela diri, dengan mengatan bahwa Van Swieten Gubernur Militer era sebelumnya lah yang telah memulai menghancurkan banyak makam Raja dan Ulama Aceh, dan dia hanya melanjutkan kebijakan Gubernur Militer sebelumnya. 

Demikianlah jawaban Raja Dajeu Buta Siblah Van Der Heijden membela diri dan menyalahkan pendahulunya, seolah-olah dia tidak pernah berdosa dan bersalah memusnahkan makam Raja dan Ulama.

Untuk menutupi keburukannya Karel Van Der Heijden kemudian berusaha mengambil hati rakyat Aceh dengan menampilkan diri sebagai orang Belanda yang mendukung syariat Islam di Aceh.Namun Rakyat Aceh yang sudah tahu kejahatan Raja Dajeu Buta Siblah  tetap menolaknya, akhirnya Raja Dajeu Buta Siblah itu sendiri dibuang oleh bangsanya. 

Menurut sejarah, Karel Van Der Heijden ini adalah anak haram yang lahir diluar pernikahan dan tidak pernah diakui siapapun. Dalam hidupnya Raja Dajeu Buta Siblah amat membenci sejarah Aceh, karena itulah dia memusnahkan makam Raja dan Ulama Aceh dan tempat bersejarah lainnya di Aceh.

Sejarah terbukti selalu berulang dengan tokoh yang berbeda. Sehingga di Aceh dikenal perkataan,  bahwa yang membenci sejarah Aceh hanyalah dua kaum: kaum pertama adalah 'Orang Pengkhianat', dan kaum kedua adalah 'Anak Haram'.

Pemusnahan makam Raja dan Ulama Aceh oleh Belanda menjadi kebencian mendalam bagi para ulama Aceh terhadap Belanda. Cara yang dilakukan amat keji dan sangat menistakan. Bahkan permusuhan terhadap Belanda sampai anak cucu dimasukkan dalam Hikayat Prang Sabi, bahwa tidak ada perdamaian dengan Kaphe Belanda.

Bek ta meurakan ngen Belanda Kaphe 
Musoh Sabee meupusaka
(Jangan bersahabat dengan kafir Belanda
Musuh selamanya menjadi pusaka)
[*/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini