DINAMIKA politik yang terjadi, sepertinya pilihan untuk tetap menggabungkan Pilkada serentak pada tahun 2024, perlu dicermati, karena disinilah solusi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dinilai dapat menjadi solusi, menjadi jalan tengah dalam mengatasi kompleksitas demokrasi yang kelak dihadapi Indonesia.
Meski UU Pilkada telah mengamanatkan Pilkada serentak pada tahun 2024, namun bukan berarti hal ini tidak bisa diubah lagi, meski DPR menolak melakukan revisi RUU Pemilu.
Berkaca pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah mengeluarkan dua Perppu terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada tahun 2014 lalu, yang terjadi kemudian dari dinamika politik di Senayan adalah Pilkada langsung nyaris dihilangkan.
Pengesahan RUU ini menimbulkan polemik, karena bertentangan dengan keinginan masyarakat yang menghendaki pemilihan secara langsung. Sementara itu, ketentuan RUU Pilkada mengubah mekanisme pemilihan menjadi tidak langsung, yaitu melalui DPRD.
SBY kemudian mengeluarkan dua Perppu untuk mengakhiri polemik ketika itu. Pertama, Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Perppu itu sekaligus mencabut Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Selain itu untuk menghilangkan ketidakpastian hukum di masyarakat, SBY lantas menerbitkan Perppu kedua yakni Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya menghapus kewenangan DPRD untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah.
Perppu tersebut intinya berisi dua hal:
Pertama, menghapus tugas dan wewenang DPRD Provinsi untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian (Pasal I angka 1).
Kedua, menghapus tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota dan mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali kota kepada menteri dalam negeri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian (Pasal I angka 2).
Penerbitan Perppu sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Kemudian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menjelaskan bahwa Perppu adalah subjektifitas Presiden, yang objektifitas politiknya dinilai oleh DPR ketika perppu itu diajukan untuk mendapatkan persetujuan. Putusan MK itu sendiri mensyaratkan kegentingan yang memaksa terjadi jika ada kebutuhan hukum mendesak dan terjadinya kekosongan hukum, atau terjadinya ketidakpastian hukum.
Perppu Pilkada dapat menjadi solusi jalan tengah untuk menghindari kompleksitas dan kerumitan yang akan dihadapi kedepan dalam melaksanakam Pilkada dan pemilu 2024. Penerbitan Perppu dapat dilakukan dengan mempercepat pelaksanaan Pilkada dalam rangka menghindari sejumlah persoalan yang akan dihadapi penyelenggara maupun pemerintah sendiri, bila Pilkada dan pemilu tetap dilaksanakan tahun 2024.
Diluar solusi Perpu dalam rangka memastikan bahwa penyelenggaraan pemilu dan Pilkada memiliki jeda yang cukup panjang, pemerintah dan DPR perlu mengamendemen Pasal 201 Ayat (7), (8), dan (9) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Hal itu perlu dilakukan untuk mendapatkan landasan hukum tentang pemungutan suara serentak secara nasional, dan Pilkada tidak jadi dilaksanakan pada November 2024.
Perppu ini adalah jalan tengah sebagai win-win solution dalam rangka menjaga balance of need aktor politik lokal dan pusat. masukan teori keseimbangan politik atau keseimbangan kebutuhan.
Merujuk teori politik balance of power, dalam sistem politik diperlukan keseimbangan yang akurat dan rasional antara legislatif-eksekutif dengan rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk menata keseimbangan politik penggunaan kekuasaan, legislatif dan eksekutif harus mampu membangun komunikasi politik secara rasional demi kemaslahatan rakyat.
Dalam konteks ini, Perppu Pilkada merupakan bagian dari menjaga keseimbangan kekuasaan agar tidak menimbulkan persepsi dominasi pusat atas daerah dalam konteks era otonomi daerah. Hal ini perlu dicermati bagi para pengambil kebijakan pusat.
Penulis: Aryos Nivada (Dosen USK dan Peneliti Jaringan Survei Inisiatif/JSI)