Walikota Banda Aceh ngotot buang tinja di makam ulama, Darud Donya kembali kirim surat teguran/Foto: Istimewa.
LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Walikota Banda Aceh ngotot buang tinja di makam ulama, Darud Donya kembali kirim surat teguran. Pemimpin Darud Donya Cut Putri kembali menurunkan surat teguran kepada Walikota Banda Aceh terkait sikap Walikota Banda Aceh yang berkeras tetap ingin melanjutkan proyek IPAL pembuangan tinja di makam ulama.
Berdasarkan siaran pers yang diterima redaksi, Kamis (11/03/2021), Surat terbaru ini bernomor 08/SP/III/2021 tanggal 8 Maret 2021 perihal Penghentian Kegiatan Proyek IPAL di Gampong Pande.
Surat ini menyusul surat Darud Donya sebelumnya kepada Walikota Banda Aceh Nomor 31/SP/IX/2020 tanggal 3 September 2020 perihal Penyelamatan Kawasan Situs Sejarah Gampong Pande, dan Nomor 04/SP/II/2021 tanggal 24 Februari 2021 perihal Pelestarian Kawasan Situs Gampong Pande Terkait Fatwa MPU Aceh.
Di dalam suratnya Darud Donya mengingatkan Walikota Banda Aceh tentang hasil pertemuan sebelumnya dengan Walikota Banda Aceh, antara lain:
Pertemuan Walikota Banda Aceh dengan Darud Donya dan para undangan lainnya, tanggal 22 November 2017 di Kantor Walikota Banda Aceh. Saat itu Darud Donya meminta Walikota untuk melestarikan kawasan situs Gampong Pande, dan agar diadakan penelitian yang komprehensif melibatkan para pakar dari berbagai bidang ilmu, juga penelitian kandungan situs-situs yang masih tertimbun dibawah tanah dan Gunung Sampah TPA Gampong Pande.
Pertemuan Walikota Banda Aceh dengan Darud Donya dan Presiden The Malay and Islamic World Organization (Dunia Melayu Dunia Islam/DMDI) beserta rombongan, tanggal 4 Oktober 2019 di Hotel Garuda Plaza Medan Sumatera Utara, antara lain membahas usaha pelestarian kawasan situs sejarah cagar budaya Gampong Pande.
Juga disampaikan mengenai hasil Konvensi Internasional DMDI yang menghasilkan Butir Resolusi Negara-Negara Dunia Melayu Dunia Islam dari seluruh dunia, antara lain:
Konvensi Internasional DMDI ke-18 tanggal 14-16 Desember 2017 di Medan Sumatera Utara, dihadiri oleh Darud Donya Aceh dan pemimpin/perwakilan dari 22 negara anggota DMDI, menghasilkan Butir Resolusi Dunia antara lain: “DMDI akan memelihara data mengenai sejarah Islam di negara-negara anggota DMDI, dan DMDI akan terus mendukung segala usaha yang memartabatkan Islam serta membantu negara Islam seperti Palestina, Rohingya, Aceh serta negara-negara Islam lainnya”.
Konvensi Internasional DMDI ke-19 tanggal 17-18 November 2018 di Singapura, dihadiri oleh Darud Donya Aceh, Presiden Singapura, serta pemimpin/perwakilan dari 22 negara anggota DMDI lainnya, menghasilkan Butir Resolusi Dunia antara lain: “DMDI meminta dengan hormat kepada Pemerintah Aceh untuk menyelamatkan situs sejarah dan makam-makam Ulama di Gampong Pande, serta situs sejarah lainnya di seluruh Aceh”.
Pertemuan Walikota Banda Aceh dengan Darud Donya, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI beserta rombongan, tanggal 26 Desember 2019 di Pendopo Walikota Banda Aceh, antara lain membahas pelestarian kawasan situs sejarah cagar budaya Gampong Pande dan sepakat bahwa proyek IPAL Gampong Pande direlokasi.
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPRK Banda Aceh di Gedung DPRK Banda Aceh tanggal 13 September 2017, dipimpin oleh Ketua DPRK Banda Aceh dihadiri oleh para anggota DPRK Banda Aceh, Wakil Walikota Banda Aceh, Darud Donya, para Ulama dan para tokoh serta pihak terkait lainnya, berkesimpulan dan sepakat untuk menghentikan dan merelokasi IPAL Gampong Pande ke tempat lain, dan ditindaklanjuti dengan surat DPRK Banda Aceh kepada Walikota Banda Aceh Nomor 640/2925 tanggal 9 Oktober 2017 perihal Pemberhentian Pembangunan IPAL.
Berikut adalah bagian lanjutan seterusnya dari isi surat Darud Donya kepada Walikota Banda Aceh:
“Terkait surat Walikota Banda Aceh kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI Cq Dirjen Cipta Karya, Nomor: 660/0253, tanggal 16 Februari 2021 perihal Lanjutan Pembangunan IPAL Kota Banda Aceh, berikut ini kami sampaikan bahwa terdapat beberapa kejanggalan bahkan kekeliruan fakta dan data dalam surat tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Dalam poin (a), Walikota Banda Aceh menyatakan antara lain bahwa “nisan-nisan kuno dan kerangka manusia yang ditemukan di lokasi IPAL itu tidak berupa makam Raja atau keluarga Raja pada masa Kesultanan Aceh, melainkan bagian dari pemakaman mayarakat umum”.
Pernyataan ini adalah suatu kekeliruan.
Karena bentuk corak ragam nisan-nisan di situs makam yang terdapat di area IPAL (yang secara sengaja dirusak, dikorek dan digusur tulang belulangnya oleh pemerintah) adalah serupa dengan bentuk khas ragam nisan para Raja, keluarga Raja, para umara dan para tokoh Ulama yang menempati posisi penting dan berpengaruh pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, dan sama sekali bukan jenis nisan pemakaman masyarakat umum.
Bentuk ragam batu nisan Aceh berukir milik para Raja, keluarga Raja dan Ulama yang ditemukan di dalam area IPAL ini, juga ditemukan di hampir seluruh kawasan situs Gampong Pande, bahkan terdapat di seluruh Aceh, di Nusantara, sampai ke negeri-negeri Melayu di Malaysia dan sekitarnya yang dulu pernah berada di dalam Kesultanan Aceh Darussalam.
Untuk bahan perbandingan Walikota Banda Aceh, maka kami sarankan untuk melihat hasil penelitian oleh banyak peneliti dari dalam dan luar negeri yang telah meneliti nisan batu Aceh berukir khas nisan tokoh Kesultanan Aceh Darussalam yang terdapat di kawasan situs Gampong Pande, diantaranya:
Balai Arkeologi Sumatra Utara; Lucas Partanda; 2014; Gampong Pande, An Impotant Site At The Top Of North Sumatera Island.
Othman Mohammed; Durham University of England; 1985; Batu Aceh, Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia.
Mehmet Ozay, Assoc. Prof. of Sociology at Ibnu Haldun University of Istambul, Turki.
Annabel Teh Gallop, Head of Southeast Asia Section The British Library, Fellow of The British Academy, London.
Berbagai LSM, sejarawan dan pegiat sejarah dari seluruh Dunia Melayu dan Dunia Islam yang telah meneliti Batu Nisan Aceh yang terdapat di Gampong Pande, di seluruh Aceh dan melayu nusantara.
Kami juga menyarankan agar Walikota Banda Aceh sekali-kali dapat pergi berziarah ke situs makam para Raja dan Ulama Kesultanan Aceh Darussalam yang banyak terdapat dan terlantar di sekitar kantor dan rumah Walikota Banda Aceh, agar Walikota Banda Aceh dapat melihat sendiri dan langsung dapat membedakan mana makam Raja, keluarga Raja dan Ulama, dan mana pemakaman masyarakat umum.
2. Dalam poin (b), Walikota menyatakan antara lain bahwa saat ini secara hukum situs yang berada di area proyek IPAL tersebut belum ditetapkan menjadi cagar budaya sehingga keberadaan IPAL disekitar situs tersebut tidak menyalahi aturan.
Pernyataan ini adalah suatu kekeliruan.
Kami meminta Walikota Banda Aceh untuk membuka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 31, Ayat 5. Serta Penjelasan Atas UU Nomor 11 Tahun 2010, Pasal 31, Ayat 5.
Maka nyata bahwa perlakuan terhadap sesuatu yang sudah ditetapkan sebagai objek cagar budaya (OCB) atau objek yang diduga sebagai cagar budaya (ODCB) adalah sama.
Hal ini berlaku bagi benda, bangunan, struktur, atau lokasi kawasan yang dianggap telah memenuhi kriteria sebagai cagar budaya, yaitu dilindungi dan diperlakukan sebagai benda dan/atau kawasan Cagar Budaya sesuai UU No. 11 Tahun 2010.
Pelanggaran terhadap hal ini berarti menyalahi aturan yang berlaku.
Kami juga menyesalkan sikap Walikota Banda Aceh yang tidak mau menetapkan status situs tersebut sebagai Cagar Budaya padahal sudah ditemukan lebih dari 4 (empat) tahun yang lalu.
3. Dalam poin (c), Walikota menyatakan bahwa hasil Zonasi Kawasan situs Gampong Pande menunjukkan bahwa lokasi proyek TPA dan IPAL adalah masuk ke dalam Zona Inti II.
Maka semakin jelas bahwa pembangunan IPAL di Zona Inti adalah suatu kesalahan.
Kami mengingatkan bahwa, di dalam Zona Inti adalah mutlak untuk mempertahankan keaslian cagar budaya, dan dilarang untuk diadakan pembangunan sesuatu atau melakukan kegiatan apapun yang untuk diluar dari tujuan pelestarian dan penelitian.
4. Dalam poin (d), jelas nyata bahwa Walikota Banda Aceh mengakui kesalahan bahwa lokasi pembangunan proyek IPAL adalah lokasi kawasan situs sejarah cagar budaya yang seharusnya dilindungi.
Namun Walikota menyatakan tetap melanjutkan pembangunan IPAL dengan alasan keterlanjuran dengan memastikan bahwa lokasi itu steril dari cagar budaya melalui ekskavasi penyelamatan.
Pernyataan ini adalah suatu kekeliruan.
Karena Kawasan situs sejarah cagar budaya-lah yang seharusnya steril dari proyek IPAL dengan cara memindahkan proyek tersebut ke tempat lain agar situs-situs cagar budaya tak perlu digusur demi pembangunan IPAL.
Pemerintah Kota Banda Aceh juga berkewajiban mengeksplorasi potensi sejarah Kawasan situs Gampong Pande sesuai amanah UU No. 11 Tahun 2010 Pasal 26, Ayat 1, yang berbunyi: “Pemerintah BERKEWAJIBAN melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya”.
Pembangunan proyek IPAL di Gampong Pande adalah pengabaian terhadap kewajiban ini dan jelas merupakan Tindakan Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Alasan “keterlanjuran” tidak dapat diterima, mengingat Pemerintah Kota Banda Aceh sejak dulu jauh sebelum memulai pembangunan proyek IPAL (tahun 2015) telah sangat mengetahui bahwa Kawasan Gampong Pande merupakan Kawasan situs sejarah cagar budaya. Hal ini terbukti antara lain sebagai berikut:
Tahun 1988, Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh mengadakan Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh, menetapkan bahwa:
“Hari Jadi Kota Banda Aceh adalah 1 Ramadhan 601 H, hari Jum’at, bertepatan tanggal 22 April 1205. Tanggal ini didasarkan pada permulaan pemerintahan Sultan Alaiddin Johan Syah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota Bandar Aceh Darussalam, dan ISTANA yang didirikan oleh Sultan Johan Syah merupakan PUSAT KERAJAAN yang berlokasi di GAMPONG PANDE”
Tanggal 22 April 2007 dibangun Tugu Titik Nol Kota Banda Aceh di Gampong Pande, terletak hanya beberapa langkah dari TPA Sampah dan lokasi IPAL sekarang. Dalam prasasti Tugu tertulis: “Disini cikal bakal Kota Banda Aceh awal mula Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Johan Syah 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205 M”. Tugu diresmikan langsung oleh Walikota Banda Aceh.
Tahun 2014 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh bekerjasama dengan Balai Arkeologi Sumatera Utara mengadakan penelitian dan pendataan tinggalan arkeologis di seluruh Kawasan Situs Gampong Pande, memaparkan bukti-bukti penemuan berbagai artefak dan situs-situs berskala dunia di seluruh Kawasan Situs Gampong Pande termasuk di dalam lokasi TPA dan lokasi pembangunan IPAL sekarang.
Kita memahami bahwa manusia tak lepas dari kesalahan, maka kami meminta Walikota Banda Aceh sebagai pengambil kebijakan hari ini untuk tidak melanjutkan kesalahan para pengambil kebijakan dimasa lalu dengan alasan keterlanjuran.
Karena kesalahan yang telah disadari terlanjur dilakukan, namun terus saja dilakukan padahal dapat dihentikan, merupakan suatu perilaku yang jauh dari nilai-nilai kecerdasan dan sangat bertentangan dengan norma moral, agama dan akal budi kewarasan.
Kami juga kembali mengingatkan Walikota Banda Aceh untuk taat dan patuh pada Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya Dalam Perspektif Syariat Islam, yang antara lain menyatakan bahwa “menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya Islami hukumnya adalah HARAM”.
Maka kami meminta Walikota Banda Aceh untuk memindahkan proyek IPAL, TPA Sampah dan IPLT Tinja ke tempat lain yang tidak merusak, menghilangkan, mengotori dan melecehkan Kawasan Situs Sejarah Cagar Budaya Islam.
Semoga Allah membuka hati Walikota Banda Aceh untuk menjaga marwah, harkat dan martabat Bangsa Aceh.”
Demikian diatas adalah isi surat Darud Donya. Surat ini ditembuskan kepada Menteri PUPR RI Cq. Direktur Jenderal Cipta Karya, Pimpinan DPRK Banda Aceh, dan Kadis PUPR Kota Banda Aceh.[*/Red]