"Kompleks situs sejarah itu tidak boleh dipindahkan dan digusur," kata Ketua Peusaba Aceh Mawardi Usman, kepada LintasAtjeh.com, Senin (15/02/2021).
Menurut fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh nomor 5 tahun 2020, yang mengharamkan perusakan dan pelecehan situs sejarah makam dan cagar budaya Islami, sehingga dilarang keras adanya penggusuran situs sejarah untuk pembangunan.
Dalam sejarah Aceh hanya Kaphe Belanda yang menghancurkan makam para raja dan ulama untuk membuat jalan. Jika pemerintah dan pihak proyek serta antek-anteknya tetap bersikeras mengorek atau memindahkan makam para ulama sufi Aceh, itu berarti menantang rakyat dan bangsa Aceh secara terbuka.
"Kita minta pmerintah pusat menghargai Aceh, dan tidak berusaha memanaskan keadaan di Aceh dengan membiarkan penghancuran dan pelecehan makam para Raja dan ulama Aceh dalam pembangunan proyek-proyek nasional di Aceh," katanya.
"Jangan sampai terulang kejadian sebagaimana makam para ulama yang dikorek dan dilecehkan pemerintah dalam pembangunan proyek nasional pembuangan tinja manusia di makam para raja dan ulama di Gampong Pande Banda Aceh," ujarnya.
Dia menjelaskan, pada masa Belanda, untuk merebut kemerdekaan seluruh rakyat bersatu padu melawan penjajah, karena penjajah memusnahkan makam para Raja dan Ulama di Nusantara. Kalau Pemerintahan sekarang juga menghancurkan Makam Raja dan Ulama sufi Aceh demi pembangunan, berarti sudah mengikuti pola penjajahan Kaphe Belanda yang memusuhi Islam sampai makam para raja dan ulama Islam dimusnahkan.
Kawasan Kajhu, Lambada dan Kuala Gigeng dulu adalah kawasan penting dimana keluarga Sultan dan Para Raja tinggal. Dikawasan ini tinggal Wazir Panglima Paduka Sinara yang melatih militer keluarga Kesultanan Aceh Darussalam, dan juga menjabat Ulebalang Lhok Gulong dan Mukim Paya di Pulo Weh yang langsung berada dibawah Sultan, sehingga dikenal dengan Nanggroe Wakeuh.
Dikawasan Kuala Gigheng Lambada berdiam Bentara Gigeng. Dalam Qanun Meukuta Alam ketika Wazir Sri Maharaja Lela datang maka dibunyikan Meriam 21 kali dan untuk penyambutan Bentara Gigeng dibunyikan Meriam 9 Kali. Ini menandakan kawasan Kajhu, Lambada, Gigieng dan sekitarnya adalah kawasan inti era Kesultanan Aceh Darussalam.
Di Lamreh Krueng Raya bahkan terdapat kerajaan Lamuri yang sudah ada jauh sebelum Masehi dan di dekat Ladong ada Benteng zaman pra Islam Kuta Indrapatra. Di kawasan Ladong juga ada kawasan Rumoh Seuribee Kaway Kuta (Rumah Seribu yang mengawal Kuta) tempat Wisma Negara Kesultanan Aceh Darussalam yang kemudian di Bakar Raja Siujud dan mempermalukan Sultan Iskandar Muda di dunia Internasional saat itu. Akhirnya Iskandar Muda mengarahkan militer mencapai 40 ribu prajurit menyerang Raja Si Ujud atau Portugis di Malaka.
"Khazanah Aceh adalah khazanah yang sangat kaya yang membuat Aceh sejak dulu terkenal hingga keseluruh dunia, maka segala peninggalan sejarahnya wajib dilestarikan," pungkasnya.[*/Red]