LINTAS ATJEH | JAKARTA - Setiap orang atau pekerja mesti memikirkan masa depan atau jaminan hari tua. Karena itulah, tumbuh beragam produk untuk menjawab kebutuhan ini, seperti tabungan pensiun atau BPJS Ketenagakerjaan yang salah satu unsur di dalamnya mencakup jaminan hari tua (JHT). Untuk keperluan tersebut, umumnya gaji pekerja dipotong setiap bulan.
Sejatinya, ada masa depan yang jauh lebih penting yang semestinya dipikirkan setiap muslim, yaitu jaminan hari akhirat (JAH). Logikanya, jika untuk hari tua saja kita perlu menyisihkan sebagian gaji untuk ditabung menjadi JHT, apatah lagi untuk JAH. Semestinya, kita lebih serius lagi untuk menyisihkan sebagian gaji atau penghasilan kita setiap bulannya.
Lantas, apakah JAH itu? Berdasarkan Hadis Rasulullah riwayat Imam Muslim, ada tiga perkara yang pahalanya akan terus mengalir meski seseorang telah meninggal dunia, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan.
Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud sedekah jariyah adalah wakaf. Artinya, jika setiap muslim memikirkan JAH, maka seharusnya setiap muslim berwakaf sesuai kemampuan masing-masing. Ibnu Qudamah, dalam kitabnya Al-Mughni, menyebutkan bahwa semua sahabat berwakaf sesuai kemampuannya. Karena, sahabat memahami betapa strategisnya wakaf sebagai JAH.
Karena itulah, sebagai muslim yang meneladani Rasulullah dan para sahabat, semestinya kita juga berwakaf. Tidak ada batasan minimal dalam berwakaf. Terlebih dengan telah diterbitkannya fatwa tentang kebolehan wakaf uang. Berwakaf menjadi lebih mudah dan bisa dilakukan oleh siapapun sebagai upaya menyiapkan JAH.
Dalam konteks ini, menyiapkan JAH bisa diwujudkan dengan tabungan wakaf. Tabungan wakaf secara psikologis berbeda dengan potong gaji langsung setiap bulan untuk berwakaf. Potong gaji langsung barangkali ada rasa “pemaksaan”, sedangkan tabungan wakaf lebih menumbuhkan kesadaran dan keterlibatan aktif umat Islam. Karenanya, lebih mudah diterima secara psikologis.
Perlu dipahami, wakaf berbeda dengan zakat. Zakat boleh dan bisa dipaksakan. Ayatnya pun jelas memerintahkan demikian (QS. 9: 103). Karena, zakat merupakan solusi kemiskinan. Sementara, wakaf adalah solusi kemanusiaan dan kesejahteraan. Ayatnya pun bernada motivasi mencapai kebajikan yang sempurna (QS. 3: 92).
Karenanya, pendekatan tabungan wakaf lebih tepat untuk dikembangkan dan diedukasikan guna memasyarakatkan wakaf. Bukankah umat Islam sudah sangat familiar dengan berbagai produk tabungan? Ada produk tabungan haji, umrah, pendidikan, dan sebagainya. Lantas, mengapa kita tidak meluncurkan produk tabungan wakaf?
Menabung merupakan budaya masyarakat Indonesia. Sejak Taman Kanak-Kanak, setiap anak sudah diajarkan untuk menabung. Karenanya, menabung sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Dengan demikian, harapannya tabungan wakaf lebih mudah dipahami dan diterima masyarakat untuk kemudian diwujudkan.
Hal ini berbeda dengan sukuk. Tidak semua umat Islam familiar dengan istilah sukuk. Karenanya, bisa jadi produk cash waqf linked sukuk (CWLS) yang belum optimal penghimpunannya, disebabkan masih asingnya istilah sukuk bagi umat Islam.
Karena itu, kehadiran produk tabungan wakaf akan semakin melengkapi produk-produk wakaf yang sudah ada. Dan, yang lebih penting lagi, bisa lebih berdampak signifikan terhadap penghimpunan wakaf uang.
Di Indonesia terdapat kurang lebih 42 juta kelas menengah muslim dengan penghasilan di atas Rp 10 juta per bulan. Bila setiap muslim membuka tabungan wakaf dan rata-rata tabungan wakafnya Rp 1 juta selama setahun, maka penghimpunan wakaf uang melalui tabungan wakaf sebesar Rp 42 triliun dalam setahun.
Belum lagi ditambah dengan potensi penghimpunan tabungan wakaf diluar kelas menengah muslim. Jumlahnya akan lebih besar lagi. Mengingat potensi wakaf uang secara nasional mencapai Rp 188 triliun per tahun.
Pada tataran teknis pelaksanaannya, Badan Wakaf Indonesia (BWI) atau Lembaga Ziswaf bisa bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Perbankan Syariah untuk meluncurkan produk tabungan wakaf. Kemudian, secara bersama-sama dipublikasikan dan dikampanyekan kepada masyarakat untuk membuka tabungan wakaf.
Sebagaimana tabungan, tidak ada batasan minimal setoran wakaf setiap bulannnya, besar setoran wakaf bisa bervariasi setiap bulannya. Tidak ada juga batasan minimal jangka waktu tabungan. Bisa lima, sepuluh, lima belas, atau dua puluh tahun. Tabungan wakaf juga bisa ditutup kapanpun sesuai permintaan nasabah. Semua dikembalikan kepada kesadaran dan kemampuan setiap nasabah.
Hanya, bedanya dengan tabungan biasa, tabungan wakaf tentu saja tidak bisa diambil. Jika sudah tiba masanya, tabungan wakaf dicairkan. Kemudian, disalurkan kepada BWI atau Lembaga Ziswaf untuk projek wakaf sosial. Misalnya, pembangunan layanan pendidikan atau kesehatan gratis bagi umat. Bisa juga untuk projek pembelian aset wakaf produktif, seperti persawahan dan perkebunan wakaf.
Pada akhirnya, melalui tabungan wakaf, semoga bisa menjadi solusi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[*/Red]