Seharusnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Pemerintah Aceh, dan Wali Nanggroe selalu membahas dan memperjuangkan MoU Helsinki. "Karena dengan adanya MoU Helsinkilah maka saudara dan anda-anda bisa duduk sebagai pemangku kepentingan pada hari ini," tegas Tarmizi Age Mantan aktivis GAM Denmark, Minggu (10/1/2021).
"Padahal Aceh punya peluang untuk maju dan sukses, Jangan Kita sia-siakan”. Pemerintah Aceh dan DPRA seharusnya menuntaskan setiap butir Kesepehaman yang telah dirumuskan dan ditandatangani oleh Pemerintah RI-GAM.
"Ini malah waktu terbuang dengan isu interplasi dan pokir, yang pada akhirya memperlihatkan wajah orang-orang yang terhormat "rioeh sabee keudroe-droe (cekcok sesama sendiri), kapan Aceh bisa beres, kalau begini terus," kata Tarmizi Age.
Menurut Mantan Ketua Monitoring Peace and Democracy (KMPD) Aceh Perwakilan Eropa, secara umum tantangan yang dihadapi Aceh saat ini sudah cukup komplit, yakni pandemi Covid-19. Wabah itu memang menjadi tantangan global, kemudian dampak ekonomi dan sosial yang ikut merobah pola kehidupan di Aceh, bahkan semua daerah dan dunia.
"Ditambah dengan masaalah mendasar di Aceh, yaitu nota kesepahaman antara RI-GAM sebegai penyudah konflik Aceh yang sudah berjalan 16 tahun, yang dinilai tidak ada perkembangan berarti, selain melahirkan UU PA," ujar Tarmizi Age.
Kenapa Pemerintah Aceh dan DPRA terlihat malas menyelesaikan berbagai persoalan MoU Helsinki, padahal itu menjadi salah satu tugas utama pemerintah dan parlemen DPRA di Aceh. "Bahkan selalu jadi bahan kampanye setiap Pilkada bergulir," jelas Tarmizi Age.
Dikatakan Tarmizi, setidaknya terdapat empat persoalan bangsa yang harus dihadapi oleh rakyat Aceh saat ini. Pertama, pandemi corona yang harus diatasi. Kedua, masalah ekonomi yang harus diperkuat dan ketiga, problema sosial.
Ke empat, merupakan akar yang terkait langsung dengan setiap permasalahan yang ada di Aceh, yaitu implementasi seluruh butir-butir MoU Helsinki yang ditandatangani RI-GAM pada 2005 di negara Finlandia dengan ditengahi mantan Presiden negara tersebut Martti Ahtisaari.
Menurut Tarmizi Age lagi, permasalahan ke empat tersebut justru lebih mendasar sifatnya, jika diabaikan akan berdampak sangat buruk bagi kehidupan rakyat Aceh di masa depan.
"Kalau tidak dikelola dengan baik, dan terjadinya disharmoni sosial ini, maka akan membuat bangsa benar-benar terpecah dan terbelah, tolong dirawat sebaik mungkin perdamaian Aceh," pinta Tarmizi Age.
"Menjadi sangat disayangkan, jika Pemerintah Aceh, DPRA dan para perunding GAM, terutama Malik Mahmud Al Haytar yang kini menjabat Wali Nanggroe di Aceh, yang terlibat langsung menandatangani MoU Helsinki, tidak serius dalam menangani dan merealisasi seluruh isi perjanjian damai. Dikhawatirkan, MoU Helsinki bakal jadi kenangan pahit buat masyarakat Aceh," tutup Tarmizi Age.[sidaknews.com]