Di dalam Islam keluarga dibentuk berlandaskan hubungan yang suci yang diikat melalui pernikahan ( lihat surat an-nisa’;21) antara pria dan wanita yang memenuhi rukun dan syarat tertentu. Pada saat keluarga tersebut diberi amanah oleh Allah berupa anak (keturunan), maka orang tua (dalam hal ini ayah dan ibu) harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan memberikan pendidikan agama terlebih dahulu. Karena basis pendidikan agama yang nantinya akan menciptakan generasi penerus masa depan yang tentunya memiliki kecerdasan akhlak dan pengetahuan yang baik. Dengan agama, keluarga akan diarahkan kepada orientasi tidak hanya hidup bahagia di dunia tapi juga hidup bahagia di akhirat.
Keluarga yang di dalamnya dipenuhi dengan mahabbah, mawaddah wa rahmah, adalah keluarga yang diidamkan oleh siapa saja. Karena dengan adanya unsur tadi (mahabbah,mawaddah, rahmah) maka akan tercapai apa yang dinamakan dengan sakinah (ketenteraman) yang merupakan tujuan pokok dalam membangun keluarga. Ketenteraman disini tentunya adalah rasa bahagia yang dimiliki oleh setiap individu yang ada di dalam keluarga, seolah-olah surga telah mewujud di dunia. Bukankah di dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan bagaimana kondisi dan situasi para penduduk surga yang dipenuhi dengan kenikmatan yang tiada taranya. Tidak ada kata-kata yang dapat dilukiskan untuk mengukur kebahagiaan yang terdapat di dalam surga tersebut.
Keluarga yang dibangun dengan pondasi yang berlandaskan syari’at, akan menjadi keluarga yang tidak hanya dapat hidup berbahagia di akhirat saja, tapi di dunia juga sudah merasakan kebahagiaan seolah-olah hidup di dalam surga. Tidak jarang juga kita melihat di lingkungan sekitar kita baik dari pemberitaan media maupun di kehidupan nyata yang dekat dengan kita tentang kondisi keluarga yang berantakan. Hubungan yang terbangun adalah percekcokan, perselisihan dan hal-hal negatif lainnya yang jauh dari kata bahagia. Seolah-olah neraka sudah terlebih dahulu hadir di dunia.
Padahal Al-Qur’an sudah memperingatkan dan berpesan di dalam surat At-Tahrim ayat 6 yang artinya: “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa untuk menghindarkan diri dan keluarga dari api neraka ada hal-hal yang harus dikerjakan, yaitu perkuat pondasi keluarga melalui taqarrub kepada Allah dengan cara beribadah dan melaksanakan dengan sebaik mungkin seluruh perintah dan menjauhi larangan sesuai dengan tuntunan-Nya.
Dengan adanya pendidikan agama kokoh yang ada pada orang tua dan anggota keeluarga lainnya, Insya Allah tidak hanya surga di akhirat saja yang diberikan Allah, tapi surga di dunia sudah terlebih dahulu diperlihatkan, dan begitu juga sebaliknya. Bila keluarga yang dibangun tidak berlandaskan pondasi agama yang kuat, maka tidak hanya neraka di akhirat saja yang akan menanti, neraka di dunia sudah terlihat di depan mata dengan berbagai bentuk penyiksaan baik lahir maupun batin. Na’udzubillahi min dzalik.
Meminjam pendapat Quraish Shihab yang mengatakan bahwa: “Kehidupan keluarga, apabila diibaratkan sebagai satu bangunan, dari terpeliharanya bangunan tersebut dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka ia harus didirikan di atas pondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. Pondasi kehidupan kekeluargaan adalah ajaran agama, disertai dengan kesiapan fisik dan mental calon-calon ayah dan ibu”.
Nabi SAW mengajarkan bahwa pada saat mencari pasangan untuk dinikahi terdapat beberapa kriteria. Kriteria tersebut diantaranya adalah dari aspek keturunan, kekayaan, kecantikan, dan agama. Namun di antara kriteria pemilihan calon pasangan hidup tersebut, Nabi SAW menganjurkan untuk memilih yang agamanya kuat, karena hanya dengan pilihan inilah keluarga dapat dibangun dengan pondasi kebahagiaan melalui ketaatan dan kekuatan agama yang dimiliki oleh pemiliknya. Dengan sudah diperolehnya kebahagiaan, maka sudah sepantasnya surga di dunia dirasakan dan pada akhirnya nanti surga yang hakiki akan menanti di akhirat kelak. Wallahu a’lam bish shawwab.
Penulis: Fajri Chairawati (Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)