LINTAS ATJEH | JAKARTA - Sudah jadi rahasia umum orang yang menjabat sebagai Presiden selalu diberi fasilitas keamanan yang orang lain tak bisa menikmati.
Termasuk di Indonesia, para presidennya diberi pengawalan ketat Paspampers, pengawal khusus Presiden.
Tapi, terkadang ada beberapa Presiden Indonesia yang senang blusukan.
Jokowi misalnya, sangat dikenal dengan aksi blusukannya yang terkadang tak terduga hingga membuat repot Paspasmpers.
Sebelum Jokowi, Presiden Kedua RI, Soeharto juga menggemari hal yang sama.
Soeharto ternyata kerap kali tampil di tengah rakyat Indonesia bahkan melakukan beberapa penyamaran.
Kisah tersebut dikupas dari dua buku yakni 'Otobiografi Soeharto Pikiran, Ucapan dan Tindakan' serta 'Soeharto The Untold Stories'.
Dikutip TribunJatim.com dari Tribun Medan, simak cerita lengkapnya berikut.
Aksi blusukan yang dilakukan Soeharto sebenarnya ada banyak.
Tetapi, ada satu cerita yang menjadi ramai disoroti saat itu ketika Soeharto sering berkeliling daerah terpencil guna melihat hasil pembangunan.
Aksi Soeharto saat itu akhirnya tak jarang membuat para pejabat setempat ataupun menteri tak berkutik.
Mereka khawatir ketika ditanya oleh Soeharto terkait hasil yang dikerjakan.
Soeharto langsung ke bawah untuk membuktikannya.
Saat berkeliling Soeharto hanya ditemani ajudan atau satu dua pengawal dan dokter pribadi kata Tri Sutrisno masih dari buku tadi.
"Pak Harto selalu melakukan Incognito."
"Pak Harto selalu berpesan tidak boleh ada satupun yang tahu kalau Pak Harto mau melakukan incogniti," kata Tri.
Apa yang dilakukan Soeharto akhirnya buat pejabat daerah kalang kabut karena benar-benar tak tahu.
Wajah pucat dan bikin keringat dingin mengucur deras karena Soeharto membuktikan sendiri hasil pembangunan atau kemungkinan-kemungkinan bila terjadi penyimpangan.
Dalam blusukannya Soeharto tak pernah tidur di hotel.
Ia memilih tidur di rumah penduduk atau tidur di rumah kepala desa.
Soeharto lalu berbincang tanpa perantara dan mencatat.
Daerah mana yang berhasil dan daerah mana yang perlu ditingkatkan.
Soeharto yang gemar blusukan untuk pastikan pembangunan apakah berjalan sesuai rencana atau tidak membuatnya harus melakukan pencatatan secara detail.
Ia bahkan mencatat segala informasi dengan menggunakan punggung ajudannya bila tak ada meja yang bisa digunakan.
Soeharto di awal kekuasaan rajin melakukan blusukan, hal ini seperti yang dicatat pada 'Otobiografi Seoharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan.'
"Tentu saja saya pun kadang-kadang merasa capek."
"Ini karena hilir mudik dari sana ke mari lewat daratan, terbang dari satu tempat ke tempat lainnya untuk memulai dengan pembangunan yang baru dan mengontrol pembangunan yang sedang berjalan, dan lelah pula karena memeras otak."
"Tetapi saya tidak boleh mengeluh, apalagi menyerah."
"Pembangunan adalah perjuangan yang sengit," kata Soeharto melalui buku tersebut.
Kisah Lain Soeharto, Hadapi Detik Mencekam Jumpa Pers di Bosnia
Seorang pengawal Soeharto, yang juga Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden saat itu, Sjafrie Sjamsoeddin, menceritakan pengalamannya saat Soeharto mengunjungi Bosnia.
Kisah itu diceritakannya dalam buku "Pak Harto The Untold Stories".
Seperti mengutip dari buku tersebut, begitu tiba di Bosnia, Soeharto langsung disambut hangat oleh Presiden Bosnia saat itu, Alija Izetbegovic.
Keduanya terlibat pembicaraan akrab selama satu jam.
Selanjutnya, bersama Menteri Luar Negeri saat itu, Ali Alatas, Soeharto melakukan sesi jumpa pers.
Sedangkan, Sjafrie bersama petinggi militer lainnya, Mayor Unggul, hanya mendampingi di ruang tunggu.
Namun, tiba-tiba Sjafrie melaporkan sesuatu ke Soeharto.
Laporan itu terkait ditemukannya proyektil meriam.
"Pak, saat Bapak mengadakan pertemuan dengan Presiden Bosnia tadi, ada proyektil meriam jatuh tiga kilometer dari sini," kata Sjafrie melaporkan.
Mendapati laporan itu, sejenak Soeharto tampak tenang.
Sjafrie kemudian melanjutkan laporannya.
"Pak, waktu kita hanya tiga jam," ucap Sjafrie.
Soeharto kemudian menjawab laporan Sjafrie tersebut.
"Ya, beritahu Ali Alatas supaya selesai tepat waktu. Kita mesti berangkat tepat waktu," ujar Soeharto.
Menurut Sjafrie, saat itu suasana perang begitu mencekam.
Suasana tembakan terdengar di kejauhan.
Di sejumlah tempat terlihat para prajurit yang bersiaga penuh.
"Pak, ini persis dengan enam jam di Jogja."
"Waktunya enam jam, yaitu tiga jam perjalanan pergi-pulang, tiga jam kita di darat, jadi itu mirip enam jam di Jogja," kata Sjafrie.
Sjafrie kemudian menanyakan alasan Soeharto yang tetap mendatangi Bosnia walaupun kondisi sedang kritis.
Sjafrie pun mendapatkan jawaban yang menurut dia sama sekali tak diduganya.
"Ya, kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non-Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang, ya kita datang saja. Kita tengok," jawab Soeharto tenang.
"Tapi, ini kan risikonya besar," tanya Sjafrie lagi.
"Ya, itu kita bisa kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka menjadi tambah semangat," ucap Soeharto.[TribunStyle]