-->

Peusaba Aceh Pertanyakan Penemuan Pulau Baru di Kawasan Pantai Barat Aceh

17 Desember, 2020, 22.44 WIB Last Updated 2020-12-17T15:44:55Z

Peta Aceh dengan dua pulau besar di bagian baratnya. Mahfud MD menyebut Indonesia ketambahan dua pulau dan statusnya sudah diakui PBB sejak 2017.[Foto: Tribun Jabar]


LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Ketua Peusaba Aceh, Mawardi Usman mengatakan bahwa pada era kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah Aceh mencapai kawasan seluruh Sumatera dan wilayah Melayu tanpa Malaka sebab Malaka dikuasai oleh Portugis. Aceh juga menguasai perairan Samudera Hindia dan Selat Malaka. 


Pada masa jayanya Aceh menguasai Pariaman dan mengambil emas di Gunung Salido serta membawa kemakmuran bagi dunia Melayu, termasuk Air Bangis, Palembang, Asahan, Panai, Rokan, Indragiri dan lainnya.


Namun kemudian wilayah Aceh menyusut sampai menjelang perang Belanda-Aceh tahun 1873 yang hanya mencakup dari daerah Ayam Deunak di Riau, kemudian sebelah baratnya sampai Drien Tukok Raja yang hampir berbatasan dengan Kepulauan Andaman India.


Jadi Wilayah Aceh sangat luas dan diakui dunia Internasional saat itu. Kemudian setelah perang Revolusi 1945-1949 Wilayah Aceh yang diakui adalah sampai Langkat, Deli, Tanah Karo, Barus dan Air Bangis, ini menandakan luas wilayah Aceh kian mengecil. 


Maka Peusaba Aceh, Mawardi Usman bertanya-tanya keheranan terhadap pernyataan Pak Mahfud MD yang menyatakan bahwa ada temuan pulau baru di wilayah barat Aceh yang diakui PBB pada tahun 2017. Dari pernyataan beliau bahwa luas pulau baru tersebut seluas Madura. Sedangkan pulau yang cukup luas disitu adalah Pulau Simeulue. Ini amat mengherankan, karena Aceh sudah bergabung dengan Indonesia sejak tahun 1945, kenapa Pulau Simeulue di Aceh Barat baru diakui PBB tahun 2017? Karena ini membingungkan rakyat Aceh, maka kami meminta penjelasan.


"Kami keheranan kenapa wilayah kami wilayah Aceh ada penambahan pulau dari PBB tahun 2017 namun tanpa sepengetahuan kami. Kemudian kenapa baru sekarang diceritakan padahal sudah 3 tahun berlalu. Tentu ada agenda lain yang tak biasa," terangnya.


Peusaba juga merasa heran kenapa wilayah kepulauan Aceh di Singkil dan sekitarnya sering dicaplok Sumatera Utara, itu juga mengherankan, apakah pulau itu semua akan didaftarkan kepada PBB sebagai pulau dari Sumatera Utara? Itu pertanyaan yang tak terjawab dari banyak masyarakat Aceh Darussalam yang cinta perdamaian.


Apakah wilayah pulau baru yang ditemukan itu didaftarkan atas nama Aceh? Atau didaftarkan atas nama provinsi, itu harus ada penjelasannya. Sehingga tidak menjadi masalah di kemudian hari. Karena sejak adanya UUPA, Aceh tidak lagi disebut sebagai provinsi, kata provinsi dihilangkan dan namanya disebut sebagai Aceh, tanpa kata provinsi.


Karena Itu Peusaba meminta Pemerintah Pusat  menjelaskan tentang kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 secara lengkap dan hak-hak Aceh yang sebenarnya. 


Karena hari ini banyak sekali situs sejarah Aceh sudah hilang dan dimusnahkan, tapi Pemerintah baik di Aceh atau di Pusat  mendiamkan saja, kalau tidak dibilang mendukung, atau malah mau mendaftarkan Aceh nanti ke PBB tanpa sejarahnya, sebab sudah dihilangkan sejarahnya, maka kami meminta penjelasan kenapa proyek IPAL di Gampong Pande belum dihentikan padahal jelas-jelas dibangun di makam para Raja Dan Ulama Aceh dan telah merusak kawasan situs sejarah.


"Pemerintah diingatkan bahwa sejarah Aceh adalah sejarah yang telah ada sejak ribuan tahun, jika sejarah Aceh hilang maka sejarah Indonesia juga hilang. Sebab sejarah berkesinambungan dan berkelanjutan. Bila tidak ada Aceh, maka tidak ada Indonesia," pungkasnya, Kamis (17/12/2020).[*/Red]

Komentar

Tampilkan

Terkini