Hal yang sama terjadi di kawasan Aceh Besar. Kenapa kawasan penduduk yang ada di bantaran sungai ditertibkan dan dibersihkan dengan cepat, namun bangunan Gedung Arsip Nasional yang berada ditepi sungai tidak ikut di ratakan atau dirobohkan? Apakah karena bangunan nasional?
"Jika proyek nasional dan bangunan nasional di Aceh tidak bisa diganggu gugat, namun kalau punya Aceh dapat dengan mudah dihancurleburkan. Ini adalah tidak adil dan rasis," kata Mawardi kepada redaksi, Senin (07/12/2020).
Dikatakannya, tidak ada artinya MoU Helsinki dan tambahan MoU satu gerobak lagi kedepan jika dibuat lagi namun kekhususan di Aceh tidak ada.
"Asai ata nasional hanjeut teupeh angen tapi nyoe ata Aceh di peuhancoe klaha (kalau punya nasional angin pun jangan tersentuh sedangkan punya Aceh dihancurleburkan rata dengan tanah)," tukasnya.
Ketua Peusaba Aceh meminta Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, Banda Aceh dan Aceh Besar jangan banyak lagak di Aceh. Aceh bukan wilayah taklukan yang mengemis kasih dan meminta pertolongan kepada pusat pada masa revolusi tahun 1945-1949.
"Namun pihak Pusatlah yang datang ke Aceh sambil menangis meminta bantuan Aceh Darussalam untuk melawan Belanda. Jadi kami bukan tamu dan bukan orang lemah, kami ada di negeri kami dan kami tidak takut," ungkap Mawardi.
Lanjut dia, apakah anda ingat ketika nenek moyang anda menangis meminta bantuan 50 kg emas ke Pemimpin Aceh? Rakyat Aceh kemudian membantu tanpa pamrih, demikian juga bantuan yang lain. Kemudian apa balasannya? Provinsi Aceh dileburkan dengan Sumatera Utara tahun 1952 dan 13 pelabuhan utama Aceh ditutup, sehingga ekonomi perdagangan Aceh macet hingga kini.
"Jadi kami Aceh bukanlah orang yang tidak punya jasa, yang bisa kalian perlakukan semena-mena dengan menghancurkan peninggalan indatu kami dan adat istiadat kami," bebernya.
Pada masa era Kesultanan Aceh ada dikenal namanya Tanoh Raja. Tanoh Raja merupakan sebutan populer pada masa lampau untuk tanah waqaf (wakeuh) Sultan selebar tujuh "deupa meunara" di jalur kedua tepi Krueng Aceh (Sungai Aceh). Tanah itu dapat digunakan oleh rakyat, tapi tidak untuk dimiliki. Di tanah itu juga ditanami pohon buah-buahan yang dapat dipetik dan dimakan oleh siapa saja. Artinya kawasan tepi sungai boleh ditanami namun tidak boleh ada bangunan apalagi membangun proyek IPAL pembuangan tinja.
Ketua Peusaba Aceh meminta kejujuran proyek apa yang akan dilaksanakan di kawasan sungai Aceh. Sebab dulu dalam proses pembangunan proyek IPAL, pembebasan tanah dari warga Gampong Pande dilakukan pemerintah dengan alasan penghijauan, sehingga warga Gampong Pande memberikan tanahnya yang juga terdapat situs-situs sejarah makam para ulama.
Walau seluruh rakyat Aceh, bahkan seluruh negara-negara di dunia melayu dan dunia Islam telah memprotes proyek IPAL, yang telah merusak situs sejarah Kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara itu, namun Pemerintah Kota Banda Aceh tidak bergeming dan tetap bersikeras melanjutkan Proyek Nasional pembuangan tinja di makam ulama di kawasan sungai Aceh.
"Pemerintah harus jujur karena dikhawatirkan kawasan sungai Aceh malah dijadikan kawasan IPAL atau dibuat kantor atau perumahan seperti Gedung Arsip Nasional," pungkas Mawardi.[*/Red]