-->

Kota Mekah dan Sejarah Wahabi Mengganti Sistem Pendidikan Agama

07 Desember, 2020, 07.28 WIB Last Updated 2020-12-07T00:28:57Z

MEKAH dikuasai kaum Wahabi pada tahun 1924. Secara bertahap, kaum Wahabi mengganti sistem pendidikan agama di Kota Mekah. Inilah sejarah wahabi mengganti sistem pendidikan agama di kota Mekah.


Mekah adalah kota suci umat Islam. Di sana terdapat situs suci, yaitu Masjidil Haram dan Ka’bah. Kota ini menjadi pusat peziarahan terbesar di dunia Islam. Kota Mekah sejak ratusan tahun lalu dipimpin oleh seorang gubernur keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Mereka sering digelari Syarif atau Asyaraf. Siapapun penguasa wilayah Hijaz, maka para Asyraf ini akan diangkat menjadi pejabat setingkat gubernur.


Syekh Sa’id Mamduh dalam kitab Tasyniful Asma’ Bi Syuyukh Al-Ijazah Was Sima’ menyebutkan bahwa tradisi semacam itu telah terjadi sejak abad tahun 358 H. atau pada abad ke-4 Hijriah. Pada abad ke-7, Syarif yang menguasai kota Mekah adalah Syarif Qatadah bin Idris bin Matha’in (w. 617 H.). Ia adalah seorang pengikut Syiah Zaidiyyah. Para Syarif dari aliran Syiah Zaidiyah menjadi penguasa kota Mekah secara turun-menurun. Dominasi syarif pengikut Zaidiyyah ini berakhir sekitar dua abad sebelum kerajaan para syarif di Mekah berakhir pada abad ke-20 M. Setelah penguasaan selama sektiar 1000 tahun oleh para syarif beraliran Zaidiyyah, kaum Wahabi menakhlukkan kota Mekah pada tahun 1343 H. atau sekitar 1924 M.


Syekh Sa’id Mamduh mencatat bahwa masuknya kaum Wahabi ke kota Mekah bukan hanya mengubah sistem politik, tetapi juga mengubah sistem pendidikan yang telah berjalan ribuan tahun di Mekah. Kaum Wahabi berupaya memasukkan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri paham Wahhabiyah, ke dalam pusat-pusat pendidikan yang ada di kota Mekah. Selain sistem pendidikan, kaum Wahabi juga mengubah sistem pengelolaan Masjidil Haram dimana para khatib, imam, pengajar Masjidil Haram, dan penguasa Mekah-Madinah adalah berasal dari pengikut Wahabi. Mereka memiliki kelebihan dengan mulai digunakannya speaker di emperan Masjidil Haram. Sistem peradilan Mekah juga berubah dengan diterapkannya hukum Mazhab Hanbali.


Kaum Wahabi yang baru menguasai Mekah mendirikan sejumlah lembaga pendidikan, seperti Ma’had Al-Haram Al-Makki dan Darul Hadits Al-Khairiyyah. Kedua lembaga ini aktif menyebarkan pemikiran Wahabi. Khususnya untuk para pendatang dari Yaman dan Afrika. Tujuan lembaga pendidikan ini adalah untuk mengkader juru dakwah yang berpaham Wahabi di negaranya masing-masing.


Tidak berhenti sampai di sana, kaum Wahabi juga gencar menyerang tradisi keberagamaan yang dianut masyarakat Hijaz, baik berkaitan dengan masalah akidah maupun fiqih. Padahal, tradisi keberagamaan masyarakat Hijaz pada dasarnya adalah tradisi masyarakat Muslim di seluruh dunia.


Terhadap usaha kaum Wahabi mengubah sistem pendidikan Mekah sebagaimana dijelaskan di atas, respon para ulama Hijaz yang non Wahabi ada beberapa model. Pertama, menutup diri, memilih diam atau bersikap manis di hadapan aparat Wahabi. Kaum Wahabi telah memegang kendali kekuasaan, dari level tertinggi hingga hal paling teknis di tingkat pendidikan di Mekah. Mereka memiliki aparat keamaan yang mengontrol kegiatan para ulama Hijaz. Kondisi ini membuat sebagian ulama Hijaz memilih menutup pengajiannya di Masjidil Haram karena khawatir intimidasi dari aparat.


Kedua, tetap membuka pengajaran di kediaman pribadi para ulama. Sekalipun ada larangan untuk mengajar kepada ulama-ulama Mekah, tetapi mereka tetap memberikan pelajaran. Ulama yang ketahuan mengajar maka akan diberi sanksi dalam bentuk pemberhentian atau pelarangan. Hal ini sebagaimana terjadi pada Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Syaikh Abdullah bin Sa’id Al-Lahji, Syekh Isma’il bin Utsman Al-Zain, Sayyid Muhammad Al-Muntashar Al-Kattani, Syekh Muhammad Amin Al-Harari dan lainnya. Sayyid Muhammad Al-Muntashar merasa sangat tersakiti karena larangan mengajar yang diberlakukan terhadap dirinya. Hal ini karena beliau adalah seorang syarif bermarga Idrisi kelahiran Madinah. Di negerinya sendiri, beliau dilarang beraktifitas.


Untuk menandingi sistem pendidikan Hijaz, khususnya Mekah, yang telah berjalan ribuan tahun, kaum Wahabi mendirikan perguruan tinggi Islam di Mekah. Universitas Ummul Qura. Universitas ini mengajarkan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Syekh Sa’id Mamduh ketika belajar di Madrasah Darul Ulum Al-Diniyyah, sebuah madrasah yabg didirikan untuk para santri dari Jawa yang bermazhab Syafi’i, Asy’ari dan Sufi, keluar aturan baru yang mengubah kurikulum pembelajaran dari pemerintah Saudi. Darul Ulum Al-Diniyyah harus mengikuti sistem perguruan tinggi. Karena itu, pelajaran fiqih Syafi’i dan aqidah Asy’ari diubah dengan literatur karangan Muhammad bin Abdul Wahhab dan fiqih Hanbali. Jam’ul Jawami’ –pelajaran ushul fiqih Syafi’i, diganti dengan Raudhatun Nadhir. Ketika Syekh Yasin Padang –guru Syekh Sa’di Mamduh wafat, Madrasah Darul Ulum Al-Diniyah ditutup oleh pemerintah Arab Saudi.


Penutupan Madrasah Darul Ulum Diniyah ini memungkasi sejarah Wahabi mengganti sistem pendidikan di kota Mekah. Syekh Yasin Padang wafat pada 21 Juli 1990 di Mekah. Sejak saat itu, sudah tidak ada lagi lembaga pendidikan lokal Mekah yang tersisa kecuali telah berubah menjadi lembaga pendidikan keagamaan berpaham Wahabi. Para ulama Mekah lebih banyak mengadakan pengajian di rumah-rumah pribadi mereka.[harakah]

Komentar

Tampilkan

Terkini