Rahim bermakna penyayang. Ini adalah salah satu sifat dari sekian banyaknya sifat yang dimiliki oleh Allah. Pada saat seorang janin berada di dalam rahim ibu, di sana janin itu merasa aman, tenteram dan damai. Suasana tersebut tentunya sudah sedemikian rupa diciptakan oleh Allah sebagai suatu proses di alam rahim.
Coba saja perhatikan wanita yang sedang mengandung, baik ibu kita sendiri teman atau siapapun yang berada di sekitar kita. Bagaimana sikapnya terhadap janin yang sedang dikandungnya. Disayang, diajak berbicara dan hal-hal lainnya yang membuat keadaan batin calon bayi merasa nyaman dan tenteram. Disinilah proses awal pendidikan berjalan.
Di dalam Islam pendidikan anak pertama kali adalah pada saat anak tersebut belum hadir ke dunia, yaitu suasana di mana calon anak tersebut masih berada di alam rahim. Pada saat inilah sebenarnya asas-asas Islam diajarkan, seperti memperdengarkannya lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an, memberikan makanan atau nutrisi yang baik dan halal dan hal-hal baik lainnya yang mengajarkan calon anak untuk mengenal Tuhannya. Betapa indah ajaran Islam ini, sedari awal calon manusia sudah diajarkan untuk mengetahui dan mengenal bagaimana ia bisa hidup dan dihidupkan oleh Sang Maha Hidup.
Selanjutnya setelah lahir bayi yang baru saja terlahir di dunia juga diperkenalkan untuk mengenal Tuhannya yaitu mengazankan dan mengiqamahkan di telinganya agar yang pertama sekali didengarnya pada saat kehadirannya di dunia ini adalah kalimat tauhid.
Dari rangkain proses yang telah disebutkan di atas, peranan orang tua (dalam hal ini ayah dan ibu) sebagai orang dewasa adalah memberikan pendidikan atau tarbiyah Islam sedari awal baik sebelum maupun setelah anak lahir di dunia. Orang tua adalah pendidik kodrati yang mana proses pendidikan yang diberikan berjalan sesuai dengan naluri dan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Keduanya juga merupakan pendidik pertama dan utama dalam kehidupan anak. Bila dilihat di antara dua orang pendidik dalam lingkungan keluarga dalam hal ini ayah dan ibu, tentunya ibulah yang paling dekat dengan anak-anaknya. Hal ini disebabkan kedekatan hubungan batin sejak anak masih berada dalam rahim sampai anak tersebut lahir ke dunia.
Sebagai pendidik kodrati, ibu tidak memiliki ijazah yang melegalkannya untuk mendidik anak-anaknya. Sukses tidaknya anak bukan bergantung pada tinggi tidaknya pendidikan seorang ibu. Tidak sedikit ibu yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dapat mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang yang berguna bagi agama dan bangsa.
Untuk menjadikan umat ini berperadaban, tentunya dimulai dari generasi-generasi yang berperadaban pula. Berperadaban disini tidak hanya unggul dalam hal teknologi belaka, tetapi yang lebih penting adalah unggul dalam memiliki moral (akhlak) yang mulia yang dapat membawa suatu bangsa menjadi bangsa yang bermartabat, dihormati kawan dan disegani lawan. Semua ini bisa terwujud dengan adanya peran ibu yang mendidik anak-anaknya dengan akhlak islami yang berpedoman kepada al-qur’an dan hadits nabi SAW. Memberikan pendidikan akhlak yang baik kepada anak-anaknya dengan mengajarkan anak melalui berkata-kata yang baik, lemah lembut, mengajarkan nya bacaan qur’an, dan akhlak-akhlak mulia lainnya yang terdapat di dalam tuntunan agama. Tidak hanya mengajarkan, ibu juga sekaligus menjadi uswah(teladan) bagi setiap hal yang diajarkannya. Menyuruh anak bersikap ramah dengan orang lain tentunya dilihat dari bagaimana ibunya bersikap ramah. Menyuruhnya shalat, pastinya juga dilihat dari bagaimana ibunya shalat. Inilah pendidikan awal pada diri seorang anak, bila pendidikan awal ini berhasil, pada saat anak berada di lingkungan luar dari keluarga akan mudah baginya beradaptasi dengan bekal pendidikan yang baik yang berasal dari ibunya.
Membangun peradaban bukanlah pekerjaan”simsalabim”. Butuh proses yang panjang dalam membangunnya. Mempersiapkan generasi-generasi yang mumpuni dan berkompeten, cerdas dalam akhlak dan intelektual, berawal dari pendidikan yang terdapat dalam keluarga. Walaupun dalam tulisan ini sedari awal membicarakan peran ibu, peran ayah juga tidak kalah pentingnya. Terjadinya kolaborasi peran di antara ayah dan ibu dalam mendidik anak akan memperkuat proses pendidikan awal bagi anak di dalam keluarga. Namun ibu lebih tampak perannya karena faktor intensitas kedekatan ibu dengan anak-anaknya. Dalam rangka menyambut hari ibu, patutlah diberi apresiasi yang sepantasnya kepada para ibu yang telah berjuang memberikan bimbingan, pendidikan baik moral maupun spiritual kepada anak-anaknya untuk menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki budi pekerti yang mulia yang akan membawa bangsa ini menuju bangsa yang berperadaban. Teruslah menjadi ibu yang baik, pendidik yang mulia yang akan terus mewujudkan kemuliaan di atas muka bumi ini. Wallahu A’lam.
Penulis: Fajri Chairawati, S. Pd, I., MA (Dosen Bahasa Arab Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)