Dalam sejarahnya, Aceh merupakan salah satu kesultanan Islam paling kuat di Asia Tenggara. Daerah ini telah lama menggunakan jenis hukum Islam informal yang dipadukan dengan hukum setempat atau yang dikenal "hukum adat". Undang-undang tersebut ditingkatkan ketika konflik separatis Aceh berakhir pada 2005. Secara bertahap, undang-undang tersebut diperluas ke lebih banyak pelanggaran dan terakhir dilakukan pada 2014. Namun faktanya, penerapan hukum syariah ini ditanggapi berbeda oleh berbagai pihak. polisi syariah memantau perilaku publik dan menegakkan aturan. Termasuk, dalam kaitannya dengan pakaian perempuan. Mereka yang dapat dikenai hukuman cambuk di hadapan publik ialah yang melakukan pelanggaran seperti seks gay (dihukum hingga 100 cambukan), zina (melakukan hubungan seks di luar pernikahan), perjudian, dan penjualan serta konsumsi alkohol Pro-kontra penerapan syariat Islam di Aceh tidak semudah seperti apa yang dibayangkan, salah satunya karena masih adanya kontroversi di kalangan masyarakat Aceh sendiri. Munculnya polemik di level pemikiran para intelektual muda Aceh, merupakan realitas yang cukup positif bagi pencerdasan masyarakat Aceh untuk mendalami keberadaan Islam baik dalam tataran pemikiran maupun terapannya di tengah-tengah masyarakat dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Keragaman pendapat justru membawa rahmat tersendiri sepanjang masih dapat saling menghargai perbedaan di antara masing-masing pandangan. Perbedaan pendapat menyangkut syariat Islam, sebenarnya tidak hanya terjadi di Aceh, secara umum perbedaan pandangan telah muncul di kalangan umat Islam. Hanya saja, karena Aceh yang notabene secara hukum diberikan status khusus, pro-kontra penerapan syariat Islam menjadi lebih mengemuka. Dalam kaitan ini, perbedaan pendapat tentang penerapan syariat Islam, terfregmentasi dalam dua pandangan, yaitu kalangan moderat yang berpendapat bahwa syariat Islam tidak perlu diformalisasikan. Sedangkan kalangan konservatif melihat bahwa syariat Islam mutlak harus diformalisasikan. Dengan demikian, secara tidak langsung kedua pendapat tersebut memunculkan pertanyaan tentang perlu tidaknya penerapan syariat Islam melibatkan kekuasaan negara. Atau dengan. Syariat Islam yang dicanangkan berlaku di bumi Aceh pada tanggal 1 Muharram 1423 hijriyah adalah syariat Islam secara kaffah (menyeluruh/sempurna). Timbul pertanyaan mengapa harusditambah kata-kata “kaffah“?. Bukankah ketika kita berikrar melaksanakan syariat Islam berarti kita harus melaksanakan secara sempurna dan menyeluruh, meskipun tanpa menyebut kata-kata kaffah seperti tertera dalam dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 208. Penyebutan kata-kata kaffah dianggap perlu dan penting secara politis, karena akan menentukan bagaimana peranan dan keterlibatan negara (Pemerintah Daerah) dalam upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dengan demikian terlaksananya syariat Islam di Aceh bukan hanya urusan pribadi pemeluk Agama Islam, tetapi telah menjadi tugas dan tanggung jawab Negara (Pemerintah Daerah).
Hari ini di Aceh tidak henti hentinya persoalan syariat islam di perbincangkan, belum lagi selesai persoalan PSK online, kemudian dihebohkan lagi dengan persoalan pelaksanaan (UGUBAT) yang baru-baru ini menjadi trending topik di warung kopi dan media masa. Padahal pelaksanaan hukuman (UGUBAT) sudah diatur dalam pasal 262 ayat (1) qanun nomor 7 tahun 2013 tentang hukuman acara jinayat yang berbunyi: Uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir, tetapi Undang-Undang tersebut hari ini dikaitkan dengan kepentingan investasi yang mengakibatkan lahirnya peraturan gubernur (Pergub) Nomor 5 Tahun 2018 tentang pelaksanaan acara hukum jinayat. Ini artinya pemerintah secara perlahan mempersempit ruang gerak syariat islam di Aceh, yang mungkin lambat laun akan terhapuskan dan syariat islam di aceh berdiri setengah tiang.
Pelaksanaan hukuman cambuk di LP dan di tempat terbuka jelas berbeda teknis nya, ruang gerak masyarakat sudah jelas sempit untuk menyaksikan secara langsung dan mudah terjadinya tawar menawar hukuman. Seharusnya kebijakan gubernur tersebut perlu musyawarah khusus dengan pihak-pihak terkait seperti DPRA, MPU, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Akademisi serta para Ulama Aceh. Agar kebijakan yang di ambil dapat menyerap seluruh aspirasi dari kalangan masyarakat. Dukungan yang besar terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh umumnya dilakukan dari orang yang secara langsung terlibat dalam organisasi Islam. Kelompok ini memang menjadi salah satu kelompok mayoritas kuat di Aceh karena mendominasi hampir semua elemen masyarakat. Sebagai daerah yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, Aceh memang akrab dengan organisasi yang berbasis keagamaanbaik yang berlabel organisasi sosial kemasyarakatan atau lembaga pendidikan. Namun demikian, ini bukan berarti tidak ada elemensipil lain yang memiliki pemikiran dan pandangan berbeda terhadap syariat Islam. Beberapa kalangan dari akademisi dan lembaga swadaya masyarakat justru memiliki pandangan lain terhadap keberadaan syariat Islam di Aceh. Kelompok ini kelompok yang kontra-syariat Islam. Penolakan atas formalisasi syariat Islam memang tidak dilakukan terang-terangan atas nama organisasi atau mewakili sebuah kelompok khusus. Hal ini tampaknya dilatari oleh kenyataan sosial keagamaan di Aceh, penolakan terhadap syariat Islam diposisikan sama dengan menolak Islam. Dalam konteks ini, seseorang yang melakukannya akan mendapatkan sanksi sosial baik berupa tuduhan telah keluar dari agama atau telah menjadi seorang agen asing yang bertujuan menghancurkan Islam. Hal ini tentu saja tidak diinginkan oleh banyak orang ketika ia memikirkan kehidupan sosial dan kariernya lebih jauh. Bagaimanapun seseorang yang hidup dalam sebuah masyarakat memiliki hubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Oleh sebab itu, penolakan syariat Islam di Aceh dilakukan dengan bahasa yang tidak langsung menampakkan kontroversi dan negasinya kepada Islam secara keseluruhan.
Disini saya sebagai penulis berharap dan sangat berharap kepada pemerintah dan semuan lembaga-lembaga penegakan dan pemantau penegakan syariat islam di Aceh untuk selalu mengambil sikap tegas dalam hal penegakan qanun-qanun yang telah ditentukan, baik itu dalam hal qanun jinayat maupun lainnya, berikan sanksi yang sepatutnya diberikan kepada pelanggar syariat tersebut, terkhusus bagi pelanggaran seperti LGBT dan pasangan mesum yang saat ini lagi marak-maraknya terjadi di Banda Aceh. Bahkan kita tahu seakan-akan penegak hukum ikut lepas tangan dalam menangani kasus tersebut, padahal kasus-kasus seperti inilah yang seharusnya dituntaskan sampai habis, kalau bisa jangan sampai terulang lagi.
Penulis: Ikhsanuddin (Mahasiswa UIN Ar Raniry Jurusan Sosiologi Agama)