Saat itu Sri Sultan Aceh melaksanakan Maulid Nabi 100 hari karena bertujuan mempersatukan bangsa Aceh Darussalam yang terpecah belah untuk melawan Feringgi (Portugis) di Malaka, sehingga di Aceh ada Hikayat Prang Feringgi.
Pelaksanaan Maulid Nabi besar-besaran pertama kali dilaksanakan oleh Sultan Salahuddin Al Ayyubi (1138-1193) ketika melawan Bangsa Frank Pasukan Crusader untuk merebut Baitul Maqdis. Ketika dilaksanakan Maulid Nabi seluruh umat muslim di dunia bersatu dan berkumpul dan akhirnya umat Islam kuat dan menang mengalahkan kaum Crusader.
Hal yang sama juga terjadi di Aceh, ketika Sultan Ali Mughayat Syah mengumpulkan umat islam di Aceh dengan melaksanakan Maulid Nabi dan menggelorakan semangat jihad yang kemudian berhasil mengalahkan Feringgi (Portugis) di lautan selat Malaka, sehingga invasi Portugis untuk menyerang umat islam di Asia Tenggara gagal total.
Jadi kalau ada yang membenci atau menghalang-halangi penyelenggaraan Maulid Nabi adalah dari Kaum Crusader yang dulu telah dikalahkan oleh Sultan Salahuddin Al Ayyubi di Palestina dan juga kaum Crusader yang dikalahkan oleh Sri Sultan Ali Mughayat Syah.
Maulid Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Aceh disebut dengan buleun molod, dan dilaksanakan dengan meriah oleh segenap rakyat Aceh. Maulid Nabi intinya bukan acara makan-makan, tapi berkumpul bersama menguatkan silaturrahim dan menggelorakan semangat perjuangan Islam atas dasar cinta dan kesyukuran atas kehadiran Rasulullah Muhammad SAW ke dunia.
Sejak dahulu kala peringatan Maulid di Aceh selalu mengikuti protokol kesehatan, jauh sebelum adanya Covid-19. Antara lain adat mencuci kaki dan tangan sebelum masuk ke Meunasah atau Mesjid. Bahkan sejak dulu sudah dilaksanakan sejak nenek moyang bangsa Aceh, dengan menyediakan guci didepan rumah untuk cuci tangan dan kaki bagi tamu atau orang rumah yang pulang kerja, sebelum naik ke atas rumah harus bersih selain menjaga kesucian juga menjaga kesehatan. Adat itu sudah berlangsung lama Sejak era Kesultanan Aceh Darussalam jadi bukan hari ini saja. Karenanya orang Aceh juga selalu membawa Bungkoh Ranup dan pinang dalam perjalanan dan boh ru pirak atau emas atau Kuningan.
Pada era Kesultanan Aceh Darussalam Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) ketika pelaut dan pedagang Asing dari berbagai belahan dunia datang ke Aceh, mereka tidak bisa sembarangan turun kedarat namun harus menunggu kadang sampai berminggu-minggu atau 3 bulan, untuk menjamin kesehatan awak kapal asing yang berlabuh di Aceh agar benar-benar sehat dan bersih.
Pada zaman Sultan Sayed Jamalul Alam (1703-1726) dalam peraturan rumah harus dipagar, boleh selapis dua lapis hingga tiga lapis selain menjaga dari musuh juga menjaga pemilik rumah dari bahaya berupa penyakit atau lainnya.
Seharusnya Pemerintah Aceh dan Banda Aceh yang melaksanakan Syari'at Islam, dalam Bulan Maulid Nabi Muhammad SAW yang penuh berkah dan rahmat ini menghentikan proyek IPAL di Gampong Pande karena disitulah dimakamkan para raja dan ulama Aceh pejuang Kesultanan Aceh Darussalam. Bagaimana bisa merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dan mengaku bersyari'at Islam, sedangkan kubur para Raja dan Ulama pewaris nabi dijadikan tempat pembuangan tinja manusia, hal yang sama sebagaimana pasukan Crusader yang dulu membuang tinja di makam ulama pahlawan Islam dan menjadikan Baital Maqdis menjadi toilet.
Demikian juga seharusnya Pemerintah Banda Aceh segera menyelamatkan Makam Sultan Sayed Jamalul Alam Badrul Munir Jamalullail yang merupakan keturunan Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin kita bangga merayakan maulid sedangkan makam cucu Nabi Muhammad SAW dijadikan hotel, cafe dan toilet, bahkan diatas kubur Sultan Sayed diletakkan tungku pembakaran bakso.
Di bulan yang penuh rahmat dan magfirah dan harapan mendapatkan syafaat Nabi, maka lindungilah syari'at Islam di Aceh dan lindungilah peninggalan syari'at Islam. Jika makam indatu kita hilang maka putuslah bukti sejarah kita tidak bersambung lagi ke Rasulullah yang mulia.
Apalagi yang hendak dibanggakan oleh kita orang Aceh Islam yang dimasukkan oleh Ahlul Bait Sultan Sayed Abdul Azis Syah (840 M), sedangkan peninggalan makam raja-raja dan ulama dibiarkan hilang lenyap bahkan sengaja ditimbun dalam tinja manusia dan sampah.
"Pemimpin yang baik adalah yang menjaga Islam dan menjaga peradaban Islam. Jika Pemimpin Banda Aceh dan Aceh menghancurkan peradaban Islam di Aceh, maka itu adalah pemimpin yang zalim, maka neraka jahanam kelak balasannya," ujar Mawardi, Jum'at (23/10/2020).[*/Red]