OMNIBUS LAW merupakan undang-undang sapu jagat yang menggabungkan beberapa aturan dengan isi aturannya yang berbeda namun dijadikan satu payung hukum. Omnibus law ini biasa dipakai negara-negara yang menganut sistem common law (negara-negara seperti Amerika dll), yang mana apabila dipakai di Indonesia yang menganut sistem hukum civil law maka akan menimbulkan persoalan-persoalan dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan.
Seperti kita ketahui bersama bahwa Omnibus Law Cipta Kerja ini telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam sidang paripurna pada Senin, 05 Oktober 2020. Dengan disahkannya Omnibus Law ini, membuktikan bahwa pemerintah bersama orang-orang yang "katanya" merupakan wakil rakyat tidak memiliki hati nurani dan tidak diketahui kepentingan siapa yang dibawakannya, mengingat seharusnya perhatian mendalam di tujukan untuk mengatasi pandemi yang pada saat ini masih terus meningkat di negeri tercinta. Maka dari tidak adanya hati nurani para wakil rakyat yang bekerjasama dengan pemerintah, tidak ada salahnya juga rakyat melakukan pergerakan pembangkangan sipil seperti yang disampaikan seorang ahli UGM dalam konferensi pers virtual yang digelar oleh Fakultas Hukum UGM. Lalu apakah yang menjadi keharusan pergerakan juga dilakukan di Aceh? Apa sebenarnya dampak pengesahan Omnibus Law ini kepada Aceh sendiri?
Penghapusan Pasal 40 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH mengenai Izin Linkungan sebagai prasyarat untuk untuk melakukan izin usaha dan atau kegiatan, izin lingkungan ini diubah menjadi persetujuan lingkungan dalam pasal 23 angka 19 Undang-Undang Cipta Kerja. Persetujuan Lingkungan berarti keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Ini berdampak kepada perubahan defenisi Amdal yang semula merupakan kajian kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan sekarang diubah menjadi kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan atau kegiatan yang direncakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan kegiatan.
Pada pasal 24 ayat (2) Omnibus Law disebutkan bahwa Amdal yang menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup dilakukan oleh tim dari uji kelayakan pemerintah pusat. Selanjutnya mengenai penghapusan pasal 26 ayat (4) UU PPLH yang berbunyi “Masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal” artinya Amdal yang dikeluarkan oleh pusat tidak lagi dapat di gugat. Belum hilang ingatan kita mengenai apa yang terjadi pada masyarakat Beutong Ateuh mengenai masuknya PT.EMM dan juga perusahaan serupa lainnya. Dengan di sahkan-nya Omnibus Law akan menjadikan kemudahan-kemudahan baru untuk perusahaan serupa untuk kembali ke Aceh dan merusak kultur budaya yang ada di Aceh.
Inilah yang menyebabkan kita harus bergerak untuk menolak kehadiran Omnibus Law dan memaksa pemerintah untuk mencabut Omnibus Law. Pergerakan rakyat merupakan hal yang sangat mungkin dilakukan karena Omnibus Law tidak menyengsarakan satu pihak namun dapat membuat seluruh rakyat merasakan dampaknya.
Penulis: Fawzy Daulay (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala)