LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Gejolak penolakan publik terhadap pelaksanaan Touring Motor Gede (Moge) baik melalui medsos hingga ke warkop sebagai bentuk bahwa masyarakat Aceh tidak menginginkan hari peringatan perdamaian Aceh hanya sebatas simbolis untuk menghambur-hamburkan uang rakyat. Sementara dilain sisi-sisi kekhususan Aceh di cabik-cabik dan dilupakan begitu saja, apalagi sejumlah turunan UUPA dan realisasi Qanun hingga saat ini tak lebih dari ibarat cerita dongeng sebelum tidur belaka.
"Salah satu hal yang hari ini ibarat cerita dongeng sebelum tidur adalah terkait bendera dan lambang Aceh yang seakan belum menemui titik terang. Sudah 15 Tahun kesepakatan damai ditandatangani, sudah 7 tahun Qanun nomor 3 tahun 2013 dibahas DPR Aceh, namun selembar bendera pun belum bisa dikibarkan. Kondisi ini seakan menunjukkan elit Aceh dan Jakarta sedang bermain kucing-kucingan, sementara rakyat cuma didengung-dengungkan saja agar tetap percaya," ungkap Koordinator Kaukus Peduli Aceh Muhammad Hasbar kepada media, Jum'at (14/08/2020).
Hasbar memaparkan, jika kita lihat di dalam MoU Helsinki, point 1.1. Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh dan 1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan hymne. Selanjutnya, kata Hasbar, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan turunan dari MoU Helsinki, dalam Pasal 246 pasal 2 dijelaskan bahwa selain Bendera Merah Putih, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.
"Pada ayat 3 pasal 246 UUPA itu pula dijabarkan bahwa Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. Kemudian pada ayat (4) tertulis jelas bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Intinya bendera Aceh ini bentuk kekhususan bukan kedaulatan, dan tidak boleh bertentangan dengan aturan perundang-undangan. Jika bulan bintang masih dianggap bertentangan dengan aturan perundang-undangan, maka langkah yang mestinya dilakukan bukan memperpanjang perdebatan hingga angan-angan, tetapi bagaimana mencari solusi jalan tengah, apakah itu dengan mengkombinasikan bulan bintang dan alam pedang kemudian mengukir kalimah syahadat pada bendera sebagai bentuk bahwa Aceh menjunjung tinggi syari'at Islam dan sebagainya, yang jelas ada solusi lah dari DPRA dan eksekutif Aceh," paparnya.
KPA secara tegas menantang Plt Gubernur Aceh dan Ketua DPRA Dahlan untuk segera mengesahkan bendera yang memang bisa dikibarkan, sehingga tiang di kantor DPRA itu tidak kosong begitu saja.
"Kalau pemerintah dan para elit Aceh hanya bisa memberi angan-angan kepada masyarakat terkait kekhususan Aceh itu, apalagi hanya sebatas jualan politik belaka, nanti jangan salahkan generasi berikutnya menaikkan bendera sepakbola di tiang kosong depan DPRA," ucapnya.
Hasbar juga meminta para elit Aceh jangan cuma bisa menyuruh rakyat mengibarkan bendera Aceh, sementara para elit bersembunyi dibalik cang panah retorika dan argumentasi .
"Jika memang bendera bulan bintang sudah sah, untuk tahap awal kita tantang Plt Gubernur dan Ketua DPRA untuk menaikkan bendera tersebut di depan kantor dan rumah dinas/rumah pribadi masing-masing. Begitupun di depan Meuligoe Wali Nanggroe juga mestinya bendera kekhususan Aceh sudah berkibar dengan megahnya. Jika belum sah dan dibenarkan maka harus segera mungkin ada solusi. Jika tidak maka cerita kekhususan Aceh hanyalah ibarat senandung lagu cinta yang kasmaran dimusim politik saja," pungkasnya.[*/Red]