-->

Kisruh Darussalam Mencoreng Perdamaian Aceh

14 Agustus, 2020, 07.13 WIB Last Updated 2020-08-14T00:13:10Z
Foto: Sulthan Alfaraby saat berdiskusi terkait kisruh 'tapal batas' Unsyiah dan UIN Ar-Raniry tahun 2019 silam

PENDIDIKAN merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Pendidikan juga mempunyai peranan aktif untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SMD) yang sangat sakral bagi pembangunan bangsa maupun negara kita ke depannya. Dalam berbicara persoalan pendidikan, hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh pengalaman maupun pengaruh lingkungan di sekitar kita. John Locke selaku tokoh empirisme pernah beranggapan bahwa keberhasilan seorang anak didik itu ditentukan oleh pengalaman dan lingkungannya. Dalam konteks ini, pengaruh lingkungan seperti ajaran daripada guru-guru maupun orang 'berilmu’  tinggi semisal Sarjana, Magister, Doktor atau Profesor merupakan faktor pemicu terpenting yang bisa mengubah paradigma para anak asuhnya.

Kenapa penulis mengatakan bahwasanya Sarjana, Magister, Doktor atau Profesor merupakan orang yang ‘berilmu' tinggi? Dikarenakan kita haruslah mengacu kepada sistem atau aturan pendidikan di Indonesia yang saat ini kita anut terkait penggunaan gelar-gelar tersebut yang merupakan acuan seseorang bisa dikatakan ‘berilmu’ tinggi atau sudah memadai. Meskipun di luar sistem pendidikan tersebut, gelar dan ijazah bukanlah pertanda utama seseorang itu mempunyai ilmu yang tinggi atau pernah berpikir, melainkan hanya sekedar pertanda atau bukti bahwa orang tersebut pernah bersekolah. Namun, karena kita berada di ranah sistem atau aturan pendidikan Indonesia, maka mau tidak mau kita haruslah sepakat untuk mengakui bahwa gelar adalah pertanda seseorang itu mempunyai ilmu yang tinggi atau memadai.

Berbicara soal orang ‘berilmu’ tinggi dalam sistem pendidikan, maka ada sebuah kejadian yang sangat memalukan sekaligus mencoreng dunia pendidikan saat ini, salah satunya adalah persoalan ‘rebutan tanah’ dan ‘kekuasaan’ yang bangga dipertontonkan di muka televisi. Sebagai contoh, baru-baru ini di pertengahan tahun 2020, kisruh persoalan ‘Tapal Batas’ Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry di Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh kembali terjadi. Hal yang bisa dibilang sebagai ‘aib’ bagi dunia pendidikan ini, menjadi perbincangan menarik dan sekaligus seru untuk dibahas demi mencerdaskan kehidupan bangsa Aceh melalui pengulikan sejarah-sejarah yang sudah lama terbenam meskipun agak sedikit miris jika kita melihatnya. Kisruh ini sebenarnya sudah lama bermula sejak tahun sebelumnya dan sampai saat ini belum mendapatkan titik terang atau solusi yang konkrit.

Akademisi juga banyak melontarkan pernyataan, mulai dari saling kritik bahkan melontarkan bait-bait puisi 'ejekan'. Sungguh pemandangan yang memalukan bagi kaum-kaum 'berilmu' tinggi dan bisa berpotensi untuk menimbulkan 'erupsi' emosional di kedua kampus tersebut. Sekitar tahun 2019 yang lalu, juga pernah diadakan sebuah kegiatan diskusi publik oleh salah satu Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) untuk menilik kembali asal muasal persoalan ‘Hak Milik’ tanah di Kopelma Darussalam yang kini diduduki oleh dua kampus terbesar di Aceh itu. Penulis berharap, diskusi ini harus terus dihidupkan dan ‘dibakar’ demi menjaga keselarasan 'pola pikir sehat' oknum akademisi-akademisi yang mulai ‘miring’ tak berdaya. Jangan sampai, timbul padangan dari publik bahwa Ormawa hanya bangga mengkritik ‘Kanda-kanda’ di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, namun takut untuk mengkritisi kelakuan elit-elit atau kampus yang jauh dari kata ‘bermoral’. Sudah saatnya, Ormawa bersatu dan bergerak untuk membantu penyelesaian sengketa ini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Apa harus tunggu kisruh 'Tapal batas' jilid 3?

Beban moral juga kerap penulis rasakan selaku mahasiswa yang berkecimpung aktif dalam kegiatan-kegiatan yang kerap diadakan oleh dua kampus ‘Jantong Hate Rakyat Aceh’ tersebut. Bagaimana tidak, adik-adik angkatan baru di kedua kampus tersebut, banyak bertanya-tanya persoalan kisruh ‘tapal batas’ ini. Namun, penulis hanya menjawab “Itu biasa”. Penulis menjawab hal ini “sudah biasa’, karena bukan hanya kejadian di Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh saja terjadi persoalan perebutan tanah, melainkan juga di luar Kopelma Darussalam Banda Aceh juga kerap terjadi. Ketika ada pihak yang mengklaim hak milik tanah atas dasar legalitas atau sertifikat yang ia miliki, maka tak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut akan menjadi ‘senjata kuat’ bagi pemegang legalitas atau sertifikat tersebut untuk dipertarungkan di ranah hukum. Memanglah sulit jika kita meredakan persoalan ini, apalagi jika membahas 'Amanah nenek moyang' yang sudah berlangsung sangat lama dan perlu adanya saling diskusi untuk mengulik kembali tuntutan-tuntutan sejarah.

Selain itu, jika kita telusuri lebih jauh persoalan ini lewat rekaman video diskusi publik tahun 2019 silam yang diupload di website resmi UIN Ar-Raniry, maka kita akan menonton berbagai kesaksian daripada tokoh-tokoh awal yang pernah mengukir sejarah di kedua kampus tersebut. Memang, pada awalnya tanah Kopelma Darussalam merupakan tanah hibah dari bangsa Aceh yang dipergunakan secara bersama-sama sebagai niat suci untuk membangun sebuah peradaban yang ‘bermoral’ demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Aceh untuk ke depannya. Namun, selang berpuluh-puluh tahun lamanya, sapaan-sapaan mesra dari kedua kampus yang di tengahnya ada taman indah khas Tugu Kopelma Darussalam yang pernah diresmikan oleh Ir. Soekarno, kini sudah berubah menjadi cuitan sindiran yang tajam. Baru-baru ini juga viral di media sosial terkait seorang oknum dosen yang membacakan puisi di lokasi ‘tapal’ batas tersebut.

Puisi tersebut bertemakan kesedihan dan kemarahan yang dilontarkan untuk Unsyiah, karena dianggap mengklaim sepihak tanah Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh dan melupakan sejarah leluhur. Tentu saja, hal ini merupakan kesedihan bagi kita semua sekaligus ‘aib’ yang memalukan dan tidak sepantasnya kita saling ‘gigit-mengigit’ terkait permasalahan yang sepele ini. Apa artinya keributan, jika kita masih bisa saling berpegangan tangan dan ‘menyapa’ mesra kembali seperti dulu lagi. Untuk sekedar diketahui, UIN Ar-Raniry juga telah meminta kepada Pelaksana Tugas (PLT) Gubernur Aceh, untuk segera ‘menengahi’ konflik labil yang berkepanjangan bak ‘Jalur Gaza’ ini. 

Semoga, dengan adanya peran daripada seluruh pihak nantinya, bisa membuat kesejukan yang lebih berarti bagi Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh ke depannya. Apalagi, jika kita mengintip dari lubang teropong berdebu perdamaian Aceh 15 tahun lalu, maka sudah sepantasnya Aceh kini ‘berdamai penuh’ dalam segala sektor. Pendidikan, merupakan salah satu sektor paling penting demi merubah nasib buruk Aceh yang kini dilanda badai di tengah samudera antah berantah. “Antah berantah”, merupakan kata yang tepat sebagai penggambaran bahwa dalam segala sektor saat ini Aceh masih memerlukan arahan maupun bimbingan.

Terlebih dari kaum intelektual yang menggali ilmu dari dalam maupun dari luar Aceh, untuk berkontribusi maksimal dalam hal penciptaan inovasi-inovasi seperti daerah lainnya. Apalagi, Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh merupakan hal yang diberikan secara istimewa oleh Republik Indonesia (RI) harus bisa dimanfaatkan dengan tepat dan optimal. Berbagai permasalahan-permasalahan yang hampir tak mempunyai solusi, seperti kemiskinan dan juga kesejahteraan, adalah tanggung jawab besar terkhusus kaum akademisi selaku ‘pemikir’ yang berintelektual dan mempunyai ‘derajat’ keilmuwan yang memadai. Tentunya, jangan sampai masyarakat malah memandang ‘rendah’ moralitas-moralitas akademisi di Aceh, akibat polemik ‘rebutan tanah’ dua kampus kebanggaan ini.

Masyarakat Aceh saat ini sangatlah membutuhkan peran nyata daripada akademisi yang berkiprah dalam dunia pendidikan Aceh, bukan malah saling hujat menghujat dan melupakan cita-cita perdamaian. Jangan sampai, ribuan bahkan jutaan sarjana telah dilahirkan, namun hanya mampu untuk bekerja kepada orang asing. Itu yang seharusnya kita pikirkan seksama! Sudah sepantasnya, seluruh pihak bergandengan tangan untuk menciptakan ‘manuver’ kongkrit demi kesejahteraan Aceh ke depannya. Jangan hanya sekedar teori belaka di bangku perkuliahan, namun  bisa direalisasikan secara nyata dan berkelanjutan.

Bicara soal kesejahteraan, semoga dengan diperingatinya 15 tahun perdamaian Aceh pada tanggal 15 Agustus 2020, bisa memberikan perubahan nyata yang positif ke depannya bagi nasib Aceh yang kini ‘terombang-ambing’ dalam berbagai sektor. Dan juga, kita tentunya berharap penuh teruntuk kaum ‘akademisi elit’ di Kopelma Darussalam Banda Aceh agar segera mengakhiri kisruh ‘tapal batas’ ini dan kembali kepada perjuangan awal. Adapun perjuangan awal itu yaitu menuntaskan cita-cita leluhur bangsa Aceh dalam membangun dan merawat peradaban Aceh yang lebih baik ke depannya, bukan malah mencoreng momen sakral perdamaian Aceh ini dengan membangun kisruh yang tak berujung. Semoga kita semua bisa berbenah menjadi pribadi terpelajar yang lebih bisa saling memahami satu sama lain ke depannya. Aamiin.

Penulis: Sulthan Alfaraby (Juru Bicara Gerakan Mahasiswa Peduli Kampus dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pemuda Cinta Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini