PERSADA Tanah Iskandar Muda mengalami perjalanan konflik yang berkepanjangan dan terus bersambung setiap masanya, berawal dari perang melawan Kerajaan Belanda yang resmi diproklamirkan melalui maklumat perang Aceh oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 26 Maret 1873. Mulai saat itu berbagai upaya praktik kolonialisme dan imperialisme dipertontonkan kepada dunia. Silih waktu berganti perang melawan belanda akhirnya berganti kepada perang melawan Jepang yang dimulai pada tahun 1942, dan pada akhirnya itu semua berujung pada proklamasi kemerdekaan Indonesia yang digemakan oleh Soekarno dan M. Hatta sebagai representatif bangsa.
Waktu demi waktu silih berganti, Indonesia yang masih berumur sebiji jagung dihadapkan dengan konflik dialektika dengan bangsa sendiri, termasuk dengan Aceh di dalamnya. Kurang lebih 8 tahun paska kemerdekaan, Konflik DI/TII meledak di Aceh, tepatnya pada tanggal 20 September 1953 Tgk. Daud Beureueh memimpin gerakan DI/TII sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sebagai bentuk respon dari berbagai kekecewaan terhadap pusat atas ketimpangan sosial dan keadilan yang ada di Aceh waktu itu. Kendati demikian hari demi hari yang dilewati dengan berbagi letusan senjata yang bergema di Aceh yang berujung pada Ikrar Lamteh pada tanggal 7 Maret 1957 maka disepakatilah perjanjian itu sebagai perdamaian antara DI/TII Aceh dengan Indonesia saat itu ditandai dengan kembalinya Aceh sebagai Provinsi yang berdiri sendiri yang sebelumnya dileburkan pada Provinsi Sumatera Utara.
Kondisi Aceh sangatlah berantakan dari berbagi sendi kehidupan terutama pada kondisi pendidikan yang mengalami stagnasi akibat konflik yang berkepanjangan. Demi merekonstruksi pembangunan Aceh maka dibentuklah Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA) pada tanggal 21 April 1958 yang dibentuk untuk mengadakan pembangunan dalam bidang rohani dan jasmani guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat Aceh, salah satu program yang dicanangkan YDKA yaitu mendirikan kampung pelajar/mahasiswa di Ibukota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kala itu. Pembangunan Kampus Kopelma Darussalam pun dimulai dari 17 Agustus 1958 dan kemudian diresmikan pada 2 September 1959 dan melahirkan Kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan pada tahun seterusnya juga melahirkan Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry (IAIN Ar-Raniry) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Tgk Chik Pante Kulu (STAI Tgk. Chik Pante Kulu).
Pembangunan ketiga kampus tersebut memiliki landasan filosofis tersendiri, yang mana Unsyiah sebagai kampus ilmu pengetahuan umum, IAIN Ar-Raniry sebagai kampus ilmu pengetahuan agama Islam, dan STAI Tgk. Chik Pante Kulu sebagai pendidikan tinggi dari dayah (pesantren) yang ada di Aceh. Pembangunan tiga kampus tersebut merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya. Dari titik pembangunan Kopelma Darussalam inilah menjadi sebuah upaya dalam menyongsong kembali peradaban Aceh yang sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam dibawah Sultan Iskandar Muda saat itu pada tahun 1607-1636 Masehi, Aceh telah dikenal dunia sebagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara, namun zaman terus begulir dan peradaban pun agaknya mulai mengalami degradasi karena peperangan dan hal lainnya.
Kopelma Darussalam: Antitesis Darul Harbi
Darussalam sendiri didefinisikan sebagai sebuah negeri atau tempat yang damai dan tentram, tentunya Darussalam ini dicitrakan sebagai sebuah tempat yang sejuk. Sedangkan kata Darul Harbi ini sendiri merupakan suatu deskripsi terhadap keadaan Aceh silam yang selalu bergelut dengan konflik dan peperangan, tentunya kata Darul Harbi ini merupakan sebuah tempat yang tidak damai, oleh karena itu diciptakanlah kata Darussalam sebagai antitesis daripada Darul Harbi. Nanggore Aceh Darussalam hakikatnya sebagai negeri yang sangat cinta perdamaian. Tentunya dengan sumbangsih pemikiran daripada tokoh intelektual Aceh yang memberikan ide pembangunan Kopelma Darussalam sebagai upaya merekonstruksi peradaban Aceh yang telah lama terkikis oleh berbagai peristiwa zaman.
Oleh karena itu para founding father lahirnya Kopelma Darussalam yang terdiri tokoh-tokoh intelektual Aceh di dalamnya pada masa itu, menggagas ide besar serta visioner dalam mendorong peradaban Aceh. Tentunya untuk membangun ketiga kampus yang besar tersebut membutuhkan lahan/ tanah yang cukup luas. Pembangunan tersebut ditargetkan di atas tanah yang kosong atau terbengkalai karena faktor ditinggalkan oleh pemiliknya atau yang dikenal dengan istilah erpacht. Awalnya pembangunan dicanangkan berada di tanah erpacht daerah keutapang dua, namun karena luas wilayahnya yang tidak ideal maka dicarilah lahan erpacht lain yang berada di rumpit, lokasi inilah yang dijadikan sebagai lahan berdirinya Kopelma Darussalam yaitu bekas tanah Erpacht N.V Rumpit milik keluarga T. Nyak Arief (Ramadhan KH, 1995).
Pembangunan Kopelma Darussalam dikenal sebagai jantung hati rakyat Aceh sebagai bentuk pengorbanan rakyat Aceh yang turut serta membangun kota pelajar mahasiswa secara bahu-membahu, prinsip inilah yang dinamakan dengan sukarela dan gotong royong. Korelasinya dengan Darul Harbi dikarenakan visi pembangunan Kopelma Darussalam ingin menghilangkan stigma Aceh yang dicap sebagai daerah yang selalu terjadi peperangan atau lahan pertikaian menjadi Darussalam yaitu daerah yang cinta akan kedamaian. Oleh karena itu pembentukan Kopelma Darussalam sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai intelektual dan senantiasa mengedepankan moral, nilai inilah yang terkandung dalam pembentukan Kopelma Darussalam. Cita-cita Aceh sebagai pusat peradaban Islam dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara diwujudkan melalui pembangunan Kopelma Darussalam.
Dinamika Pembangunan Kopelma Darussalam
Pembangunan Kopelma Darussalam memiliki berbagai dinamika yang terus bergulir dari masa ke masa. Pada awal pembentukannya yang nyaris hampir tidak direstui pusat dengan dalih pembangunan infrastruktur publik dan ekonomi kerakyatan lebih penting daripada membangun sebuah kampus. Padahal dengan pembangunan kampuslah dapat merekonstruksi peradaban. Dinamika juga terjadi berawal dari peninjauan tanah erpacht Rumpit di daerah Lamnyong yang kurang lebih luasnya 181,3 hektare. Awalnya tanah erpacht ini diberikan hak kelolanya pada Johan George Goethals. Tanah tersebut tercatat dalam naskah hak tanah tanggal 22 Juli 1905 atas namanya, dan kemudian hak tanah erpacht di setor kepada NV. Landbouwonderneming dengan naskah hak tanah tanggal 17 Februari 1921 No. 15, dan tanah tersebut baru akan habis temponya pada 21 Juni 1980. Kendati demikian, sebelum habisnya hak pengelolaan, tanah tersebut sudah terbengkalai tidak digarap oleh pemiliknya lagi dan tidak dibayar pajaknya, maka diajukan pembatalan sesuai Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956 (Lembaran Negara Nomor 74 1956). Di sela-sela tanah tersebut ditelantarkan oleh pemiliknya, disamping itu tanah tersebut ada beberapa lahan yang mulai digarap oleh penduduk setempat, menurut beberapa informasi dari dokumen Inspeksi Agraria.
Oleh karena itu diambil alihlah oleh pembangunan Kopelma Darussalam dan dilakukan ganti rugi kepada penduduk setempat yang telah lama menggarap tanah tersebut. Kendati demikian, setelah berdiri megahnya gedung-gedung Unsyiah dan IAIN Ar-Rainiry sekitar tahun 1972, muncul suatu masalah besar, karena ternyata tanah tersebut merupakan hal milik Teuku Nyak Arief, dan setelah ditelusuri historisnya itu logis karena Teuku Nyak Arief sebagai Uleebalang Kepala Sagi XXVI Mukim yang sangat mungkin apabila menguasai tanah yang luas, dan akhirnya keluarga ahli waris Teuku Nyak Arief mengajukan bukti valid dan konkrit terkait kepemilikan tanah seluas 181,3 hektare tersebut dan menuntut ganti rugi sebesar Rp. 40.000.000.
Para sivitas akademika kampus dihadapi dengan problematika yang sangat besar, apabila ganti rugi tersebut tidak dapat dipenuhi maka ketiga kampus yang berada di lingkungan Kopelma Darussalam terancam hilang eksistensinya dari peradaban Aceh. Awalnya ganti rugi ditagih kepada IAIN Ar-Raniry waktu itu yang bernaung di bawah Depertemen Agama tidak mempunyai anggaran untuk membayar itu, dan ketika disodorkan kepada Unsyiah waktu itu yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mencari pendanaan dan terealisasi pembayaran di Banda Aceh tanggal 3 September 1975 kepada T. Syamsulbahri, SH., selaku ahli waris Teuku Nyak Arief masa itu sebesar Rp. 32.625.000.
Setelah permasalah ganti rugi tanah selesai, munculah persoalan lain yaitu terklaimlah tanah seluas 181,3 hektare itu karena seluruh biaya ganti rugi dilakukan oleh Unsyiah dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan IAIN Ar-Raniry berada di bawah Departemen Agama, namun persoalan itu dituntaskan oleh Prof. Ibrahim hasan pada tahun 1980-an dengan membagi proporsi wilayah dengan batas tertentu, yaitu unsyiah seluas 132,43 hektare, IAIN Ar-Raniry seluas 35,75 hektare, proyek pengaturan dan pemeliharaan Krueng Aceh 7,46 hektare, dan pelebaran jalan 5,66 hektare (Berdasarkan Data Badan Pertanahan Nasional Kanwil Aceh,1992). Maka dengan kebijakan yang dilakukan oleh Prof. Ibrahim Hasan membuat Kopelma Darussalam menjadi hangat kembali. Meskipun luas tanah sudah dibagi sesuai dengan batas yang jelas, tetapi dalam realita nya masih ada fasilitas IAIN Ar-Raniry waktu itu berada di wilayah unsyiah, namun itu tidak menjadi persoalan dikarenakan esensi pembangunan Kopelma Darussalam berazaskan persaudaraan dan gotong royong.
Tidak sampai disitu saja, sejak satu tahun belakangan ini, suasana tersebut menjadi dingin dikarenakan fasilitas kampus UIN Ar-Raniry yang sebelumnya IAIN Ar-Raniry yang berada di wilayah Unsyiah menjadi polemik sampai saat ini, juga mempertimbangkan status perguruan tinggi yang sama-sama sudah menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang menuntut penjelasan terhadap aset masing-masing kampus. Jika kita bercermin pada khittah pembangunan Kopelma Darussalam dan penyelesaian persoalan dan dinamika dengan sangat arif dan bijaksana yang dilakukan para pendahulu, maka sudah seyogyanya dinamika hubungan persaudaraan ini terus dibina dan dijaga, karena Founding Father dan Rakyat Aceh membangun Kopelma Darussalam dengan semangat gotong royong demi merekonstruksi peradaban yang telah tereduksi. Maka persoalan ini sudah saatnya diakhiri dengan konsep “musyawarah” dan “islah” demi mewujudkan Darussalam Sejahtera di persada tanah Iskandar Muda.
Penulis: T. Muhammad Shandoya (Mahasiswa Fakuktad Ekonomi dan Bisnis Unsyiah Banda Aceh)