AKHIR-AKHIR ini dunia dihebohkan dengan tewasnya George Floyd, seorang pria keturunan Afrika pada tanggal 5 Mei 2020 di Minneapolis, Negara bagian Amerika Serikat. Berdasarkan sumber video yang beredar luas di sosial media, terlihat dengan jelas di video tersebut George Floyd mendapatkan perlakuan yang tidak beradab dari seorang polisi yang diketahui bernama Derek Chauvin.
Polisi tersebut memberikan perlakuan tidak manusiawi kepada Floyd dengan menekankan lututnya ke leher atau seperti mencekik namun dengan lututnya sehingga Floyd tidak dapat bernafas dan akhirnya meninggal dunia.
Sebelum kematiannya, Floyd ditangkap oleh polisi lantaran diduga berbelanja dengan menggunakan uang palsu. Namun demikian dalam menyikapi kesalahan Floyd tersebut rasanya tidak rasional seorang polisi memperlakukan Floyd dengan mencekiknya dengan lutut hingga tewas.
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh polisi dalam melakukan tugas penangkapannya tanpa harus mencekik orang dengan lututnya hingga tewas. Hal ini jelas mengundang kemarahan masyarakat Amerika Serikat bahkan masyarakat di berbagai belahan dunia ikut protes dan marah tethadap aksi polisi tersebut.
Setelah kejadian tewasnya Floyd akibat perbuatan tidak manusiawi polisi Derek Chouvin maka terjadi aksi demontrasi besar-besaran di negara-negara bagian Amerika Serikat bahkan negara luar Amerika Serikat pun juga menggelar aksi protes atas kejadian yang tidak berperikemanusiaan dan perikeadilan tersebut.
Seperti di Berlin, Jerman, ratusan demonstran melakukan aksi dengan berkumpul serta membawa papan atau kertas bertuliskan: “Diam adalah kekerasan”, “Tahan Akuntabilitas Polisi, “dan Siapa yang kami panggil saat polisi membunuh?"
Inggris, Italia, Kanada serta Irlandia juga melakukan protes serupa. Para demonstran melakukan aksi untuk mengutuk perbuatan rasialisme serta melakukan seruan perlindungan kepada kaum minoritas.
Wali Kota New York, Bi de Blasio mengungkapkan di akun twitternya bahwa aksi yang dilakukan demonstran merupakan luapan perasaan warga atas perlakuan rasialisme antara Afrika-Amerika selama ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam sistem masyarakat dan kenegaraan Amerika Serikat terdapat yang namanya Rasisme Sistematik,. Rasisme yang dimaksud diarahkan kepada orang yang berkuliat hitam yang sangat mudah dan sering mendapatkan perlakuan diskriminalisasi di sana.
Kematian George Floyd bukan hanya menjadi satu-satunya kasus kematian akibat rasialisme melainkan banyak kasus-kasus rasialisme lainnya yang sebelumnya pernah terjadi yang juga menewaskan orang berkulit hitam di Amerika Serikat. Penyerangan oleh polisi kepada orang berkulit hitam sebelumnya pernah terjadi pada kampanye Birmingham 1963 dan pawai Selma to Montgomery 1965 disebut sebagai dasar rasis polisi Amerika Serikat.
Selain itu terdapat beberapa kasus lainnya yang bernuansa rasial di Amerikat Serikat seperti kasus di Kota Furguson pada tanggal 17 Agustus 2014 yang penyebabnya adalah penembakan terhadap remaja kulit hitam, Michael Brown yang berusia 18 tahun yang dilakukan oleh polisi. Akibatnya, seseorang tertembak dan tujuh orang ditangkap polisi.
Kasus serupa terjadi pada tanggal 27 April 2015 di Kota Baltimore yang penyebabnya adalah kematian pemuda berkulit hitam, Freddie Gray yang berusia 25 tahun, setelah sepekan ditahan polisi. Akibatnya, terjadi penjarahan, gedung dan kendaraan dibakar. Terjadi juga kasus di Kota Dallas yang penyebabnya serupa yaitu korbannya adalah dua orang yang berkulit hitam yang mana korban tersebut merupakan korban penembakan oleh polisi, akibat yang ditimbulkan yaitu turut tewasnya seorang veteran tentara dan lima polisi.
Selanjutnya yaitu kasus serupa terjadi di Kota Charlotte yang penyebabnya adalah penembakan warga berkulit hitam, Keith Lamont Scott yang berusia 46 tahun oleh polisi. Adapun dampaknya adalah rusaknya fasilitas publik.
Sebenarnya masih banyak lagi kasus-kasus rasialisme yang terjadi di Negara Amerika Serikat terhadap orang berkulit hitam. Rasialisme terhadap orang yang berkulit hitam seolah-olah sudah mendarah daging di negara tersebut yang seakan-akan sulit untuk dihilangkan.
Namun demikian, tidak mungkin kiranya suatu budaya yang buruk tidak dapat dihilangkan, maka dari itu kembali kepada kesadaran masing-masing oleh masyarakat dan penegak hukum di sana untuk stop berlaku rasialisme.
Penulis: Hajratul Fitra (Mahasiswi Prodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar Raniry Banda Aceh)