-->

Pendamping Desa: Terkait Surat Sekda Aceh Utara, Dinilai Salah Telaah

04 Juni, 2020, 22.27 WIB Last Updated 2020-06-04T15:45:51Z
LINTAS ATJEH | ACEH UTARA - Berbagai polemik muncul ketika pemerintah pusat mengeluarkan aturan tentang upaya penanganan pandemi Covid-19, salah satunya Kementerian Desa mengeluarkan bantuan kepada masyarakat berupa uang tunai yang dianggarkan melalui dana desa yang dinamakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, Kamis (04/06/2020).

Dalam PMK 40 tahun 2020 disebutkan bahwa BLT dana desa diberikan sebesar RP 600 ribu rupiah selama 3 bulan per Kepala Keluarga yang telah ditetapkan sebagai Keluarga Penerima Manfaat BLT melalui Musyawarah Desa Khusus (Musdessus). besaran plotting anggaran untuk BLT di setiap desa bervariasi mulai 25%, 30%  dan 35%  tergantung Besaran Pagu DD perdesa.

Lebih jelasnya bisa dilihat PMK nomor 40/PMK.07  tahun 2020 pasal 32A ayat 6 dimana BLT dana desa dianggarkan paling banyak sebesar 35% kemudian pada ayat 7 disebutkan apabila desa persentase tidak mencukupi, maka kepala desa mengajukan permohonan kepada bupati/walikota untuk mendapatkan persetujuan.

Terkait hal tersebut, baru-baru ini Pemerintah Kabupaten Aceh Utara mengeluarkan surat perihal penolakan penambahan kuota penerima BLT yang ditandatangani oleh Sekda Aceh Utara.

Terkait beredarnya surat tersebut, salah seorang pendamping Desa Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Utara, Firman Alehba mempertanyakan isi surat tersebut, dimana banyak kekeliruan didalamnya kalau kita mengacu kepada aturan diatasnya yang dkeluarkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia yaitu PMK nomor 40/PMK.07 /2020 dan PMK 50/PMK.07 /2020.

Kepada awak media, Firman ALehba mengisahkan isi Surat Sekda Aceh Utara yang ditujukan ke beberapa gampong di Aceh Utara itu, dimana pada point pertama surat itu menjelaskan terkait PMK 50/PMK.07 /2020, dimana ayat 7 pasal 32 A telah dihapus dan sehingga tidak berlaku lagi. Artinya bahwa kabupaten tidak lagi mempunyai kewenangan dalam mengatur jumlah besaran persentase BLT dana desa untuk setiap gampong.

Lanjut PDTI Sawang ini, yang anehnya lagi pada point kedua surat itu bahwa permohonan penambahan kuota BLT Gampong tidak dapat disetujui. Penggunaaan dana desa untuk BLT untuk 3 bulan periode pertama tetap mengacu pada PMK 40/PMK.07 /2020.

Ini yang sangat janggal dan bisa dikatakan salah telaah, isi surat antara poin pertama dan poin kedua itu saling bertolak belakang, artinya pada poin pertama surat itu berpedoman pada PMK 50/PMK.07 /2020 yang jelas jelas kita ketahui bersama dan saya sudah pernah konsultasi via email dan Whatsapp dengan Kementrian Keuangan RI mengenai hal ini dan balasan Kemenkeu sudah saya teruskan dan koordinasi dengan salah seorang di Dinas DPMPPKB Aceh Utara. Tim dari Kemenkeu RI mengatakan penghapusan Point 7 pasal 32 A PMK 50/PMK.07 /2020 dikarenakan poin 6 diubah yang di PMK 40/PMK.07 /2020 sebesar 35 persen, sedangkan di PMK 50/PMK.07 /2020 diubah menjadi sesuai kebutuhan desa selama 6 bulan, maka surat permohonan penambahan kuota kepada bupati itu dihapus alias tidak diperlukan lagi.

Firman mengatakan, sekarang kita kaji lagi poin kedua surat sekda, ketika pada point pertama lebih kepada PMK 50/PMK.07 /2020, kenapa pada point kedua masih berpegang kepada PMK 40/PMK.07 /2020 dan anehnya lagi penolakan itu berlaku untuk semua desa dengan bunyi surat yang sama ketika Plotting ada desa yang menganggarkan lebih dari 35% untuk BLT Dana Desa.

Sekarang bagaimana jadinya seperti di Kecamatan Sawang, ada sekitar 4 desa yang telah ditolak penambahan kuota sedangkan desa itu telah melakukan penyaluran BLT tahap pertama untuk bulan April dan ada juga desa yang sudah penetapan lebih 35% yang di anggarkan untuk BLT sesuai dengan hasil Musdessus padahal jelas kalau mengacu kepada aturan lama yaitu PMK 40/PMK.07 /2020, apabila setelah 5 hari sejak permohonan itu disampaikan namun belum ada balasan, maka desabisa langsung melakukan penyaluran. 

"Kita selaku pendamping sangat berharap, ketika pemerintah daerah/kabupaten mengeluarkan regulasi turunan diatasnya, harus jelas telaah biar tidak mengambang, ketika aturan dikeluarkan semacam ini, maka kami dilapangan pun saya lelah dalam melakukan pendampingan, satu sisi kami pegang PMK, namun disisi lain harusjuga mengacu pada surat kabupaten. Okelah kalau surat itu benar, kita akan sosialisasi ke desa dampingan, namun bagaiamana kalau isi surat bertolak belakang dengan aturan di atasnya," tanya Firman dengan nada geram.

Solusinya sekarang adalah pemerintah Kabupaten Aceh Utara harus mengeluarkan surat lain sebagai surat terbaru yang mengacu kepada PMK 50/PMK.07 /2020 seperti di point pertama surat sebelumnya yaitu Besaran BLT desa sesuai kebutuhan desa. kalau tidak, maka ini akan berakibat fatal bagi desa yang telah melakukan penyaluran lebih dari 35% untuk BLT. 

Artinya tidak akan cukup untuk 3 bulan kedua tahap selanjutnya. Kalau ini benar, maka ini pun pernah juga saya dengar, kalau penolakan itu dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara mengingat ada desa yang menganggarkan dana desa untuk BLT di 3 bulan pertama lebih dari 70% sangat keliru. Karena untuk tahap selanjutnya yang Rp 300.000 per KPM desa tidak lagi mempunyai anggaran, maka tidak ada paksaan atau beban bagi desa tersebut," tutup Firman.

Saat berita ini ditayangkan wartawan media medi ini sudah mencoba melakukan konfirmasi dengan Sekda Aceh Utara melalui pesan singkat WhatsApp, namun sampai saat ini belum ada tanggapan mau pesan balasan dari Sekda Aceh Utara.[A007/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini