LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Senator Fachrul Razi yang juga Wakil Ketua Komite I DPD RI mengatakan bahwa rencana untuk disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja lebih berbahaya dari virus Corona. Karena Omnubus Law ini akan berdampak kepada melemahnya peran masyarakat dan hilangnya kedaulatan sebuah negara. Omnibus Law RUU Cipta Kerja, memperkuat Kepentingan Investor dan melemahkan peran partisipasi masyarakat. Dalam RUU Cipta Kerja ini, negara memaksakan pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. dan Disini lain melelahkan peran pemerintah daerah khususnya daerah khusus dan istimewa seperti Aceh dan Papua karena kewenangan ditarik kepusat dengan sistem sentralisasi penuh. Hal demikian disampaikan oleh Senator Fachrul Razi saat menjadi pembicara dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa (DEMA UIN Ar-Raniry), Sabtu malam (09/05/2020).
Omnibus Law menurut Fachrul Razi adalah regulasi dengan membuat UU Baru untuk mengamandemen UU sekaligus dalam rangka mengurangi tumpang tindih aturan, yang menghambat akses pelayanan publik dan menimbulkan ketidakpastian hukum. "Wacana adanya Omnibus Law ini sangat bagus namun masalahnya adanya penumpang gelap dalam pasal pasal Omnibus Law yang merugikan rakyat, daerah dan kedaulatan Indonesia," jelas Fachrul Razi.
Menurut Fachrul Razi, Kemudahannya bukan bagi warga negara yang minim akses terhadap sumber daya alam atau sumber daya ekonomi. Kemudahan diberikan justru kepada pemilik modal, kepada asing, dalam rangka mengundang investor lebih banyak.
Kegiatan diskusi yang berlangsung 2 jam ini mengambil tema "Menyikapi Tabir Gelap Omnibus Law di Tengah Pandemi Covid-19". Kegiatan ini juga di ikuti oleh sejumlah mahasiswa, aktivis lingkungan hidup dan para pihak lainnya.
Dalam penyampaian materi, Senator Fachrul Razi menjelaskan terkait RUU Cipta Kerja atau Cilaka yang hari ini ditengah pandemi Covid-19 terjadi, menunjukkan sikap pemerintah terkesan memaksakan RUU ini cepat disahkan. "Karena situasi Covid-19, tentu tidak dibolehkan ada aksi dan lain sebagainya, maka dengan itu dengan mudah RUU ini di bahas dan di sahkan oleh pihak yang memiliki kepentingan dibalik itu semua," jelas Fachrul.
Sebenarnya dalam semangat awalnya, Omnibus Law ini sangatlah baik tujuannya, pasalnya lahirnya Omnibus Law ini memangkas regulasi lama menjadi sebuah aturan baru dan diamandemenkan dengan perpaduan atau dikenal dengan UU Sapu jagat. Nah, celakanya hari ini tujuan ini bergeser kepada hal yang tidak kita inginkan dan terjadi kepentingan oligarki partai dan pelaku bisnis dalam pembahasan dan terkesan dipaksa untuk disahkan guna memuluskan jalan kepentingan sekelompok pemilik modal.
"Ini merupakan sebuah tabir baru yang harus kita lawan bersama, Covid-19 yang begitu parah dan mematikan manusia tentunya berbahaya, tapi apabila RUU Cilaka ini disahkan dalam situasi seperti ini maka akan jauh lebih berbahaya dari virus yang sedang melanda," jelasnya.
Fachrul Razi juga menjelaskan bahwa di Indonesia saat ini terjadi hyper regulasi, dimana selama masa pemerintahan Jokowi 2014 - November 2019 telah terbit 10.180 Regulasi, 131 UU, 526 PP, 839 Peraturan Presiden dan 8.684 Peraturan Menteri. "Dampaknya adalah tumpang tindih aturan, menghambat akses pelayanan publik, menimbulkan ketidakpastian hukum, bisa mengubah regulasi jika gagal diterapkan, serta ketimpangan kepentingan yang diakomodasi, namun RUU ini mempersempit Keterbukaan dan ruang partisipasi publik," jelas Senator Vokal ini.
Fachrul menjelaskan bahwa Omnibus Law RUU Cilaka ini dapat menjadi ancaman demokrasi negara karena melanggar aturan penyusunan UU. "RUU ini menerobos beberapa tahapan dalam pembentukan UU mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan, dan ini jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum," tegas Fachrul Razi.
Secara pribadi, dirinya menolak RUU disahkan, karena terdapat banyak pasal yang secara subtansi, RUU Tentang Cipta Kerja bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar UU No.12 Tahun 2011.
"Dalam bidang pemerintahan, RUU ini memberikan kekuasaan tidak terbatas pada presiden/eksekutif, dan melemahkan kewenangan terhadap yudikatif, legislatif. Kewenangan pemerintah daerah semakin melemah karena menghilangkan makna gubernur sebagai wakil dari Pemerintah Pusat. RUU ini dapat membatalkan aturan di daerah serta produk yang dihasilkan oleh legislatif, dan menunjukkan sistem pemerintah akan lebih berkuasa daripada DPR dan ini menunjukkan model otoriterisme baru Pemerintahan Pusat," tegas Fachrul Razi.
Dalam bidang impor dan izin serta lingkungan, menurut Fachrul Razi, RUU ini akan menghapus perlindungan terhadap produksi dalam negeri. "Menempatkan rakyat pada bahaya demi penyederhanaan izin usaha dengan menghancurkan penataan ruang dan menurunkan standar lingkungan hidup serta menghapuskan izin lingkungan, AMDAL dan UKL UPL tidak menjadi syarat izin usaha," tambahnya.
Dirinya menolak RUU ini juga karena menciptakan sentralisasi berlebihan serta pelemahan peran pemerintah daerah dalam bidang tata ruang, pariwisata serta pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. "RUU ini membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi Badan Hukum Asing baik di sektor pemanfaatan SDA dan asing bisa memperoleh izin pemanfaatan kawasan hutan lindung maupun produksi maupun di sektor Pendidikan, dengan memberikan keistimewaan bagi pengajar asing," jelas Fachrul Razi.
Oleh sebab itu, Senator Fachrul Razi mengajak mahasiswa dan masyarakat (civil society) untuk mengkritisi RUU Cilaka ini. "Kita harus melawan ketimpangan dalam draft Omnibus Law RUU yang terjadi saat ini, karena jikalau dibiarkan ini akan berdampak serius bagi kita dan generasi yang akan datang. Walaupun sekarang dalil ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan, ini tidak menutup kemungkinan RUU Cilaka ini akan disahkan dalam waktu yang tidak kita ketahui," demikian tutup Fachrul Razi.