-->

Hidup di Tengah Padang Pasir, Kisah Kesabaran Sahabat Terakhir Rasulullah Sangat Mengharukan

03 Mei, 2020, 21.10 WIB Last Updated 2020-05-03T14:48:54Z
Abu Ibrahim bercerita:

Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat sehingga tidak tahu pulang. Di sana kutemui sebuah kemah lusuh. kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yg duduk di atas tanah dengan sangat tenang.

Ternyata orang ini kedua tangannya puntung, matanya buta, dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya kumat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:

Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.

Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh, ternyata sebagian besar panca inderanya tidak berfungsi. Kedua tangannya buntung, matanya buta dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya.

Kuperhatikan keadaannya sambil mencari adakah ia memiliki anak yg mengurusinya? atau isteri yg menemaninya? ternyata tak ada seorang pun.

Aku beranjak mendekatinya, dan dia merasakan kehadiranku. Dia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”

“Assalaamu’alaikum. aku seorang yg tersesat dan menemui kemah ini” jawabku,

“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu?” soalku.

“Aku seorang yang sakit, semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal.” jawabnya.

“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia.!! Demi Allah, apa kelebihan yg diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara.?” ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu, tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu” kataku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia, bukankah Allah memberiku akal yang sehat, yg dengannya aku boleh memahami dan berfikir?”

“Betul” jawabku.
Lalu katanya: “Berapa banyak orang yang gila?”

“Banyak juga” jawabku.
 “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia” jawabnya.

“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku boleh mendengar azan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.

“Iya benar”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia” jawabnya.

“Betapa banyak orang yang tuli dan tidak mendengar?” katanya.

“Banyak juga.” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia”, katanya.

“Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku mampu berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.

“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yg bisu tidak mampu berbicara?” tanyanya.

“Wah, banyak sekali” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia” jawabnya.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yg menyembah-Nya, mengharap pahala dari-Nya dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.

“Iya benar” jawabku. lalu katanya: “Padahal berapa banyak orang yg menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat.!!”

“Banyak sekali”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia” katanya.

Pak tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah.

Betapa banyak pesakit selain beliau, yg musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis mau-maunya. Mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yg menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar.

Aku pun menyelami fikiranku makin jauh hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak tua mengatakan:

“Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang? maukah kamu mengabulkannya?”

“Iya.. apa permintaanmu?” kataku.

Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis. ia berkata: “Tidak ada lagi yg tersisa dari keluargaku melainkan seorang anak berumur 14 tahun. Dia lah yg memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku. Sejak malam tadi dia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah dia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja dan kamu tahu sendiri keadaanku yg tua renta dan buta, yg tidak mampu mencarinya.”

Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan anak tersebut untuknya.

Aku pun meninggalkannya dan tidak tahu bagaimana mencari anak tersebut aku tidak tahu harus memulai dari arah mana.

Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si anak, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak tua.

Di atas bukit tersebut ada sekawan burung gagak yg mengerumuni sesuatu. maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidaklah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.

Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.

Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si anak telah tewas dengan badan terpotong-potong. rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung.

Aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua daripada nasib si anak.

Aku pun turun dari bukit. dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yg mendalam.

Haruskah kutinggalkan Pak Tua menghadapi nasibnya sendirian, ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?

Aku berjalan menujuk kemah Pak Tua, aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?

Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam. maka kutemui Pak Tua itu dan dia masih dalam keadaan yg memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yg malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya. ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si anak?”

Namun kataku: “Jawablah terlebih dahulu. siapakah yg lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”

“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.

“Lantas siapakah di antara kalian yg lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.

“Tentu Ayyub.” jawabnya.

“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah kerana aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung. Ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya.” jawabku.

Maka Pak Tua pun tersedak-sedak menahan kesedihan seraya berkata: “Laa ilaaha illallaah.” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya. namun kesedihannya amat mendalam hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya. Hingga akhirnya dia meninggal dunia.

Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya. lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya.

Maka kudapati ada tiga orang yg mengendarai unta mereka. nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku.

Kukatakan: “Maukah kalian menerima pahala daripada Allah kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yg wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yg mengurusinya. mahukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”

“Iya..” jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat Pak Tua untuk memindahkannya. namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak: “Abu Qilabah. Abu Qilabah.!!”

Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama terkenal, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh.

Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah.

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah. dia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna.dia berjalan-jalan di tanah yang hijau. maka aku bertanya kepadanya:

“Hai Abu Qilabah. apa yg menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”

Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:

Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu, maka (inilah Syurga) sebaik-baik tempat kembali.

Kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.


Subhanallah...
Sungguh Allah akan membalas kesabaran hamba-hambanya dengan sesuatu yang lebih baik. Allah Subhana wata’ala berfirman :
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (Az-Zumar:10)
"Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar." (Ali Imran:146)
"Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfal:46)
"Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya." (Al-Furqan:75)

Untuk itu wahai saudaraku...
Tetaplah teguhkan kesabaran kita diatas sunnah ini, karena begitu banyak cobaan-cobaan yang akan kita hadapi. Dan bersyukurlah kita yang terkadang mendapat cobaan dari Allah karena itulah bentuk kecintaan Allah kepada hamba-hambanya.

Semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar dan semoga Allah meridhoi kita masuk ke dalam syurganya karena kesabaran kita. Amin.

*Dikutip dari berbagai sumber
Komentar

Tampilkan

Terkini