BURUH atau pekerja saat ini lagi dirundung pilu, bagaimana tidak sudah lebih 2,8 juta tercatat buruh atau pekerja terkena pemutusan hubugan kerja (PHK) dan dirumahkan akibat dampak ekonomi di tengah pademi Covid-19.
Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementrian Ketenagakerjaan, B Satrio Lelono data ini diperoleh dari gabungan data Kemenaker dan BPJamsostek atau BPJS Ketenagakerjaan, bisa jadi akan bertambah bilamana pandemi ini tidak terselesaikan.
Hal ini mendapat respon dari Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Obon Tabrono yang menyerukan agar pengusaha tidak memutus hubungan Kerja (PHK) terutama pada sektor-sektor yang mudah terkena terdampak pandemi global Covid-19.
Presiden Jokowi juga mengeluarkan maklumat kepada semua jajarannya agar mencegah penyebarluasan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Covid-19.
Mengingat angka PHK akibat Covid-19 sudah menimbulkan kekhawatiran. Pencegahan peningkatan PHK bisa dilakukan dengan melaksanakan kebijakan stimulus ekonomi yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah.
Dari imbauan tersebut, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono merespon "Sulit kalau tidak ada PHK, dari mana bayarnya, kalau tidak bisa bayar mau bagaimana. Kalau sanggup dan kuat perusahaan tidak akan melakukan PHK".
Apalagi jika perusahaan mengalami kerugian, PHK menjadi hal yang paling mungkin untuk dilakukan oleh pelaku usaha untuk menekan (defisit) keuangan perusahaan. (Dikutip dari Hukumonline)
Meskipun pemerintah sudah menggelontorkan beberapa stimulus untuk membantu Pelaku usaha yang terdampak Covid-19, hal tersebut tidak bisa memungkiri untuk tidak melakukan PHK. Apalagi kebijakan stimulus ekonomi tersebut belum efektif.
Bagaimana Nasib Buruh atau Pekerja?
Pada prinsipnya sesuai Pasal 151 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa "pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja".
Namun, bilamana pengusaha ingin memberhentikan pekerja maka harus memenuhi syarat-syarat pemutusan hubungan kerja (PHK) terlebih dahulu yang termaktub di pasal 158,161,163,164,165, dan 167 UU No.23 tahun 2013. Diantaranya yaitu 1. Force majeure 2. Perusahaan pailit 3. Perusahaan mengalami kerugian (defisit) dalam periode tertentu dan perubahan kontrol (status, penggabungan,penggabungan dan perubahan kepemilikan perusahaan).
Pada kondisi saat ini pengusaha bisa saja memberhentikan pekerjanya (buruh) dikarenakan perusahaannya terkena dampak kerugian dari Covid-19.
Ditinjau dari segi teori Covid-19 ini bisa dikategorikan sebagai peristiwa force majeur yang bisa dibuat landasan pengusaha untuk memberhentikan pekerja/buruh dengan dibuktikan bahwa perusahaannya tidak dapat lagi membayar gaji pekerja atau buruh, diakibatkan wabah Covid-19 ini.
Ingat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) harus dengan pembayaran pesangon.
Pada dasarnya sesuai dengan pasal 171 UU No.13 tahun 2003 pemutusan hubungan kerja harus sesuai penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industial (PHI) dan apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menerima pemutusan hubungan kerja tersebut maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerja.
Menurut penulis terkait hal ini akan membutuhkan waktu yang berkepanjangan, belum lagi bantahan, dll. Lalu bagaimana kalau pekerja/buruh dirumahkan?
Dalam UU Ketenagakerjaan tidak dijelaskan apa itu istilah "di rumahkan". Mengenai istilah "di rumahkan", ini ada di butir f Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Kepada Pimpinan Perusahaan di Seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal. yang menyebutkan "meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu" sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan sebelum pemutusan hubungan kerja.
Secara singkatnya pengusaha dapat merumahkan pekerja/buruh jika:
Pengusaha ingin memulihkan kondisi keuangan perusahaan.
Adanya faktor eksternal yang tidak disadari dan tidak dapat dihindari untuk menghindari pemutusan hubungan kerja.
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah kerja sama antara pengusaha/pemberi kerja dan pekerja/buruh supaya mengedapankan pendekatan positif untuk mencari solusi terbaik di tengah pandemi Covid-19.
Prinsipnya, pengusaha harus transparan apa yang menjadi tantangan saat ini dan harapan-harapan dari pekerja/buruh di dengar oleh pengusaha, sebisa mungkin jangan memutus hubungan pekerja.
Selamat Hari Buruh
Stay Healthy, Stay Safe, dan Stay at Home.
Penulis: Maulana Farras Ilmanhuda (Mahasiswa Hukum Universitas Brawijaya)