Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie, M.Ag
102. Qaala laqad ‘alimta maa anzala haaulaa-i illaa rabbu alssamaawaati waal-ardhi bashaa-ira wa-innii la-azhunnuka yaa fir’awnu matsbuuraan
Dia (Musa) menjawab, ”Sungguh, engkau telah mengetahui, bahwa tidak ada yang menurunkan (mukjizat-mukjizat) itu kecuali Tuhan (yang memelihara) langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sungguh, aku benar-benar menduga engkau akan binasa, wahai Fir‘aun.”
TAFSIR AKTUAL
Ayat 101 bertutur tentang nabi Musa A.S. yang dianugerahi sembilan ayat (tis' ayat), sembilan firman suci, atau sembilan tanda kebesaran Tuhan. Dan Fir'aun mengingkari, bahkan menuduh Musa sebagai tukang sihir.
Lalu ayat ini memberitakan sikap balik nabi Musa A.S. menohok Fir'aun: "Hai Fir'aun, sejatinya kamu itu sangat mengerti bahwa sembilan ayat itu benar-benar anugerah Tuhan kepada saya. Tapi dasar kamu kafir dan bejat, maka tidak bisa bersikap jujur". (.. wa inny la'adhunnuk ya fir'aun matsbura).
Nabi Musa A.S. pernah tandang sendirian ke istana Fir'aun, sementara Fir'aun sedang istirahat sembari berselimutan. Musa melempar tongkat sakti ke arah Fir'aun dan mendadak tongkat itu berubah menjadi ular yang sangat besar, hingga istananya-pun bisa ditelan.
Fir'aun kaget bukan main, panik dan sangat takut. Lalu segera menutupi wajahnya dengan selimut, bak anak kecil yang tidak sanggup melihat hantu. Kayak begitu penuturan Mujahid.
Jadi, orang kafir itu sangat mengerti kebenaran, tapi karena gengsi, maka dia mengingkari.
Fir'aun itu mengerti betul bahwa apa yang dimiliki Musa sungguh bukan sihir seperti sihir para tukang sihir istana. Apa yang dimiliki Musa adalah mukjizat yang kelasnya jauh di atas sihir konvensional. Tidak mungkin sihir bisa mencapai kesaktian seperti yang dia lihat.
Gengsi, sekali lagi karena gengsi, maka lebih memilih tetap kafir ketimbang beriman. Buta hati kayak begitu itu terjadi pada siapa saja, utamanya bagi mereka yang sudah punya status sosial lumayan. Semisal paman Abu Thalib, lebih memilih tetap pada agama nenek moyang meski menjelang ajal dipaksa-paksa berucap "La ilah illa Allah" oleh keponakannnya tercinta, Rasulullah SAW. Sekali lagi, bukanlah Abu Thalib tidak mengerti kebenaran, sejak bayi dia tahu kemuliaan keponakannya, tapi lebih karena gengsi.
Sifat angkuh, gengsi, sok harga diri itu ada pada setiap manusia dan kadang terlihat sejak kecil. Ada anak kecil yang melakukan kesalahan, lalu ditegur atau dilarang. Tapi dia tidak segera berhenti, malah njarak dan digawe-gawe. Meski diteriaki, tapi pura-pura tidak dengar.
Seorang bocah cilik membawa sendok logam dan dipukul-pukulkan ke meja kaca sebagai mainan, lalu dilarang. Memang ada yang menurut, tapi ada yang angkuh dan malah menjadi-jadi. Pukulannya makin keras dengan raut wajah yang muram dan melawan. Karena takut membahayakan, sendok diambil paksa dan diganti sendok plastik. Tapi si kecil tetap pada pendiriannya, tidak mau dan merebut sendok logam sambil menangis.
[bangsaonline.com]