LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Presiden Jokowi beberapa saat yang lalu menyampaikan di berbagai media bahwa pemerintah berencana menerapkan Darurat Sipil berlandaskan Perppu No.23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya untuk menangani wabah pandemi Covid-19 di Indonesia.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Muhammad Fadli menyampaikan kepada media menolak keras rencana kebijakan yang akan di ambil oleh Presiden Jokowi tersebut.
"Kami menolak keras kebijakan ini. Ini merupakan kebijakan otoritarianisme dari Presiden Republik Indonesia," ujar Muhammad Fadli, Selasa (31/03/2020).
Dijelaskannya, HMI menolak keras kebijakan ini apabila dilakukan dengan beberapa alasan fundamental.
Pertama, dalam menangani Covid-19 ini bukan merupakan perang konvensional, namun ini perang melawan virus yang tidak ada wujudnya. Perlu langkah-langkah strategis untuk menghadapinya tanpa mengesampingkan HAM fundamental rakyat Indonesia.
Kedua, kebijakan darurat sipil ini memungkinkan terjadinyanya konflik vertikal ataupun horizontal di Indonesia. Karena masyarakat tidak diberikan akses untuk kemana-mana sedangkan kebutuhan pokoknya tidak ditanggung oleh pemerintah.
Ketiga, dengan adanya darurat sipil akan ada kemungkinan besar Presiden melakukan abuse of power untuk kepala daerah yang menjadi lawan politiknya dengan cara diturunkan dari jabatan sebagai kepala daerah ketika tidak mendengarkan instruksinya. Karena hanya melalui darurat sipil pemberhentian kepala daerah dapat dilakukan langsung tanpa usulan DPRD, bila perintah penguasa pusat di langgar. Analisis Pasal 7 Ayat (1) dan (2) No.23 Perppu Tahun 1959 tentang keadaan bahaya (Darurat Sipil) dan Pasal 83 UU No 9 Tahun 2015 Jo UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Keempat, mengkarantina wilayah melalui UU No.6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan lebih efektif dilakukan saat ini. Seperti menutup akses masuk baik dari darat, laut, maupun udara, diizinkan masuk hanya untuk alasan yang urgensi dan esensial. Karena percuma masyarakat tetap di rumah jika tiap hari warga negara asing bisa keluar masuk dengan bebasnya di Indonesia.
"Atas beberapa alasan fundamental tersebut, kami BEM Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh menolak kebijakan darurat sipil yang akan diambil oleh Presiden Jokowi," tegasnya.
Menurut Fadli, azas hukum "Salus Populi Suprema Lex Exto" (Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi) harus di interpretasi dengan baik dan diterapkan secara komprehensif. Jangan pemerintah baru memikirkan keselamatan rakyat ketika sudah positif Covid-19, harus ada langkah-langkah preventif yang dilakukan sebelum di ambil kebijakan yang represif.
"Kami menyarankan Presiden Jokowi hanya mengambil karantina wilayah seluruhnya,atau sebagian dengan menutup akses keluar masuk di Indonesia, sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2018. Dan kemudian mengalokasikan APBN yang besar untuk penanggulangan wabah pandemi Internasional ini. Hentikan dulu proyek pembangunan untuk ibukota baru, karena itu bisa dialokasikan untuk penanggulangan bencana ini atas diskresi Presiden sesuai dengan hukum administrasi negara," urainya.
Ketika pemerintah abai dengan UU No.6 Tahun 2018 yang memang khusus dibuat untuk kasus pandemi seperti Covid-19 saat ini, sambung dia, timbul pertanyaan kita, apakah Presiden tidak berani untuk memenuhi amanat konstitusi Pasal 55 Ayat (1) UU No.6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan bahwa selama diberlakukannya karantina, kebutuhan pokok masyarakat bahkan hewan ternak di tanggung oleh negara?
"Presiden jangan mengembalikan nostalgia masyarakat Indonesia ketika masa orde baru (Orba).
Presiden Jokowi tidak boleh otoritarianisme karena Indonesia bukan negara kekuasaan, tapi Indonesia adalah Negara Hukum sesuai dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang kemudian sangat menghormati hak azasi manusia," imbuhnya lagi.
Masih kata dia, Presiden Jokowi jangan lagi mengeluarkan narasi yang menakuti rakyat dengan mengeluarkan kebijakan populis dan apologetik.
"Dalam memerangi wabah pandemi ini kita harus bergerak bersama-sama secara kolektif kolegial. Presiden Jokowi hari ini harus hadir sebagai pemimpin rakyat Indonesia bukan penguasa Indonesia," tutup Muhammad Fadli.[*/Red]