BANDA ACEH - Pada tahun 2019, isu lingkungan hidup dan kehutanan di Aceh, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), menjadi isu yang dibahas publik. Kondisi hutan di Aceh menjadi perhatian publik karena pentingnya pelestarian lingkungan untuk kehidupan manusia. Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) menyebutkan bahwa laju kehilangan tutupan di Kawasan Ekosistem Leuser wilayah Aceh menurun pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018. Hal tersebut disampaikan pada konferensi pers Yayasan HAkA dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di Banda Aceh, Kamis (30/01/2020) kemarin.
Konferensi pers yang dipimpin oleh Agung Dwinurcahya, GIS Manager Yayasan HAkA, TM Zulfikar dan Yakob Ishadamy mewakili YEL, mempresentasikan data hasil monitoring dari citra satelit meliputi seluruh Provinsi Aceh dan kondisi gambut di Aceh, khususnya di Rawa Tripa-sebuah kawasan yang dulu dikenal sebagai Ibukota Orangutan di Dunia karena kepadatan populasinya. Citra satelit yang digunakan adalah Landsat, Sentinel, Planet dan bantuan peringatan dini kehilangan tutupan pohon GLAD alerts dari Global Forest Watch (GFW).
Agung menyebutkan bahwa laju hilangnya tutupan hutan di provinsi Aceh periode 2019 adalah sebesar 15.140 hektar [1]. Tahun 2019 ini tren kerusakan hutan Aceh relatif stabil dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 15.071 hektar. Angka itu kurang lebih seluas 2,5 x lipat luas kota Banda Aceh, seluas 14 ribu kali lapangan bola, dan diperkirakan 41 hektar hutan hilang di Aceh per harinya pada tahun 2019. Pada tahun 2019, di antara kabupaten-kabupaten yang angka laju tutupan hutannya tertinggi adalah Aceh Tengah (2.416 ha), Aceh Utara (1.815 ha) dan Aceh Timur (1.547 Ha). Secara umum, sekitar 60% hilangnya tutupan hutan yang terjadi di Kawasan Hutan (berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015 maupun SK/MenLHK No. 580/Men-LHK II/2018), dan 40% lainnya terjadi di Areal Penggunaan Lain (APL).
KEL Aceh yang menjadi fokus area kerja HAkA juga tak luput dari analisis yang dilakukan. KEL Aceh mengalami penurunan angka laju tutupan hutan pada tahun 2019 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perhitungan tim HAkA menghasilkan angka tutupan hutan di dalam KEL Aceh sebesar 5.395 ha, menurun 290 ha dibandingkan dengan tahun sebelumnya. "Dalam 5 tahun terakhir Yayasan HAkA memantau tutupan hutan KEL via citra satelit, tahun 2019 adalah tahun terendah untuk laju deforestasi KEL," sebut Agung. Penurunan angka kerusakan hutan juga terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) wilayah Aceh.
Tim HAkA juga menyebutkan bahwa titik api di Aceh 2019 mengalami penurunan. Data titik api ini diunduh langsung dari website FIRMS (Fire Information for Resource Management System), NASA. Terpantau 1.957 titik api dari sensor VIIRS di tahun 2019 ini, dimana di 2018 ada 3.128 titik api. Menurun lebih dari seribu titik api dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan jika analisis menggunakan sensor MODIS terpantau 255 titik api dibandingkan 482 di tahun sebelumnya. Ini membuktikan bahwa Aceh telah cukup berhasil mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di 2019.
Kawasan Gambut di Aceh juga adalah concern penting dalam perlindungan lingkungan di Aceh. YEL, diwakili oleh TM Zulfikar dan Yakob Ishadamy, sebagai salah satu LSM yang aktif advokasi isu gambut, mempaparkan kondisi gambut terkini di Aceh dan inisiatif pemerintah dalam penyusunan Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG), yang akan menjadi pedoman instansi pemerintah di Aceh untuk masa depan ekosistem gambut.
"Kawasan gambut sering luput dalam diskusi perlindungan lingkungan di Aceh, padahal lahan gambut mempunyai peran penting untuk menyerap karbon dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Inisiatif pemerintah untuk penyusunan RPPEG adalah langkah awal untuk masa depan gambut yang lebih baik di Aceh, dan YEL berkomitmen untuk mendukung pemerintah Aceh agar tercapainya tata kelola rawa gambut berkelanjutan di Aceh," jelas Yakob.
Dampak dari berukurangnya tutupan hutan adalah salah satu faktor dari meningkatnya angka terjadinya bencana alam berupa banjir, longsor dan kekeringan di Provinsi Aceh. Tim GIS HAkA juga memantau dan memetakan bencana-bencana tersebut melalui kliping media online. Kejadian bencana banjir, longsor dan kekeringan pada tahun 2019 meningkat pesat. Angka bencana banjir dan longsor meningkat 87 kasus, menjadi 121 kasus dan kasus kekeringan meningkat 4 kasus menjadi 16 kasus pada tahun 2019. Banjir dan longsor terjadi di 22 Kabupaten dan kekeringan terjadi di 8 kabupaten. Kecamatan yang sering terjadi banjir dan longsor adalah Woyla Timur dan Badar. Sedangkan Darul Imarah dan Lhoknga adalah kecamatan yang paling sering mengalami kekeringan.
Walaupun angka kehilangan tutupan hutan relatif stabil namun dampak bencana alam yang dialami relatif meningkat pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018, HAkA dan YEL mengapresiasi upaya dan inisiatif instansi pemerintah di Aceh dalam upaya pelestarian dan pengelolaan kehutanan dan lingkungan hidup. Dua lembaga tersebut akan terus mendorong pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser dan lahan gambut di Aceh karena pelestariannya akan memberi manfaat kepada masyarakat Aceh, melindungi sumber air dan berperan untuk mitigasi bencana.
"Stabilnya angka kehilangan tutupan hutan di Aceh menjadi preseden yang baik. Namun, luas tutupan hutan Aceh terus berkurang, dan ini pertama sekali dalam sejarah dimana luas tutupan hutan Aceh menjadi di bawah 3 (tiga) juta hektar. Upaya perlindungan dan pengelolaan kawasan hutan di Aceh harus ditingkatkan agar hutan Aceh tetap bisa menjadi sumber kehidupan untuk masyarakat Aceh," tutup Badrul Irfan, Sekretaris Yayasan HAkA.[*/Red]