PENEGAKAN syariat islam di Aceh terus mengalami gejolak, hambatan dan masalah. Dalam konteks penerapan syariat islam di Aceh, secara de facto sebernarnya sudah jauh bergema sebelum deklarasi syariat islam sebagaimana dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 1999, dalam bentuk penerapannya11 yaitu sesuai dengan qanun nomor 11 tahun 2001. Namun penerapan syariat islam dalam bentuk qanun atau aturan resmi, belum sepenuhnya diberlakukan di Aceh.
Berdasarkan qanun yang telah disahkan dan diberlakukan bagi setiap masyarakat Aceh diharapkan dapat merubah perilaku masyarakat Aceh itu sendiri. Dari perilaku yang tidak baik menjadi perilaku yang lebih baik, dan diharapkan sesuai dengan ajaran dan tuntutan islam.
Syariat islam di Aceh sudah hampir menyebar di setiap sudut daerah di Aceh. Akan tetapi masih banyak yang tidak diberlakukannya sesuai dengan qanun yang telah ditetapkan. Terbukti sangat banyak pelanggaran yang tidak bisa ditangani oleh aparat penegak hukum syariat. Wilayatul Hisbah sebagai lembaga penegak syariat islam di Aceh seharusnya memiliki peran penting dalam mengatur hal tersebut. Namun lembaga ini tidak terlalu berfungsi dan tidak kelihatan perannya. Sebab, sosialisasi peran Wilatul Hisbah masih sangat kurang di dalam masyarakat. akibatnya, banyak tempat maksiat yang dibuat seperti pondok kecil yang berada di pinggiran pantai memudahkan para remaja atau masyarakat berbuat hal-hal yang tidak diinginkan.
Sedangkan larangan dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 pasal 6 yang berbunyi "setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas, kemudahan dan atau melindungi orang melakukan khalawat/meseum". Namun peraturan tersebut tidak dijalankan, dikarenakan pemilik tempat maksiat tersebut tidak memahami aturan yang telah ditetapkan. Disinilah peran Wilatul Hisbah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tersebut dan disertai dengan ancaman jika mereka melanggarnya. Aceh dikenal dengan syariat islamnya, akan tetapi masih banyak yang melanggarnya.
Dan itu disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat Aceh terhadap peraturan hukum yang ada di Aceh atau disebut dengan qanun. Selain itu juga kurangnya pembinaan nilai-nilai agama terhadap generasi muda. Penjabat yang seharusnya mendukung pelaksanaan syariat islam, malah banyak yang melanggarnya. Pelanggaran yang mereka lakukan adalah dengan didirikannya tempat-tempat hiburan, pondok kecil yang dapat memicu terjadinya berbagai maksiat ditempat tersebut. Seharusnya penjabat memberikan teladan atau contoh terbaik bagi masyarakatnya. Hukum syariat islam seharusnya lebih ditegakkan lagi di Aceh jangan hanya sebagai berlebel di kertas saja namun harus nyata.
Penulis: Khairiati Safriana (Sekbid Agama, Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh)