KUDUS - Ribuan santri yang tergabung dalam Aliansi Santri Bela Kiai (ASBAK) menggelar aksi di Alun-alun Simpang Tujuh Kudus, Jum'at (08/02/2019). Demo sebanyak 2000 santri itu berasal dari pondok pesantren se-Kudus.
Aksi ini merupakan buntut dari puisi politisi Gerindra, Fadli Zon berjudul 'Doa yang Tertukar'. Puisi itu dinilai menghina KH Maimun Zubair atau Mbah Moen.
Puisi itu langsung ditujukan kepada Mbah Moen, ulama yang begitu dihormati. Seharusnya, puisi tidak ditujukan untuk menyerang ulama karismatik NU selevel Mbah Moen.
Juru Bicara dan Koodinator Aksi M. Sa'roni mengatakan, kyai merupakan panutan bagi masyarakat khususnya para santri. Dengan kealimannya dan sikap tawadlu' yang diperlihatkan mencerminkan betapa tingginya ilmu seorang kyai.
Karena kyai merupakan gelar yang disematkan oleh masyarakat kepada seseorang yang tentunya memiliki tingkat keilmuan yang tinggi, sikap tawadlu yang luar biasa, akhlaqul karimah dan sebagainya. Sehingga gelar kyai bukankah gelar yang sembarang gelar yang bisa disematkan atau diklaim secara pribadi. Karenanya semakin banyak santri seorang kyai maka semakin besar pengakuan masyarakat yang menjadikan kyai tersebut kharismatik.
Maka, jika ada politisi menghina kyai, sama saja dengan menghina santri. Bantahan Fadli bahwa ia tidak bermaksud menghina mbah Moen, merupakan bentuk ketakutan sekaligus ingin lepas dari tanggung jawab.
"Walaupun politisi tersebut sudah memberikan penjelasan, bahkan saking takutnya kemudian memposting foto bersama, bahwa yang dimaksud dalam puisi Mbah Moen, bukanlah syaikhona, namun publik dan santri pada khususnya bukanlah orang bodoh dan ber IQ rendah tidak bisa membaca kias siapa yang dituju," tegas Sa'roni, dalam siaran pers, Jum'at (08/02/2019).
Ia menegaskan, ungkapan dalam puisi tersebut jelas menyayat kaum santri dan para muhibbin dengan mengidentikkan derajat kealiman seorang ulama besar. Sebagai seorang politisi sekaligus publik figur harusnya Fadli Zon, menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.
"Entah mungkin politisi tersebut tidak pernah mengaji "al adab fauqa al ilm" yang selama ini menjadi pedoman dasar bagi seorang santri ketika menimba ilmu di pesantren," sindir dia.
Menurut dia, Fadli Zon seharusnya mengedepankan etika atau adab dalam berpolitik, jika memang semua tujuan politik ini adalah demi membangun bangsa Indonesia lebih baik, lebih maju dan lebih beradab. Bukan kemudian memainkan akrobat politik yang mengkesampingkan akhlaq, etika, adab ataupun prilaku yang mana hal tersebutlah yang membedakan bangsa ini dengan bangsa lain.
"Ketika politisi menghalalkan segala cara dalam rangka merebut kekuasan maka yang menjadi gerakannya bukan lagi nalar pikir yang sehat sesuai koridor agama melainkan nafsu politik yang berlandaskan emosi, sehingga yang muncul adalah hasud, dengki dan ujaran kebencian," tegasnya.
Karena itu, ia berharap para politisi mampu memberikan pendidikan politik yang cerdas dan beradab kepada masyarakat. Agar benar-benar bangsa ini bersatu bukan membelah bangsa ini hanya demi sebuah kepentingan kekuasaan.
"Luka para santri tidak akan redam tanpa ada permintaan maaf dari politisi tersebut kepada syaikhona. Luka itu akan semakin lebar dan semakin dalam ketika Fadli Zon seolah tanpa dosa mencuitkan kata-kata yang selalu memperkeruh bangsa ini," tegasnya.
Karena itu, ia meminta Fadli Zon dan kelompoknya, untuk memberikan politik yang santun dan beradab kepada masyarakat agar bangsa ini damai dan rukun dalam persatuan di kbhinnekaan. Jauhkan diri dari caci maki, hasutan dan ujaran kebencian yang dapat memprovokasi masyarakat.
"Jangan jadikan agama sebagai komoditas politik sehingga bisa terjadi pelecehan dalam beragama," tegasnya.[*/Red]