IST
JAKARTA - Gerakan aksi 212 dan aksi bela tauhid hingga tagar 2019GantiPresiden memiliki pola yang sama dan dilakukan oleh "orang" yang sama. Sehingga patut dicurigai memiliki kepentingan politik.
Sekretaris Umum Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), Nasyirul Falah Amru menganggap, gerakan demi gerakan itu sangat tidak beretika dan mengganggu saat agama dijadikan kedok oleh para politikus yang ambisius meraih kekuasaan dengan segala cara.
"Jadi agama menjadi landasan moral, etika, dan tuntunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur, bukan sebaliknya menjadi alat kekuasaan politik," kata dia, kepada media, Selasa (06/11/2018).
Terlebih, dia mengaku miris melihat organisasi masyarakat yang sudah dibubarkan pemerintah, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih bebas beraktivitas.
HTI sudah dibubarkan dan menjadi ormas terlarang karena dinilai bertentangan dengan Pancasila. Adapun Hizbut Tahrir juga sudah menjadi ormas terlarang di banyak negara lain, termasuk di Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya, Turki, karena dinilai menyebarkan paham radikal.
"Ini jadi rentan disusupi, ditunggangi. Kita enggak mau Indonesia kacau kayak Suriah, itu pengalaman buruk. Saya sungguh sedih, peringatan Hari Santri disusupi aksi provokasi yang menciptakan ketegangan di masyarakat," katanya.
"Jangan bawa HTI dan ISIS ke Indonesia. NKRI adalah sajadah kita, kewajiban kita melestarikan sesuai ajaran para ulama," ujar dia menambahkan.
Sementara, pengamat politik Erdianto ketika dihubungi beberpa waktu lalu menilai, gerakan 2019GantiPresiden dan sejumlah aksi lainnya yang dilancarkan oleh "kelompok tertentu" itu bisa merusak kerukunan antar umat.
"Para pemimpin bangsa seharusnya bisa menurunkan tensi politik dan menurunkan suhu politik yang kian memanas ini," kata dia.
Gerakan ini, lanjut dia, bisa memecahbelah bangsa seperti tagar 2019GantiPresiden harus disudahi. Terlebih, saat ini di lapangan justru mengarah terjadi kericuhan. Apalagi, belakangan ini Polri menyebut kegiatan ini menimbulkan gangguan kamtibmas dan ancaman perpecahan.
"Sebab sudah hampir lima tahun masyarakat kita terbelah dalam dua kubu yang berseberangan terkait perbedaan pilihan presiden," kata dia.[*/Red]