-->

Terkait Kasus Irwandi, GAM Oposisi Minta Presiden Jokowi Kembalikan Marwah Perdamaian Aceh

31 Oktober, 2018, 07.40 WIB Last Updated 2018-10-31T00:40:20Z
BANDA ACEH - Kasus korupsi yang mendera Gubernur Aceh non aktif,  Irwandi Yusuf, terus berlangsung dan sudah ratusan orang sudah diperiksa oleh komisi anti rasuah tersebut.

Bahkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan 'Menolak' permohonan praperadilan Irwandi Yusuf, terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (24/10/2018).

Dalam putusan sidang yang dibacakan Hakim tunggal praperadilan, Riyadi Sunindio Florentinus, menyatakan dalam pokok perkara menolak permohonan praperadilan Irwandi untuk seluruhnya.

Hakim menyatakan OTT yang dilakukan terhadap Irwandi 3 Juli 2018 lalu di Banda Aceh juga telah memenuhi alat bukti minimal yang sah. Selain itu,  penyelidikan, penyidikan, penahanan dan tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Irwandi adalah sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga dalam waktu dekat setelah dilakukan pemeriksaan terhadap Irwandi secara marathon dan juga terhadap ratusan saksi, Irwandi akan segera disidangkan.

Menyikapi hal itu, Presidium GAM Oposisi, Tgk. Sufaini Syekhy kepada LintasAtjeh.com, Rabu (30/10/2018), mengungkapkan kekecewaannya dan meminta Presiden Jokowi kembalikan marwah perdamaian Aceh. Karena menurutnya, penangkapan terhadap Irwandi Yusuf penuh rekayasa politik dan tindakan KPK sudah menciderai perdamaian Aceh dan sangat berpotensi memicu komflik horizontal dan vertikal.

"Oleh karena itu, kami minta Presiden Jokowi untuk menggunakan hak prerogatifnya dan meminta KPK untuk menghentikan kasus Irwandi Yusuf (SP3) yan ditangani KPK. Bukan berarti Presiden Jokowi untuk mengintervensi hukum tapi untuk kepentingan yang lebih besar demi menjaga dan mempertahankan perdamaian Aceh," harap Tgk. Syekhy.

Kata Syekhy yang juga Ketua Atjehnese Australia Association (AAA) ini menegaskan, KPK sangat melukai subtansi dari perdamaian yang telah disepakati ditandai lahirnya MoU Helsinki dimana penyelesaian masalah Aceh telah disepakat kedua belah pihak antara RI-GAM untuk menyelesaikan segala persoalan Aceh yang timbul pasca perdamaian harus diselesaikan dengan cara-cara bermartabat.

"Dalam poin-poin perdamaian yang lahir dan terkandung di dalam MoU Helsinki,  Aceh mendapatkan hak penuh menyelesaikan masalah publik yang menyangkut terjadi untuk diselesaikan di wilayah hukum Aceh sendiri. Dan yang menyangkut kebijakan nasional harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan pemerintah Aceh. Perihal KPK masuk ke Aceh dan melakukan OTT, ini jelas sangat bertentangan dengan semangat perdamaian Aceh," bebernya.

Seharusnya, lanjut Syekhy, semua pihak harus saling menghargai semua kesepakatan tersebut. Aceh sangat berbeda dengan propinsi lain, selain berstatus daerah Otsus, Aceh punya sejarahnya dalam memerdekaan Indonesia dan pengorbanan Aceh kepada Indonesia tidak bisa dinafikkan.

"Sejarah singkat Aceh dalam bingkai NKRI antara tahun 1945-1950, Indonesia sudah kembali kepada Hindia Belanda kecuali Aceh. Aceh yang mengakui Republik Indonesia secara de facto dan de jure. Sesudah Indonesia tegak, maka dibubarkannya provinsi Aceh menjadi Sumatera Timur yang ibukotanya di Medan," ulasnya berkisah.

Dijelaskan Syekhy juga, maka tidak dapat dielakkan meletusnya DI/TII di Aceh. Sehingga lahirnya UU Otonomi Propinsi Aceh dengan 3 hak istimewa yaitu agama, pendidikan dan kebudayaan. Namun 'Hak Istimewa'  tersebut hilang begitu saja karena situasi dan kondisi. Selanjutnya lahirnya deklarasi Atjeh Meurdehka pada tanggal 4 Desember 1976. Terjadilah perang panjang sampai pada tanggal 10 Agustus 2002, Pemerintah Republik Indonesia bersama MPR RI mengambil keputusan politik yang bijak untuk menjadi Aceh tetap dalam bingkai NKRI.

"Maka lahirlah pasal 18b UUD45 ayat 1 berbunyi negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau  istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan adanya amandemen tersebut maka legallah lahirnya MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.

Dalam poin 1.1.2 huruf a tertulis, Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan. Kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan konstitusi.

Sehingga lahirnya Perpres RI no 15 tahun 2005 tentang Pelaksanaan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka," jelas Syekhy.

Lanjut dia lagi, sehingga lahirnya UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di dalam pasal 7 disebutkan ayat 1 berbunyi Pemerintahan Aceh dan kabupaten/ kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah. Dan PP Nomor 3 tahun 2015 tentang kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh.

Masih kata dia, dari ketentuan yang khusus berlaku di Aceh, maka kita perlu mengetahui dan mencari kepastian hukum. Timbul pertanyaan antara lain:

1. Apa kewenangan KPK di Aceh dalam operasinya menangkap para penjabat di Aceh? Sedangkan di Aceh ada Undang-Undang khusus dan tidak tersebut wewenang KPK.
2. Apakah rakyat Aceh ada keinginan untuk adanya kepastian hukum sebagaimana tersebut di dalam pasal 1 ayat 3 UUD 45?

3. Sesuai dengan poin 6.2. Sub c MoU Helsinki bagaimana masa depan Aceh?  Karena MoU Helsinki tidak ada tanggal berakhirnya.

"Maka dalam hal ini, GAM Oposisi meminta semua pihak baik pemerintah pusat dan pemerintah Aceh untuk saling menghargai atas kesepatan yang telah disepakti di Helsinki, demi saling menjaga perdamaian antara RI dan Aceh yang abadi. Apabila persoalan Irwandi tidak diselesaikan dengan cara-cara bermartabat, kami khawatir perdamaian Aceh akan kembali bergejolak. Demikian harapan kami supaya Aceh tetap damai selama-lamanya dan tidak pernah lagi kembali konflik yang akan merugikan rakyat, bangsa dan negara," tegas Tgk. Sufaini Syekhy.[DA/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini