BANDA ACEH - Sekretaris Alif Teuku Jamaluddin mempertanyakan larangan masuk ke Komplek Makam di Gampong Pande. Sebab, kawasan Gampong Pande merupakan lokasi bekas kerajaan Islam yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Banda Aceh, serta menjadi titik nol Banda Aceh.
"Gampong Pande sangat berperan penting di ujung pulau Sumatera. Karena menjadi bagian dari akar budaya Aceh yang harus dilestarikan bukan dibuatnya IPAL," ujar Sekretaris Alif Teuku Jamaluddin kepada LintasAtjeh.com, Selasa (23/10/2018).
Dalam hal ini, Alif sangat menyayangkan perusahaan Nindya-Inti merupkan perusahaan plat merah yang menempel larangan masuk di komplek makam Ulama dan Raja-raja di Gampong Pande.
"Dengan mengunakan Pasal 551 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan tidak berhak berjalan atau berkendaraan di atas tanah kepunyaan orang lain, yang oleh yang berhak dilarang dimasuki dengan sudah diberi tanda larangan yang nyata bagi si pelanggar, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 225," jelasnya.
Yang heran kita, lanjut dia, kenapa mereka berani memasang pamplet pasal 551 itu di pintu masuk?
"Apakah tanah itu sudah disewa atau sudah dibeli dan sebagainya sehingga mereka gatai jaroe jak pasang pamplet nyan?" tanya dia dalam bahasa Aceh.
Masih kata dia, semakin kami diam kalian semakin merajalela di kuburan ulama dan indatu kami. Sehingga kalian mencari pasal demi pasal untuk melarang kami berziarah ke makam indatu kami.
"Ingat hai bangsa lon, jangan pernah melupakan sejarah. Catat dan rekam, setiap apapun yang bernilai sejarah, jangan sampai nanti dianggap dongeng oleh anak cucu kita," pesannya tegas.
Dibeberkannya juga, mungkin ini salah satu cara mereka untuk menenggelamkan sejarah kerjaan Aceh sehingga 25 tahun kedepan bukti sejarah Aceh sudah tidak ada lagi. Kami tidak akan pernah membiarkan hal ini terjadi. Kami tetap mempertahankannya sampai akhir hayat kami demi sejarah bangsa kami.
"Kami minta kepada perusahaan Nindya-Inti harus baca juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 disebutkan Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan," jelas Teuku Jamaluddin.
Teuku Jamaluddin juga mengaskan lagi, jika memang mereka tidak mencabut pamplet yang dipasang itu, tunggulah kemarahan Bangsa Aceh sehingga diusir dari bumi serambi Mekkah ini. Kami juga menyarankan kepada Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh agar penyusunan blue print Gampong Pande sebagai kawasan cagar budaya harus segera dilakukan agar hasilnya dapat memberikan arahan pengoptimalan fungsi daerah. Baik dari segi pelestarian sejarah maupun pemanfaatannya, misalnya sebagai objek penelitian, pendidikan dan pariwisata.
"Mengingat hal itu maka bagi suatu upaya pelindungan, harus segera dilakukan langkah pengamanan yang sifatnya adalah pelindungan fisik beberapa lokasi. Jelasnya merupakan situs yang perlu segera dilindungi. Salah satu bentuknya adalah pembebasan lahan berupa gundukan-gundukan yang mengandung objek-objek kepurbakalaan di Gampong Pande," urainya.
"Diharapkan dalam waktu dekat ini pihak pemerintah dapat melakukan pembebasan lahan dimaksud. Kepada Pemko Banda Aceh dan Bapeda Kota Banda Aceh, jika anda ingin menyelamatkan sejarah kerajaan Aceh untuk anak cucu kita nanti maka hentikan proyek IPAL. Kalau tidak cari tempat lain. Jika anda tetap melaksanakannya proyek IPAL di kuburan indatu dan kerajaan Aceh, Pemko Banda Aceh merupakan salah satu pemko yang menghilangkan sejarah Aceh di dunia," tegas Teuku Jamaluddin.[Red]