-->

Dunia Berduka, Razan Al Najjar Menjadi Martir di Jalur Gaza

03 Juni, 2018, 22.54 WIB Last Updated 2018-06-03T15:57:54Z
PEREMPUAN berbaju putih itu selalu sibuk hilir mudik, menerjang bom asap, gas air mata, bahkan tak jarang peluru tajam, di sepanjang pagar yang memisahkan Jalur Gaza dan Israel. Demonstran sudah akrab dengan kehadirannya. Tapi kekinian, tak lagi ada derap langkah sang paramedis muda itu. Razan Al Najjar menjadi martir di palagan.

Satu jam lagi, siang akan luruh dan senja datang pada Jumat, 1 Juni 2018. Hari itu, menandai genap pekan ke-10 kampanye “Great March of Return”, yakni gelombang protes rakyat Palestina untuk kembali mengambilalih tanah-tanah mereka dari agresor Israel.
Demonstrasi masih bergejolak. Tentara Israel melepaskan banyak tembakan. Gas air mata, bom asap, peluru karet, dan di antaranya ada peluru tajam.

Di tengah semua itu, gadis berusia 20 tahun tersebut terus bergerak ke arah depan, dekat pagar perbatasan, membantu mengobati rakyat Palestina yang terluka. Ternyata, itu adalah hari terakhir ia berada di medan tempur sebagai paramedis.
”Razan berada kurang dari 90 meter dari pagar perbatasan. Ia hendak memasang perban ke lelaki yang terluka terkena gas air mata,” tutur Ibrahim Al Najjar, saudara Razan yang juga berada di medan demonstrasi, seperti diberitakan The New York Times, Sabtu (2/6/2018).

Gadis berusia 20 tahun itu tangkas memapah lelaki terluka itu memasuki ambulans untuk mendapat pengobatan di pusat penampungan.
Sesaat kemudian, terdengar suara tembakan. Razan rebah bersimbah darah. Demonstran dan paramedis yang dekat dengan Razan kaget. Mereka tak tahu dari mana peluru itu dilepaskan.

“Aku bersama dua rekan lantas mengangkat tubuh Razan ke ambulans untuk dibawa ke rumah sakit. Ia akhirnya dirujuk ke RS Gaza Eropa, Khan Younis. Tapi ternyata nyawanya tak lagi tertolong,” sesal Ibrahim.
***
“Perlawanan ini bukan semata milik kaum laki-laki, tapi kami juga, perempuan-perempuan Palestina,” tutur Razan, dalam sebuah wawancara di kamp protes Gaza, sebulan sebelum ia menjadi martir.

Ia menuturkan, secara sukarela bergabung dalam korps paramedis dalam kampanye ”Great March of Return” karena dirinya belajar mengenai ilmu medis.
Razan menilai, perlawanan terhadap agresor Israel untuk kemerdekaan penuh negara Palestina kekinian tak lagi didominasi kaum tua. Api nasionalisme sudah sejak lama membakar kaum muda, seperti dirinya.

”Khusus bagi kaum perempuan, kami pemudi-pemudi Palestina hendak mendobrak pandangan konservatif sebagian golongan Palestina, terutama di Gaza,” tuturnya.

Bagi Razan, prinsipnya itu tak bisa lagi ditawar-tawar. Kemerdekaan Palestina adalah harga mati. Dia benar-benar membuktikannya.
Razan adalah penduduk Khuzaa, desa agraris dekat perbatasan Israel, di sebelah timur Khan Younis, Jalur Gaza selatan.

Ashraf al-Najjar, sang ayah, memunyai toko suku cadang sepeda motor. Namun, usahanya itu hancur luluh lantak oleh serangan udara Israel dalam kurun perang 2014. Sejak saat itu, ia pengangguran.
Sementara Razan adalah anak tertua dari enam bersaudara keluarga Ashraf. ”Nilai-nilai akademik Razan tidak cukup bagus dalam ujian sekolah menengah untuk belajar di universitas,” tuturnya.

Setelah lulus sekolah, Razan mengikuti pelatihan paramedis di Rumah Sakit Nasser Khan Younis selama dua bulan. Setelahnya, ia menjadi sukarelawan medis lembaga nirlaba yang peduli terhadap kemerdekaan Palestina.
”Pada Jumat itu, Razan sempat sahur dan berdoa Ramadan bersama kami. Tapi matahari kala itu ternyata cepat terbenam. Itulah terakhir kali kami melihatnya,” tuturnya.

Razan, ketika diawancarai di kamp protes pada bulan lalu mengakui bangga terlibat dalam demonstrasi tersebut.

”Ayahku bangga terhadapku. Tujuan kami satu, menyelamatkan nyawa rakyat Palestina. Selain itu, ini pesan kepada dunia, bahwa tanpa senjata, kami bisa melakukan apa saja,” tegasnya.
Razan adalah orang Palestina ke-119 yang tewas sejak protes tersebut dimulai pada Maret lalu. Razan adalah satu-satunya warga Palestina yang dilaporkan meninggal dalam demonstrasi pada hari Jumat tersebut.

Selang sehari, Sabtu (2/6), Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan pernyataan yang mengutarakan kemarahan atas pembunuhan paramedis. Sebab, dalam peraturan perang ataupun demonstrasi, penembakan terhadap tenaga medis adalah perbuatan paling keji dan tercela. Si penembak dikategorikan sebagai ”penjahat perang”.
Militer Israel berjanji menggelar penyelidikan untuk mengetahui siapa penembak Razan. Namun, mereka juga menegaskan warga sipil tak boleh terlampau dekat dengan pagar perbatasan.

“Kami telah berulang kali memeringatkan warga sipil tidak mendekati pagar, terutama saat ada insiden kekerasan atau serangan teroris (militan Palestina). MIliter kami akan bertindak tegas dan profesional terhadap semua yang tak mematuhi aturan itu,” demikian pernyataan resmi Israel mengenai kematian Razan.
***
Sabtu siang, ribuan orang mengarak peti mati Razan yang berbalut bendera Palestina dan mengantarkannya ke pemakaman Al Najar, Gaza.

“Aku pernah ditolongnya saat terluka di perbatasan. Aku akan mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, sebagai penghormatan terakhir pula,” kata seorang lelaki di kerumunan para pengantar jenazah Razan, seperti diberitakan Reuters.

"Dengan jiwa dan darah kami, kami menebusmu, martir Razan," teriak para pelayat ketika mayat itu dibawa ke rumahnya untuk perpisahan terakhir sebelum dimakamkan.
Penduduk mengatakan, Razan adalah tokoh populer di tempat-tempat protes. Sementara di media-media sosial, warga Palestina menyebar gambar-gambar Razan yang dikiaskan sebagai malaikat penyelamat.[Suara.com]
Komentar

Tampilkan

Terkini