MEMBINCANGKAN perempuan tidak akan pernah menemukan titik akhirnya. Menurut sebagian pengamat adalah keajaiban kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia. Sejak keberadaannya pembahasan tentang perempuan telah menghabiskan jutaan lembar kertas kerja dan jurnal-jurnal ilmiah, baik dari bacaan ringan semacam novel sampai pembahasan yang serius di meja seminar.
Zaman terus berubah, musim silih berganti. Abad ke 20 datang terlihat dengan bangkitnya semangat pengkajian terhadap eksistensi seorang perempuan. Tuntutan-tuntutan berubah sebagai suatu akibat yang dikenal dengan emansipasi perempuan.
Di saat perempuan di Indonesia masih membahas mengenai kesamaan haknya yang terinspirasi oleh R. A Kartini yang telah ditasbihkan sebagai pejuang emansipasi, jauh sebelum itu para perempuan Aceh telah menikmati hak-hak nya sebagai manusia yang setara tanpa perdebatan. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia misalnya adalah pejuang tangguh yang tidak kalah pentingnya dengan R.A Kartini.
Berjuang saat ini tidak harus berada pada kancah peperangan. Setelah kemerdekaan dunia pendidikan lebih mudah didapatkan oleh semua kalangan termasuk perempuan. Ini merupakan satu langkah yang membuat kesetaraan nilai pendidikan yang didapat oleh kalangan perempuan dan laki-laki. Dalam hal ini harusnya perempuan lebih mampu bersaing dari kaum laki-laki terkhusus untuk perempuan-perempuan Aceh.
Perempuan Aceh diharapkan lebih memajukan pemikirannya, bahwasanya tidak selamanya laki-laki bisa mengatur segala sesuatu dan sistem yang ada pada diri perempuan, karena perempuan sudah merdeka pada diri Cut Nyak Dhien. Perempuan Aceh menanamkan semangat juang Cut Nyak Dhien pada dirinya sehingga mereka tidak lemah dan tidak tertindas.
Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi aktif dan bijak bahkan selalu harus lebih kritis terhadap perpolitikan harusnya menjadikan perempuan lebih tangguh dari pada harus mengikuti kata hati yang rentan rapuh. Untuk saat ini tidak sedikit perempuan Aceh yang menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Buktinya Illiza Saadudin Jamal bisa menjadi Walikota Banda Aceh, Surraiya Kamaruzzaman adalah sosok penggerak suara perempuan di tanah Rencong Aceh.
Hal ini menunjukkan 5-10 tahun kedepan akan bermunculan perempuan-perempuan yang memberi gebrakan baru pada dunia bahwasanya perempuan bisa mengatur dan masuk kedalam sebuah sistem tanpa harus ada lagi keterbatasan dan keterasingan. Ini menjadi teguran pada kaum laki-laki bahwasanya kaum perempuan bisa berdiri sendiri, sehingga tidak ada lagi yang namanya kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual dan perempuan sebagai boneka mainan hidup bagi kaum laki-laki.
Dengan ini, saya lebih menegaskan bahwasanya perempuan Aceh itu kuat sejak zaman pahlawan Cut Nyak Dhien terdahulu. Namun, jika dituruti kata hati perempuan maka akan selalu lemah dan dia akan terus dijajah oleh dirinya dan orang lain. Makanya perempuan harus lebih kritis dan logis, harus berpendidikan lebih tinggi dan cerdas, lebih hebat atau mungkin sebanding dari laki laki. Karena menurut saya sebagai imam sholat dari laki laki saja perempuan tidak bisa selebihnya perempuan mempunyai peluang.
Penulis: Hikmah Santie (Aktivis Perempuan Sekolah Pemimpin Muda Aceh/Mahasiswa Pasca Sarjana Fisip USU)