-->

PEMA Unmuha: Salah Pemahaman Jihad, Teroris di Indonesia Harus Dimusnahkan!

27 Mei, 2018, 16.02 WIB Last Updated 2018-05-27T09:02:05Z
BANDA ACEH - Revisi UU No.15/ 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme telah disahkan. Undang-undang baru ini sekaligus menjadi alarm kematian bagi gerakan terorisme di Indonesia. 

"Gerakan terorisme yang sejatinya adalah gerakan ideologis untuk mengganti ideologi Pancasila, kini sedang di ambang kematian. Mereka benar-benar mengalami sakaratul maut," jelas Koordinator Sekolah Pemimpin Muda Aceh (SPMA) Unmuha yang juga Wakil Presiden Mahasiswa Unmuha, Khairul Rizal kepada LintasAtjeh.com via pesan whatsapp, Minggu (27/05/2018).

Dikatakannya, gerakan kaum radikal yang menjadi instrumen penting bagi menjalarnya sel-sel terorisme, telah diantisipasi oleh pemerintah dengan menyiapkan "sel bintang lima" sebagai hotel prodeo tempat mereka untuk merenungkan kenaifannya. Maka, tidak ada pilihan lain bagi gerakan radikalisme dan terorisme, kecuali segera melipat bendera gerakannya dan melakukan taubat nasuha. 

"Kita selama ini memang dibuat masygul, bagaimana mungkin seseorang yang jelas-jelas telah berbai'at kepada gerombolan teroris ISIS dan berperang di Suriah, bisa melenggang pulang ke tanah air secara aman dan nyaman tanpa bisa tersentuh oleh hukum," ungkitnya.

Dilanjutkannya, kita jadi teringat dengan apa yang dikatakan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin beberapa bulan yang lalu, bahwa pasca kekalahan ISIS di Irak dan Suriah. Mereka akan segera memindahkan basis kekuatannya di Asia Tengah dan Asia Tenggara.

Di Indonesia, situasi ini seolah  menemukan tempat persemian yang subur dengan adanya gerakan khilafah di Indonesia. Meski organisasinya sudah dibubarkan, tapi para speakers propagandis-nya tetap bebas menyuarakan ide khilafah ke tengah khalayak, yang dibungkus melalui ceramah dan pengajian.

Dijelaskannya lagi, kita tentu belum lupa, ceramah seorang ustadz yang begitu bersemangat mempropagandakan khilafah. Lantaran begitu bersemangatnya oleh tepuk sorak dan teriakan takbir, hingga ia tak sadar telah merendahkan derajat Nabi Muhammad SAW, dengan menyebut bahwa beliau tidak mampu mewujudkan rahmatan lil 'alamin. Padahal di dalam Al Qur'an jelas "Wama arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin".

"Kita juga menyaksikan, entah berapa banyak para ustadz yang begitu mudah mengeluarkan kata-kata jorok, bahwa Indonesia adalah negara thoghut, negara yang ditegakkan diatas sistem kafir. Ustadz-ustadz ini seolah lupa, bahwa dasar Pancasila dan NKRI, merupakan hasil ijtihad para ulama founding fathers, yang keilmuan agamanya sangat luas, tidak ada apa-apanya jika dibanding para ustadz pop tersebut," tegasnya.

Tapi nyatanya, lanjut dia, para ulama-ulama terdahulu itu justru menempatkan Indonesia sebagai "dar ash-shulkhi" (negara damai) yang harus dibela eksistensinya. Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Tapi Indonesia meletakkan hubungan agama-negara dalam hubungan "simbiosis-mutualistik". Agama butuh kekuatan negara agar ibadah keagamaan dapat dijalankan dalam situasi aman. Begitu juga negara butuh agama sebagai pembimbing moral dan etika.

Lalu, masihkah Indonesia dianggap sebagai negara yang dibangun diatas sistem kufur? Saya jadi teringat kata-kata Socrates: "Semakin seseorang banyak tahu, maka semakin ia merasa tidak tahu, dan sebaliknya, semakin seseorang sedikit  tahu, maka semakin ia merasa  banyak tahu".

Sementara di kampus, hasil penelitian mutakhir menyebutkan bahwa 30% lebih mahasiswa yang mulai terpapar paham radikalisme dan ada tiga kampus yang menjadi basis penyebaran paham radikal. Data penelitian ini tentu sangat memprihatinkan. Jika ini dibiarkan, maka sel-sel tidur ini bisa berpotensi berubah menjadi gerakan terorisme.

"Peristiwa yang terjadi di Timur Tengah, semestinya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Libya, Afganistan, Irak, Suriah dan lain-lain, mengalami kehancuran dan porak-poranda karena dilanda perang saudara, sebagai akibat konflik ideologis. Sesama umat Islam saling membunuh dan memangsa. Lalu siapakah yang rugi? Tentu umat Islam sendiri," tegasnya.

"Oleh sebab itu, kita semua harus bersatu padu mendukung langkah tegas pemerintah untuk membersihkan Indonesia dari anasir-anasir radikalisme dan terorisme. Ibarat penyakit kanker, mengamputasi organ tubuh yang sudah terjangkit kanker adalah opsi terbaik sebelum ia menjalar ke seluruh tubuh dan mematikan," tandasnya.[*]
Komentar

Tampilkan

Terkini