LEMBATA - Pembangunan kawasan wisata di Balauring dan reklamasi Pantai Balauring yang didalamnya ada "Pojok Cinta" di kawasan pantai utara Balauring digugat masyarakat adat Dolulolong, Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT.
Informasi yang diterima redaksi, Senin (21/05/2018), di Pengadilan Negeri Lembata, tampak Juprians Lamablawa, SH., MH dan Emanuel Belida Wahon, SH, dari Kantor Hukum Akhmad Bumi & Rekan mendaftarkan gugatan 'Perbuatan Melawan Hukum' yang dilakukan oleh Eliyaser Yentji Sunur.
Akhmad Bumi, SH, di Lewoeba, membenarkan telah mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri Lembata.
"Ya benar kita gugat. Kita gugat Eliayser Yentji Sunur. Dan kami akan proses hukum semua pihak jika di kemudian hari terindikasi terlibat. Gugatan sudah kita daftarkan di Pengadilan Negeri Lembata hari ini," jelasnya.
Ditegaskanya, kita lawan dengan hukum segala bentuk kapitalisasi kekuasaan dan kapitalisasi sumber daya alam Lembata. Apalagi untuk kepentingan pribadi dan dilakukan dengan sewenang-wenang serta tidak sesuai prosedur yang berlaku.
Menurut Bumi, proyek yang sedang berjalan di Balauring adalah proyek pribadi Eliyaser Yentji Sunur yang juga sebagai Bupati Lembata. Bukan proyek pemerintah daerah. Segala yang ada disana, yang sedang dibangun di Balauring bukan aset daerah, tapi asetnya Eliyaser Yentji Sunur. Tidak termuat dalam APBD 2018.
"Reklamasi pantai dan pulau-pulau kecil bukan asal dikerjakan tapi memiliki prosedur. Hal itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pantai dan pulau-pulau kecil," jelasnya lagi.
Masih kata dia, tidak ada ijin lokasi, tidak ada ijin pelaksanaan reklamasi, tidak ada amdal, tidak ada rencana detail reklamasi dan tidak ada Perda tentang Zonasi Kawasan. Eliyaser Yentji Sunur perlu mengerti dan membaca semua ini. Bukan asal kerja dan membangun dengan melabrak aturan perundang-undangan yang berlaku.
Dijelaskan juga bahwa pembangunan reklamasi dengan luas sekitar 17.500 meter persegi (panjang 250 meter dan lembar 70 meter), di sekitar pantai reklamasi ada sekitar 30an rumah penduduk/nelayan. Perlu analisis dampak bukan hanya ekosistem di seputar kawasan reklamasi tapi terhadap warga lokal, adat istiadat masyarakat setempat.
"Itu amanat Peraturan Presiden. Eliayaser Yentji Sunur perlu membaca dengan baik dan memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang. Mata hati dan nurani perlu melihat semua itu dengan jernih. Baik reklamasi maupun pembukaan jalan wisata dilakukan diatas ulayat Dolulolong. Tidak ada penghargaan dengan masyarakat adat sekitar," tukas Bumi.
"Kita sudah daftar gugatan, telah diregister dengan perkara Nomor: 8/PDT.G/2018/PN.LBT tanggal 21 Mei 2018 dan kami sudah bersurat pencegahan kepada Eliyaser Yentji Sunur," jelas Bumi lagi.
Sementara secara terpisah, Juprians Lamablawa, SH., MH, menjelaskan hak ulayat itu diakui negara. Telah dijelaskan dalam UUD 1945 (Amandemen Kedua), diatur dalam UU Pokok Agraria dan khusus reklamasi keberadaan masyarakat adat diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2014 dan Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012.
"Reklamasi di Balauring bukan proyek Pemerintah Lembata. Tidak ada dalam Perda APBD tahun 2018. Itu reklamasi illegal. Menabrak pranata-pranata sosial dan adat istiadat setempat. Kita sudah daftar gugatan sebagai bentuk perlawanan masyarakat adat menurut hukum," jelasnya.
Ditegaskan juga oleh koleganya, Emanuel Belida Wahon, SH mengatakan reklamasi dan pembukaan jalan wisata di Balauring telah menjadi obyek sengketa di Pengadilan Negeri Lembata. Karena telah menjadi obyek sengketa, maka seluruh aktivitas dilolasi reklamasi dihentikan sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
"Semua pihak harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Bukan hanya gugatan perdata, langkah hukum lain juga kami akan proses hukum dengan segera. Lembata memiliki budaya, adat istiadat dari nenek moyang, jadi kearifan lokal menjadi pertimbangan dalam membangun apa saja di Lewotanah ini," paparnya.
Lanjut dia, semua pihak jangan asal mimpi lalu membangun sesuai selera, semua lokasi di Lembata bukan tidak bertuan. Pembangunan model apapun perlu ada pembebasan lahan. Bukan serta merta membangun karena merasa ada kuasa yang digenggam. Menjadi pemimpin apa saja di Lembata termasuk kepala desa dan ketua RT perlu menjunjung tinggi budaya, adat istiadat di Lembata.
"Kalau orang yang tidak lahir dari rahim budaya dan adat istiadat memang tidak faham akan pranata sosial di Lembata," sindir Wahon.
Wahon menghimbau kepada masyarakat Lembata agar jangan asal melepas lahannya kepada siapa saja. Apalagi dalam skala besar puluhan hektar tanah. Seolah-olah tanah itu dibeli untuk pembangunan, tapi nyatanya untuk kepentingan pribadi.
"Saya berharap bapak-bapak orang tua saya di seluruh Lembata agar lebih hati-hati, perlu waspada dalam melepaskan tanah, jngan sampai dikemudian hari kita menyesal. Kita miskin tapi jangan dibodoh-bodohi, kalau dibodoh-bodohi ya kita lawan, ada hukum dan ada pengadilan untuk kita menguji segala bentuk keserakahan dari siapa saja," jelasnya.