JAKARTA - Pertemuan khusus Wali Nanggroe Aceh dan Pimpinan Partai Aceh dengan Wakil Presiden Jusuf Kala membicarakan perkembangan MoU Helsinki dan UUPA serta kondisi terkini di Aceh.
Hal tersebut disampaikan oleh Senator Aceh H. Fachrul Razi, MIP, yang juga Kader PA yang pernah menjabat Mantan Juru Bicara Pusat Partai Aceh yang hadir dalam pertemuan tersebut, Selasa (20/03/2018).
Pertemuan dipimpin oleh Wali Nanggroe, Tgk. Malik Mahmud Al Haytar dengan Wakil Presiden RI, Jusuf Kala berlangsung hari ini selama 1,5 jam dari jam 10.00 WIB, di ruang kerja Wapres Jusuf Kala.
Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haytar juga didampingi Ketua DPA PA H. Muzakir Manaf, Sekretaris Jenderal PA Pusat Kamaruddin Abubakar alias Aburadak, Senator DPD RI Asal Aceh H. Fachrul Razi, MIP dan Dr. Rafiq selaku Staf Khusus Wali Nanggroe.
Tgk. Malik Mahmud kepada Wapres Jusuf Kala memberikan penjelasan beberapa permasalahan penting di Aceh. Pertemuan tersebut membahas beberapa agenda penting antara lain menagih janji implementasi MoU Helsinki dan UUPA termasuk masalah bendera, perkembangan Partai Aceh terkini, permasalahan wakaf Baitul Asyi, persiapan Aceh sebagai tuan rumah PON 2024, pelaksanaan PP kewenangan Aceh dan PP Migas serta Kepres Pertanahan dan Daerah Otonomi Aceh (DOB) di Aceh.
Wali Nanggroe berharap dalam pertemuan tersebut agar Jusuf Kala dapat segera membantu menyelesaikan masalah realisasi MoU Helsinki sebelum masa jabatan sebagai Wakil Presiden yang akan berakhir pada tahun 2019. "Semangat perdamaian harus dijaga dan Pak JK (sebutan Jusuf Kalla) merupakan bagian penting dari perdamaian Aceh," tegas Wali Nanggroe.
Dalam pertemuan tersebut, Sekjend PA Pusat Aburadak menyampaikan perkembangan Partai Aceh yang baru saja melaksanakan Musyawarah Besar dan menetapkan H. Muzakir Manaf sebagai Ketua Umum Partai Aceh terpilih. "Saat ini kami sedang mempersiapkan pelantikan," kata Aburadak.
Sementara itu, Mualem panggilan akrab Muzakir Manaf menjelaskan persiapan Aceh menjadi tuan rumah PON 2024 serta meminta dukungan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mualem yang juga Ketua Umum KONI Aceh siap menjadikan Aceh sebagai tuan rumah PON 2024 bersama Sumatera Utara.
Muzakir Manaf juga menagih janji Pemerintah Pusat berkaitan dengan implementasi MoU Helsinki yang saat ini belum terealisasi secara penuh.
Sementara itu, Fachrul Razi, Senator Aceh DPD RI menjelaskan beberapa masalah yang berkembang berkaitan dengan turunan UUPA yang belum selesai seperti Bendera Aceh serta kendala dan hambatan implementasi PP Migas dan PP kewenangan Aceh termasuk Perpres Pertanahan di Aceh.
Fachrul Razi meminta intervensi Wakil Presiden untuk membantu menyelesaikan kendala yang dihadapi di Aceh. Fachrul Razi juga meminta Wakil Presiden untuk dapat mengintervensi kebijakan pusat melalui Mendagri yang masih melemahkan kewenangan Wali Nanggroe baik secara wewenang maupun anggaran Lembaga Wali Nanggroe sehingga berpengaruh terhadap kinerja dan keberadaan Lembaga Wali Nanggroe di Aceh.
Fachrul Razi menjelaskan kepada Wapres berkaitan dengan masalah yang meresahkan rakyat Aceh yaitu adanya keinginan Pemerintah Pusat untuk mengelola dan berinvestasi di tanah waqaf Baitul Asyi di Mekkah. Fachrul Razi menolak tindakan tersebut karena bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh dan surat wasiat waqaf Habib Bugak.
Fachrul Razi meminta adanya perhatian khusus Pemerintah Pusat melalui Wapres kepada kondisi keluarga keturunan Habib Bugak di Aceh yang hidup sangat memprihatinkan secara ekonomi di Aceh dan ini tidak sesuai dengan jasa almarhum Habib Bugak. F
Selain itu, Fachrul Razi meminta pengakuan hukum dan kompensasi ekonomi kepada pihak keluarga. "Bahkan Makam Habib Bugak di Aceh kurang terurus serta sangat memprihatinkan," jelas Fachrul Razi kepada Jusuf Kalla.
Fachrul Razi sebagaimana mengutip perkataan Wakil Presiden Jusuf Kala bahwa Wapres ketika menanggapi masalah Baitul Asyi bahwa ide investasi di tanah waqaf Baitul Asyi masih berupa wacana saja, karena pemerintah punya 100 Triliun dana haji yang hanya bisa diinvestasikan Pemerintah Pusat di Saudi Arabia. Jusuf Kalla mengakui bahwa Pemerintah Pusat juga tidak mudah dapat mengelola Baitul Asyi tersebut karena merupakan tanah wakaf.[*]