JAKARTA - Ketua Partai Aceh Muzakir Manaf angkat bicara terkait masih lemahnya peran para wakil rakyat Aceh di Jakarta dalam memperjuangkan kepentingan Aceh. Termasuk nasib dari realisasi butir-butir perjanjian damai RI-GAM yang dikenal dengan MoU Helsinki, yang hingga kini tidak dituntaskan termasuk persoalan UUPA.
Melalui media lokal pria yang akrab disapa Mualem itu mengatakan keberadaan wakil-wakil rakyat Aceh di dewan perwakilan rakyat tidak berarti. Mereka, kata Mualem, tidak memperjuangkan kepentingan Aceh di pusat kekuasaan itu.
"Nol sama sekali, rugi kita lima tahun ke belakang," kata Mualem usai menutup Musyawarah Besar Partai Aceh II, di Banda Aceh, Rabu, 14 Februari 2018. "Saya kecewa."
Menanggapi pernyataan Mualem tersebut, Rafli Kande yang kini menjabat sebagai anggota DPD RI menyatakan bisa jadi apa yang dikatakan Mualem itu ada benarnya.
"Boleh jadi apa yang disampaikan Mualem benar karena jarang sekali seluruh perwakilan Aceh baik itu DPR RI maupun DPD RI duduk bersama untuk melakukan diskusi membahas persoalan Aceh secara terintegrasi," ungkap Rafli kepada media, Kamis (15/02/2018).
Rafli justru menilai salah satu penyebab duduk bersama itu tak dilakukan karena adanya ego personal masing-masing anggota. Dia mencontohkan satu ketika dirinya dipercayakan sebagai juru bicara mewakili 4 anggota DPD RI asal Aceh pada Sidang Paripurna DPR RI dengan durasi waktu yang diberikan selama lima menit untuk setiap provinsi.
Keterbatasan waktu itu, lanjut Rafli, sangat mustahil bisa menyampaikan daftar inventaris masalah untuk setiap anggota. Seperti propinsi-provinsi yang lain hanya menyampaikan secara umum tentang permasalahan di daerahnya.
"Sayapun berkesimpulan dengan durasi waktu singkat itu langsung menyampaikan tentang komitmen pemerintah pusat terkait kekhususan Aceh menyangkut UUPA dan turunannya. Diakhir penyampaian saya minta agar dana otsus bisa berkelanjutan dan tidak berbatas waktu sambil menutup dengan salam," ujar Rafli sembari menceritakan salah satu kejadian yang terjadi di pusat.
Tiba-tiba, sambung Rafli, salah satu teman DPD RI asal Aceh justru melakukan interupsi dan mengatakan dalam sidang yang terhormat itu bahwa apa yang diperjuangkan Rafli itu bukanlah legitimasi ke 4 orang anggota DPD asal Aceh.
"Semua peserta sidang paripurna terdiam dan saya pun kebingungan sembari introspeksi apa yang salah dengan pidato saya memperjuangkan kekhususan Aceh itu. Inilah sekelumit kisah yang pernah terjadi yang menunjukkan perwakilan Aceh di pusat terkadang kurang bersinergis dalam persoalan ini," beber Rafli menceritakan persoalan yang pernah dialaminya.
Di lain sisi, tambah Rafli, pemerintah daerah terkesan juga kurang berkoordinasi dengan 17 orang anggota parlemen asal Aceh yang ada di Jakarta. Yang terjadi, hanya komunikasi-komunikasi individu-individu semata.
"Apalagi ke DPD RI yang fungsinya tak berimbang legitimasi, tidak punya kewenangan budgeting (penganggaran) seperti DPR RI. Hal ini justru semakin membuat kepala daerah kurang tertarik berkoordinasi dengan DPD RI," imbuhnya.
Menurut Rafli, ke depannya perwakilan Aceh ke pusat harus benar-benar siap bersinergi demi kemaslahatan perjuangan rakyat Aceh.
"Masih ada waktu ke depan mari kita bangun i'tikad yang tulus agar keberadaan perwakilan Aceh di pusat dan pemerintah daerah lebih kompak serta kita optimalkan koordinasi antar pihak," tandasnya.[*]