LANGSA – Dalam hidup siapa saja memiliki cita-cita yang ingin diraih dimasa depan. “Gantungkan cita-cita setinggi langgit” adigium ini acap terdengar mengumpakan sebuah harapan besar akan keinginan dimasa mendatang. Begitu kiranya yang berlaku pada seorang pemuda yang lahir ditengah keluarga miskin 35 tahun lampau.
Suatu sore di desa Ie Bintah, 6 Agustus 1982. Seorang perempuan sedang berjuang untuk melahirkan “putik mayang” yang dikandungnya. Antara hidup dan mati, begitulah perjuangannya bertaruh nyawa agar “putik mayang” terlahir kedunia sebagaimana janji Ilahi saat ruh ditiup ke jasad janin semasa masih di rahim.
Dibantu seorang dukun beranak (bidan kampung_red) tepat pukul 17.00 Wib, diujung senja memasuki maghrib, suara tangis bayi laki-laki memecah keheningan. Rasa syukur dan tawa membuncah di keluarga kecil Abu Bakar Ahmad dan Nur’aini. Pasalnya, anak pertama buah kasih mereka lahir selamat.
Agus Syahputra, begitu nama yang awalnya akan disematkan kedua orangtuanya kepada bayi yang baru lahir tadi. Pilihan nama Agus, lantaran terlahir di bulan Agustus. Sedangkan Syahputra, pertanda seorang laki-laki atau lelaki yang lahir di bulan Agustus. Begitulah arti nama yang direncakan mulanya.
Akan tetapi, Aminah (ibunya Abubakar) tak berkenan mendengar nama itu disematkan pada cucu lelaki pertamanya (sebelumnya ada tiga cucu kesemuanya perempuan dari adik Abu Bakar). Menurutnya, Putra Zulfirman lebih baik ditabalkan sebagai nama bayi lelaki tersebut, tanpa menjelaskan arti dan maksud nama itu.
“Mungkin nenek saya tidak suka dengan nama yang kebanyakan digunakan orang. Makanya dipilih nama saya seperti itu. Bila diartikan mungkin begini 'ucapan atau perkataan Allah kepada seorang lelaki bernama Zul'. Itu dugaan saya saja mengartikannya, maaf,” ungkap Putra Zulfirman sembari tertawa dalam sebuah bincang lepas dengan LintasAtjeh.com, Sabtu (24/02/2018), di Langsa.
Diakui Putra (begitu akrab disapa) Ayahnya hanya seorang supir berijazah setingkat SMP yang merupakan pria kelahiran Peureulak, Aceh Timur. Sedangkan ibunya berdarah Aceh -Bugis lahir di Pewunu, Palu, Sulawesi Tengah, hanya mengenyam bangku pendidikan dasar. Kehidupan keluarga sederhana jika tak elok disebut prasejahtera.
Putra kecil menempuh pendidikan di SDN 2 Tualang Cut. Selanjutnya bersekolah di SMPN 1 Manyak Payed dan melanjutkan ke tingkat atas di SMAN 2 Langsa. Di sekolah ini hanya empat bulan mengali ilmu pengetahuan. Lantaran suatu hal, ia pindah ke SMA Swasta Tgk Chik Di Tiro Tualang Cut (kemudian berubah nama menjadi SMAN 1 Manyak Payed di tahun 2001) hingga menyelesaikan studinya.
Dikisahkan, sejak SD ia kerap dipercaya sebagai ketua kelas. Setidaknya, lima tahun jabatan itu tersemat dipundaknya (mulai kelas 2 hingga kelas 6), atau setara dengan satu periode masa jabatan presiden/gubernur/bupati/walikota/anggota parlemen. Selain itu, pemuda kurus ini setiap senin pagi dipercaya sebagai pemimpin upacara di sekolahnya.
“Ya, 5 tahun ketua kelas merangkap pemimpin upacara bendera setiap senin pagi mulai kelas 4-6 SD. Terus di SMP juga begitu. Hanya empat bulan di SMAN 2 yang tidak karena petugas upacara kelas 2 dan 3 masa itu. Selebihnya, saat di SMA Manyak Payed jadi langganan pemimpin upacara, padahal masa itu konflik masih mendera Aceh,” urai Putra mengenang masa lampau.
Saat bersekolah, Putra dikenal sebagai siswa cerdas. Hanya saja, ketika duduk di bangku SMA, tampak ‘nakal’ karena acap tak masuk kelas mengikuti proses belajar mengajar pada waktu-waktu tertentu. Padahal, saat itu dia menjabat Wakil Ketua OSIS SMA tempatnya mengenyam pendidikan.
“Ha, haha, Iya, sering ngak masuk kelas kalau pelajaran membosankan seperti matematika, fisika maupun kimia saat kelas 2 SMA. Alasannya, ada rapat Osis sehingga walau tak masuk kelas tapi mendapat izin guru mata pelajarannya. Memanfaatkan jabatan untuk tidak ikut pelajaran,” akunya sambil terbahak.
Meski demikian, Putra tetap fokus pada mata pelajaran IPS yang memang digemarinya, seperti Sosiologi, Sejarah, PPKN dan Antropologi. Tak ayal, undangan kuliah ke Universitas Brawijaya (Unbraw) Malang, Jawa Timur dan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta teralamatkan padanya sebagai calon mahasiswa bebas testing untuk masuk ke kampus bergengsi tersebut.
Namun apa nyana. Niat hati memeluk gunung tapi tangan tak sampai, begitu istilahnya. Kedua orangtuanya tidak memiliki kemampuan financial untuk mendukung Putra kuliah di kedua kampus tersebut. Ia nyaris frustasi, namun mencoba realitis atas keadaan ekonomi keluarganya. Anak sulung dari dua bersaudara ini kemudian menempuh pendidikan di Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Samudera.
“Sebelum Ebtanas kami mengisi formulir dari beberapa Universitas pilihan untuk bisa berkuliah di kampus itu selepas SMA. Pilihan saya Unbraw, UGM, Trisaksi dan Unsyiah. Semua soal subtimatif saya jawab semampunya. Akhirnya Unbraw dan UGM yang mengundang saya kuliah di kampus tersebut,” terang Putra.
“Kalau UGM di Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisip). Sedangkan Unbraw di Fakultas Hukum. Tapi orang tua ngak ada biaya untuk berangkat kuliah ke sana. Nyaris frustasi karena cita-cita saya ke sana. Akhirnya, kuliah di FKIP Unsam atas dorongan orangtua,” ucapnya miris.
Saat di FKIP Unsam, Putra aktif dipergerakan kampus. Mulanya dia mengaktifkan kembali Himpunan Mahasiswa Sejarah (HIMAS) yang telah lama vakum. Ia terpilih sebagai ketua untuk periode 2003-2004. Selanjutnya, jabatan Sekretaris II Senat FKIP dipundaknya. Disaat bersamaan, dia mendirikan sebuah organisasi payubuyan bernama Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Manyak Payed (IMPAMA), bersama rekan mahasiswa asal kecamatan Manyak Payed.
Dunia pergerakan terus dilakoninya. Tahun 2005-2007, Putra menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Pelajar Aceh Tamiang (HIMPERTA). Selanjutnya, bersama juniornya Irwan Musa, ia mendirikan LSM Matahatee dan Jaringan Pemuda Kota Langsa (JPKL). Memasuki tahun 2009, Putra bersama Sukma M Thaher mendirikan LSM Komunitas Rumoh Aceh yang fokus pada penelitian dan kajian sosial.
Kini, Putra didapuk sebagai Ketua SAPMA Pemuda Pancasila Kota Langsa selama dua periode (2014-2016 & 2016-2018). Sebagai OKP yang bernauang di bawah Pemuda Pancasila, SAPMA merupakan penganti Pemuda Pancasila dikeanggotaan KNPI. Saat ini, Putra dipercaya sebagai Wakil Ketua DPD II KNPI Kota Langsa periode 2015-2018 dibawah kepemimpinan Zulfan sebagai ketua.
Sebelumnya, Putra aktif menulis sebagai seorang jurnalis. Karirnya sebagai wartawan dimulai di SKM Transparan News di tahun 2008. Kemudian, ia menjabat Koordinator Liputan Harian Transparan News. Memasuki tahun 2011, Putra direkrut sebagai Sekretaris Redaksi Tabloid Suara Publik. Disini, dia acap menulis feature. Harian Aceh juga pernah memakai jasanya sebagai wartawan di tahun 2014-2015, sebelum bergabung pada LKBN Antara Biro Aceh yang ditugaskan di Kota Langsa dan sekitarnya, terhitung Maret 2015 hingga saat ini.
Sebagai jurnalis, Putra juga memiliki kemampuan menulis sastra. Setidaknya, ia pernah menelurkan buku antologi puisi “Merengkuh Asa” bersama Agusni AH dan sejumlah penyair Aceh lainnya. Kemudian, sebagai penyunting buku antologi puisi “Teja Merambat Bumi.” Dimana, memuat puisi-puisi karya Agusni AH.
Bersama Agusni AH pula, Putra menjadi pengurus Dewan Kesenian Aceh (DKA) Kota Langsa sebagai Bendahara dan Plt Sekretaris 2014-2018. Kepiawannya meramu karya jurnalistik berpadu sastrawi tak diragukan lagi. Banyak tulisan profil tokoh pernah digarapnya, kala bersama Tabloid SuaraPublik.
“Saya awalnya hobi menulis. Kemudian ada tawaran menjadi wartawan. Pelatihan jurnalistik saya ikuti. Bahkan Uji Kompetesi Wartawan (UKW) tingkat muda telah saya lalui. Insya Allah kedepan ikut UKW tingkat Madya,” sebut Koordinator Bidang Advokasi Hukum Persatuan Wartawan Indonesia Kota Langsa ini.
Berorganisasi memang menjadi suatu yang penting baginya. Terlebih, melalui organisasi pula dia membuka cakrawala dan pertemanan dengan sesiapa saja, termasuk elit politik dan birokrat. Dikalangan aktivis, ia dikenal sebagai konseptor handal dan acap vokal terhadap kemasalahatan umat.
Baginya, sebagai pemuda harus memberikan konstribusi terhadap daerah, nusa dan bangsa. Caranya melalui pengabdian bersama organisasi kemasyarakatan dan lainnya. Kaum muda dinilai memiliki peran strategis dalam pembangunan. Untuk itu, andil pemuda harus nyata sebagai agen perubahan. Baik melalui karya maupun kontrol sosial terhadap pemerintah dalam membangun daerah.
Untuk mewujudkan terciptanya pemuda handal, kata Putra, dibutuhkan kaderisasi yang maksimal dan berjenjang. Di sinilah fungsi OKP sebagai laboratorium kader yang kemudian dikirim ke jenjang KNPI agar bisa diandalkan sebagai pemimpin masa depan. “Bila OKP laboratorium kader, maka KNPI laboratorium pemimpin muda masa depan dan sebagai wadah pembinaan sekaligus pengembangan sumberdaya pemuda itu sendiri,” ulas Putra.
Menurutnya, KNPI sebagai induk organisasi kepemudaan memiliki tugas utama sebagai pemberdayaan OKP. Kiprah KNPI tidak hanya melaksanakan rutinitas seremoni, melainkan melakukan terobosan guna mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki OKP serta mendayagunakan aparatur KNPI maupun OKP dalam beragam ajang konstestasi maupun peluang peningkatan kapasitas lainnya.
Idealnya, KNPI mendorong program-program OKP. Mensupport OKP dalam melakukan pengkaderan, estafet kepemimpinan dan menjadikan organisasi kepemudaan sebagai lokomotif geliat KNPI yang proses lahirnya berawal dari kepesertaan OKP itu sendiri sebagai pemilik suara.
“Sekarang sudah mulai berwarna. Saat Hari Sumpah Pemuda tahun 2017 misalnya, ketua panitianya pakai baju seragam OKP, sekretarisnya juga. Terus terpampang di baliho, backdroup bersama foto ketua KNPI,” tandas Putra seraya menambah kedepan seluruh program kerja KNPI merupakan titipan prioritas dari usulan OKP yang dilaksanakan pula oleh OKP linear.
“Saya mohon dukungan dari seluruh komponen pemuda khususnya pimpinan OKP pemilik suara. Insya Allah saya maju sebagai calon ketua KNPI 2018-2021, setelah menghantarkan ketua Zulfan demisioner. Saya orang miskin dan calon termiskin yang bercita-cita membangun pemuda melalui progam dan kemitraan. Saya ingin bersanding dalam sebuah persaingan, bukan menciptakan persaingan tanpa persandingan,” demikian Putra Zulfirman.[Sm]