BANDA ACEH - Berbagai pertanyaan dan tanggapan dari tokoh-tokoh politik dan akademisi Aceh dalam acara Round Table Discussion yang digelar Forum Aksi Bersih Pemilu dan Pilkada Aceh (FRAKSI - PilkadA) di Arabia Hotel Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, Jumat (23/02/2018).
Yusmita, Akademisi FISIP UIN AR-Raniry dalam sesi diskusi menyampaikan, Pilkada secara langsung atau pun tidak langsung mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun dalam hal ini ia lebih mengedepankan legitimasi rakyat.
Menurut Fuad Mardhatillah yang merupakan perwakilan dari The Aceh Instute, mengenai Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung, keduanya diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
"Menurut saya, terminologi demokratis yang hari ini kita bicarakan hanyalah secara prosedural saja. Padahal kita juga harus memikirkan terminologi demokratis dalam proses Pilkada tersebut secara substansial seperti yang kita harapkan," ujarnya.
"Secara substansial yang kita harapkan dalam proses Pilkada adalah kita harus mengembalikan proses Pilkada itu sendiri kepada kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpinannya," imbuhnya.
T. Alaidinsyah yang pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Aceh dalam Pilkada 2017 lalu mengatakan, dirinya melihat belum ada peningkatan dari penyelenggara Pemilu. Tidak adanya moral dan etika pihak penyelenggara pada proses Pilkada, bukan hanya KIP, tapi KPU dan lainnya juga.
"Seperti kata-kata nyeleneh Apa Karya saat itu yang membuat kami dipanggil untuk dimintai keterangan," ungkapnya.
"Kemudian, terkait masalah kesehatan juga belum beres. Persyaratan calon Kepala Daerah dari segi kesehatan juga harus diselesaikan secara jelas," imbuhnya.
Sementara itu, Illiza Saadudin Djamal SE, Mantan Wali Kota Banda Aceh mengatakan, Aceh adalah daerah yang melaksanakan syariat Islam berdasarkan sunattullah. Islam sendiri tidak menjelaskan begitu pasti mengenai mekanisme Pilkada, yang dijelaskan hanya mekanisme memilih pemimpin itu harus adil dan musyawarah. Jadi dalam Islam Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung diperbolehkan.
"Baik Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung, kita pilih mana yang mudaratnya paling kecil. Maka dari itu, meminimalisir mudarat itu mekanismenya harus dikembalikan kepada kedaulatan rakyat. Karena kalau pemilihannya ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat dan DPR belum tentu pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang baik," katanya.
Lanjut Illiza, begitu juga dengan mekanisme Pilkada melalui kedaulatan rakyat, rakyat juga belum tentu dapat memilih pemimpin yang baik, karena masyarakat masih tidak mengerti dengan baik untuk memilih pemimpin yang baik. Tapi paling tidak ini mudaratnya lebih kecil dibandingkan pemimpin yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat dan DPR.
Ketua Majelis Seniman Aceh, Syamsuddin Jalil atau yang akrab disapa Ayah menyampaikan bahwa mengenai Pilkada Langsung dan Tidak Langsung keduanya tidak jadi masalah. Mengenai biayanya juga sama saja, kalau Pilkada Langsung memerlukan biaya yang banyak. Misalkan 15 ribu rupiah perorang, sedangkan kalau Pilkada Tidak Langsung mungkin sampai 50 juta, berartikan sama saja.
"Kalau Pilkada Tidak Langsung, jika pemimpin rakyat salah masyarakat tidak saling perang. Tapi ingat, kalau Pilkada Tidak Langsung, inshaAllah pemimpinnya juga lupa dengan rakyat," ucapnya.
Lain halnya yang disampaikan Ifwan Sahara, DPD Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia. Untuk maju di Pileg 2019 ini melalui Partai Hanura, dirinya diminta oleh teman-teman disabilitas. Namun ini juga berat karena keadaan kami yang masih dipandang sebelah mata. Kami merasa terdiskriminasi, jadi kami mohon agar jangan melihat kondisi kami, tapi lihat kemampuan yang kami miliki.[Alex]