JAKARTA - Tahun 2017 menjadi tahun yang cukup mengkhawatirkan bagi para pekerja jurnalistik dan proses kebebasan pers di tanah air. Kebebasan pers yang didapat merupakan salah satu anugerah yang harus kita rawat dan jaga dengan baik. Kebebasan pers tidak berdiri sendiri namun harus dijalankan dengan penuh rasa tangungjawab. Menjunjung tinggi kode etik dan profesionalisme adalah satu keharusan bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Itulah hakekat menjaga dan merawat kebebasan pers.
"Wajah pers di tahun 2017 banyak tercoreng oleh prilaku ketidakprofesionalan para jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Data Dewan Pers menyebutkan setidaknya ada 600 aduan yang terkait masalah pers. Tentu hal ini menjadi salah satu persoalan pers yang harus dipecahkan bersama," ujar Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana dalam keterangan tertulisnya, Minggu (31/12/2017).
Memasuki 2018, menjadi tahun yang sangat krusial bagi eksistensi jurnalis dalam menjalankan tugas tugasnya. Tuntutan profesionalisme serta independensi menjadi suatu keharusan. Mengingat, 2018 merupakan awal tahun politik. Jurnalis dan media memiliki peran penting dalam mengawal proses demokrasi yang tengah berlangsung.
Belajar dari tahun tahun politik sebelumnya, hegemoni kepentingan politik telah membuat para jurnalisnya bimbang di persimpangan jalan sehingga tidak sedikit yang terseret dalam arus keperpihakan dan kepentingan politik. Ini menjadi catatanya sekaligus evaluasi mendalam bagi para jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
"Selain tahun politik, 2018 juga harus menjadi momentum untuk menyelesaikan carut marutnya regulasi dunia penyiaran khususnya televisi. IJTI mendorong agar semua pihak terkait duduk bersama untuk mencapai kata sepakat agar regulasi kepenyiaran bisa mengakomodir kepentingan semua pihak. Terutama kepentingan masyarakat umum," ujar Yadi.
Mengingat tugas jurnalis sepenuhnya menyuarakan kebenaran dan berpihak kepada kepentingan orang banyak, jurnalis Indonesia harus diisi oleh jurnalis yang memiliki INTEGRITAS tinggi.
Karena itu, IJTI menyerukan 7 poin berikut:
1. Dalam menjalankan tugasnya jurnalis televisi harus profesional, berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik dan P3SPS serta aturan yang berlaku.
2. Jurnalis Televisi adalah sosok yang menjaga martabat, berintegritas serta santun dalam bermasyarakat.
3. Jurnalis televisi tidak boleh partisan, pemberitaanya mengutamakan kepentingan orang banyak di atas kepentingan yang lain.
4. Jurnalis televisi harus menjadi pencerah ditengah maraknya berika bohong yang beredar di media sosial dengan menyajikan berita yang benar, berimbang, independen dan berdampak positif bagi orang banyak.
5. Jurnalis televisi harus secara terus menerus meningkatkan kapasitas dan kompetensi sesuai perkembangan zaman.
6. Meminta pada industri pers agar menjamin dan meningkatkan kesejahteraan para jurnalisnya.
7. Meminta kepada pihak terkait menyelesaikan regulasi kepenyiaran dengan mengutamakan kepentingan masyarakat banyak.
Selain rekomendasi di atas, IJTI juga menyampaikan, selama 2017 mencatat terjadi banyak kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan dan intimidasi masih menjadi ancaman utama bagi para jurnalis. Dalam catatan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia IJTI, masih banyak kasus kekerasan dan intimidasi yang menimpa para jurnalis saat menjalankan tugasnya.
IJTI mencatat, 60 kasus kekerasan jurnalis yang terjadi di tahun 2017. Kekerasan paling banyak dialami para jurnalis televisi yakni 25 kasus, selebihnya menimpa jurnalis cetak, radio dan online.Dari segi angka tingkat kekerasan menurun dibanding tahun 2016, namun tetap kondisi ini merupakan ancaman nyata bagi keselamatan para insan pers di tanah air.
IJTI mengadvokasi sejumlah kasus kekerasan yang dialami para jurnalis tv baik di Jakarta maupun di daerah. Dalam tiga bulan terakhir kasus yang diadvokasi diantaranya, kasus kekerasan jurnalis Net tv yang dianiaya oleh okunum TNI di Madiun, kasus kekerasan jurnalis Metro TV yang dianiaya oleh oknum Polisi dan Satpol PP di Purwokerto pada bulan Oktober serta penganiayaan jurnalis Kompas TV saat meliput kegiatan keratif anak muda di kota Sorong, Papua Barat pada November lalu.
"Kekerasan yang menimpa para jurnalis saat menjalankan tugasnya dilakukan oleh berbagai pihak, baik oknum aparat maupun masyarakat sipil. Ada sejumlah faktor yang membuat kekerasan terhadap jurnalis kerap terulang, seperti; lemahnya penegakan hukum bagi pelaku kekerasan serta minimnya pemahaman akan tugas jurnalistik yang dilindungi oleh undang-undang," kata Yadi.
Salah satu contoh penegakan hukum yang tidak maksimal, seperti terlihat dalam penanganan kasus kekerasan yang menimpa salah satu jurnalis tv di Medan, Sumatera Utara. Dimana dalam sidang dengan terdakwa oknum anggota TNI AU hanya diberi hukuman 6 bulan penjara. Aksi kekerasan yang masih sering dialami para jurnalis serta lemahnya penegakan hukum tentu tidak bisa dibiarkan.
Oleh karenanya IJTI meminta agar di tahun mendatang upaya penegakan hukum bagi kasus yang menimpa para jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya harus dilakukan secara sunguh-sungguh. Dengan demikian kekerasan terhadap jurnalis bisa diminimalkan.
Selain kekerasan, ancaman lain yang dihadapi para jurnalis adalah bentuk kriminalisasi serta keberadaan pasal karet seperti yang tertuang dalam UU ITE. Pasal ini seringkali digunakan sejumlah pihak untuk menjerat para jurnalis.
Tahun 2018 adalah tahun politik, di mana pemberitaan akan banyak dihiasai oleh berita-berita politik dan kooptasi kepentingan, kekerasan juga dimungkinkan terjadi karena dampak dari pemberitaan dan cara kerja jurnalis di lapangan. IJTI mengajak kepada seluruh jurnalis di tanah air untuk mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bekerja dengan profesional. Tampilkan wajah jurnalis yang profesional, berintegritas dan memegang teguh etika.[Okezone]