BANDA ACEH - Tanpa terasa, tahun 2017 akan segera berlalu dan kita semua segera melangkah ke tahun baru 2018. Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah yang dilantik sebagai Gubernur Aceh dan Wakil Gubernur Aceh pada tanggal 5 Juli 2017 oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia telah berjalan lebih kurang 7 bulan atau setengah tahun lebih.
Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Hijau Aceh, Plt Ketua DPW SHI Teuku Muhammad Zulfikar mengungkapkan ada beberapa catatan berbagai informasi terkait lingkungan yang diperoleh bahwa pada awal tahun 2017. Berbagai aktivitas illegal kehutanan dalam bentuk perburuan, perambahan, pembalakan liar dan pembangunan jalan terus berlanjut di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Selain itu, buruknya tata kelola lingkungan dan kehutanan Aceh juga mempengaruhi kerusakan hutan dan lingkungan di Aceh.
"Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan Aceh/kabupaten/kota disusun secara komprehesif sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dengan memperhatikan nilai-nilai islam, sosial budaya, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan," jelasnya, Sabtu (31/12/2017), dalam rilisnya.
Dijelaskannya, hasil evaluasi yang telah dilakukan terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) Tahun 2012 -2017, ternyata banyak program-program yang direncanakan sebelumnya namun tidak bisa dilaksanakan dikarenakan kondisi dan situasi yang terjadi berbeda dengan yang diharapkan. Belum terpadunya pembangunan sosial, ekonomi dengan lingkungan hidup sebagai penerapan konsep pembangunan berkelanjutan seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjadi permasalahan utama dan mendasar pada bidang ini.
"Permasalahan lain pada bidang ini terindentifikasi diantaranya kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang memadai sesuai aturan yang berlaku, belum adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) di hampir semua regulasi dan kebijakan yang ada. Kemudian masih terjadinya perusakan hutan secara masif oleh berbagai praktek pertambangan illegal dan perambahan hutan dan illegal logging, lemahnya perlindungan dan penegakan hukum terkait lingkungan, lemahnya kemitraan antara petani dan masyarakat perhutanan dengan sektor swasta dan pemerintah, rendahnya kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan, kurangnya integrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan antar sektor," sebutnya.
Selain itu, kata dia, persoalan tata ruang yang kurang berwawasan lingkungan dan belum mengakomodir pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai kawasan strategis nasional, banyaknya usaha pemanfaatan sumber daya alam (SDA) di Aceh yang masih bermasalah, tingginya intensitas konflik manusia dan satwa liar, belum optimalnya skema pengendalian perubahan iklim dan mekanisme kompensasi jasa lingkungan, tidak adanya lembaga yang mengkoordinasikan isu-isu Aceh Hijau (Green) dalam pemerintahan dan adanya gap regulasi terkait berbagai isu lingkungan, tidak termanfaatkannya Tim Pengamanan Hutan (Pamhut) dan rangers dengan baik. Selanjutnya, kurangnya tenaga dalam bidang Amdal yang bersertifikasi dan bekerja dengan profesional, amanah dan demi kepentingam perlindungan lingkungan untuk masyarakat banyak.
"Belum maksimalnya pemanfaatan kekhususan Aceh dalam mengelola sumber daya alam Aceh, belum kuatnya wilayah kelola dan kelembagaan adat dalam mengelola hutan di Aceh. Belum maksimalnya pemanfaatan sumber daya perikanan dan pesisir secara berkelanjutan, meningkatnya keterancaman beberapa spesies yang kritis terancam punah (misalnya: Badak, Gajah, Orangutan, dan Harimau). Belum ada media edukasi bagi masyarakat dalam bidang konservasi, masih kurangnya pengelolaan kawasan konservasi laut, masih lemahnya pengelolaan sumber daya air dan wilayah sungai, serta belum terimplementasinya nilai-nilai Sustainable Development Goals (SDGs) dan tujuan pembangunan berkelanjutan dalam berbagai program Pemerintah Aceh," ungkapnya.
Masih kata dia, permasalahan lainnya yang sangat mendasar adalah sebagaimana kita ketahui bahwa Aceh merupakan wilayah rawan bencana tertinggi, seringnya terjadi banjir mengingat kondisi hidrologi wilayah Aceh dengan curah hujan yang tinggi, makin seringnya terjadi bencana kekeringan, kebakaran hutan dan kegagalan teknologi akibat berbagai industri di Aceh. Belum baiknya sistem tata kelola penanggulangan bencana, rendahnya tingkat kesiapsiagaan masyarakat berdomisili di daerah yang rentan bencana karena kurangnya kapasitas masyarakat sehingga tingkat risiko bencana menjadi lebih tinggi dan belum adanya sistem pendidikan tentang kebencanaan secara dini dimulai dalam keluarga untuk anak dan remaja.
Untuk itu, Teuku Muhammad Zulfikar menegaskan sudah seharusnya Pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang sensitif terhadap risiko bencana alam (Aceh Green) sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur Aceh Periode 2017-2022 dalam Visi dan Misi mereka saat kampanye, hingga setengah tahun masa jabatan berlalu bisa kami katakan masih sebatas wacana saja, sehingga diharapkan dapat secepatnya diaplikasikan segera di Tahun 2018 nanti.
"Program pembangunan daerah yang akan dilaksanakan untuk mencapai Aceh Green antara lain; Program perencanaan tata ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, pengendalian kebakaran hutan, pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut, program pemanfaatan potensi sumber daya hutan, pengendalian Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, perlindungan dan konservasi sumber daya hutan, program pengendalian perubahan iklim, perlindungan dan konservasi sumber daya alam, pengawasan dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi merusak lingkungan, pengembangan data/informasi, pencegahan dini dan penanggulangan korban bencana alam, perencanaan pembangunan daerah rawan bencana serta berbagai program tambahan lainnya yang mendukung Aceh Green," pungkas Teuku Muhammad Zulfikar.[*]