-->

DR. Rusly, MPD: Soal Simbol-simbol Aceh, Samakan Indikator Peradabannya!

15 Desember, 2017, 10.25 WIB Last Updated 2017-12-15T03:25:55Z

 
BANDA ACEH - DR. Rusly, MPD, hadir sebagai narasumber dalam diskusi publik yang dilaksanakan Forum Gerakan Marwah Aceh (FGMA) bertema "Bendera Pemersatu untuk mewujudkan Aceh Damai, Aceh Hebat dalam rangka mengembalikan marwah Aceh Ban Sigom Donya, bertempat di Hotel Regina Kuta Alam, Banda Aceh, Kamis (14/12/2017).

Mewakili Prof. Syahrizal selaku Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas) Aceh, DR. Rusly, MPD, mengungkapkan ada beberapa pokok pikiran menyangkut bendera yang menjadi persoalan di republik ini. Diawali dengan social cost, ada interaksi sosial manusia dengan manusia, kelompok, lingkungan dan sang Pencipta. Relasi sosial tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Dalam struktur masyarakat apapun struktur sosial tidak bisa dilepas dengan kekuasaan. Sangat diwarnai oleh satu pemikiran biorical imprealism. Setiap sel makhluk pasti dia ingin dominan dan berkuasa.

“Kalau kita tanam rumput gajah disamping rumah kita dan rumput lain akan terpinggirkan. Cuma karena manusia ini melahirkan etika, boleh kita dominan, boleh saya mengambil uang teman lain dengan cara diskusi, negosiasi, pinjam dan itu dinamakan moralitas,” katanya berumpama.

Menurutnya, suatu bangsa dianggap hebat, bermartabat, punya budaya tinggi kalau dia mampu melakukan komunikasi sosial yang benar dan martabat itu. Apakah dalam proses tidak ada saling membunuh dan meniadakan? Terjadi dimana-mana tentunya ada proses-proses perbaikan yang dinamakan kestabilan yang terjadi dalam masyarakat.

Selanjutnya, kata dia, yang kedua akibat dari menilai sesuatu, mengalami dan muncul persepsi kita terhadap sesuatu maka lahirlah simbol-simbol tertentu. Simbol tentunya dimaknakan menurut keinginan kita. Orang lain memaknakan menurut orang lain dan disinilah terjadi dialektika dalam kehidupan social terjadilah bunuh membunuh dan pemusnahan dan dari itu muncul perspepsi.

“Dalam suatu peristiwa itu muncul berdasarkan pengalaman-pengalaman kita sebelumnya. Saya ingat betul sebelum Danish menulis betul tentang Raja-raja Aceh seolah-olah di Aceh tidak ada sumber pemerintah yang hebat. Christiaan Snouck Hurgronje menggambarkan struktur kehidupan masyarakat Aceh tanpa mempromosikan dalam kontek Kesultanan. Kenapa itu tidak dilakukan, dia misi penjajah supaya persepsi orang Aceh tidak terkait dengan kekuasaan baru. Setelah itu ditulis Danish ada Sultan Iskandar Muda. Dalam sisi kongnitif kita ada pemahaman historis Aceh,” urainya.

Dikatakannya lagi, bendera Aceh dibentuk tentunya dari pemahaman historis kita dan nilai bisa berkembang dengan proses dominan tadi. Kemudian orang lain menganggap bendera sebagai symbol dan dikaitkan dengan historical mereka, maka muncul dialektika. Persoalannya mampukah kita membangun komunikasi politik secara intens untuk mengubah itu menjadi persepsi kita bersama? Supaya dipersepsikan sama oleh orang yang berbeda. Itulah symbol dari seluruh masyarakat Aceh, sah-sah saja tidak menjadi persoalan. Kenapa jadi persoalan kalau ada paradox simbol-simbol yang dibangun dengan komitmen bersama.

“Dalam perspektif MoU Helsinki dan UU itu sudah jelas digambarkan hal itu. Mana kekuasaan otonomi daerah Aceh mana kekuasaan Pemerintah Pusat. Tapi itu belum cukup karena persepsi tadi. Yang tidak kita lakukan membangun komunikasi yang intens dengan semua pihak sehingga simbol-simbol bisa diterima secara bersama, itulah yang namanya peradaban. Peradaban itu indikatornya kebersamaan, kesejahteraan, humanis dan nilai kemanusiaan dan tidak diskriminatif,” tegasnya.

Orang berontak, masih kata DR. Rusly, tidak senang kepada sesuatu kelompok disebabkan diskriminatif dalam masyarakat itu. Kalau kita baca sejarah Aceh tahun 1946, kelompok penguasa saat itu menguasai aset-aset dan dia punya sawah 16 bunca per orang sedangkan pihak-pihak lain tidak punya. Penguasaan ekonomi akan melahirkan gerakan-gerakan untuk melakukan perbaikan ke arah itu. Akibat proses dialektika itu kita harus memaknakan kita harus mencari simbol-simbol yang lebih apreatif dan tidak paradox dengan keinginan lain, disitulah seni dalam komunikasi. Komunikasi yang ktia bangun bukan pokoknya kita akan pasti kalah itu persoalan utama. Apakah dosa kita memperjuangkan? Tidak. Karena nasionalisme, apakah ke-Acehan. Nasionalisme persepsi kita terhadap negara semakin kita kupas semakin tidak ada dia seperti bawang merah dan putih. Yang perlu kita pertahankan adalah bagaimana lapisan satu bawang dengan lain tetap dijaga menjadi kebijakan-kebijakan yang benar. Kalau masyarakat merasa tidak tersantuni dan terjadi senggang antara kaya dan miskin maka nasionalisme tidak akan terbentuk. Agar ada kedamaian di Aceh, bagaimana SDA yang tersedia harus mengacu pada kebijakan tersebut.

Lanjutnya lagi, pertama adalah bagaimana leadership kita jangan transaktional unsip. Sangat material tidak punya transformasi Aceh kedepan bagaimana? Kalau dikasih project namanya project instant makanya ketika kita enak disitu kita melupakan yang lain. Karena itu kepemimpinan dan perlu dijaga komitmen menjadi penting dan bendera sebagai symbol dan bagaimana implementasi dari kebijakan pemerintah dan negara memperkukuh persaudaraan kita. Masalah himne saja menjadi persoalan. Non pesisir ada penolakan terhadap itu karena bahasa Aceh. Kenapa tidak bentuk arrangement dalam bahasa Gayo, bahasa Singkil dan lainnya.  Itu yang tidak dan menjadi carier dalam membangun Aceh yang damai dan sejahtera kedepan.

Intinya nilai-nilai komunikasi politik harus intens dan bisa dilakukan oleh teman-teman kita dari gerakan ini. Sehingga muncul persepsi antara dulu dengan sekarang sangat jauh dan kurang terbedaya dalam membangun simbol-simbol itu. Bendera itu kita yang maknakan, kalau bendera itu lain akan menjadi lain melalui proses persepsi kita. Bagaimana mensosialisasikan hal itu? Yang kedua adalah kita harus mengawal pemerintah itu dengan prinsip-prinsip yang benar, prinsip good government. Kata dia, transaksi yang benar.

“Yang ketiga Gerakan Aceh Merdeka nilai bagaimana membangun roh martabat itu dan itu yang masih belum kita praktekkan dalam kehidupan ekonomi, politik dan yang lain. Kalau itu kita praktekkan tidak akan terjadi gerakan-gerakan lain yang disebabkan perbedaan pendapatan tadi. Paling penting dimana roh itu menjadi kekuatan yang kita lakukan dan impikan. Kalau dalam hidup tanpa ada sesuatu yang kita impikan dan takutkan dalam istilah Prof. Salim Said akan menjadi berbahaya dan kita tidak pernah maju. Makanya roh spirit perjuangan menjadi rasa kagum kita dan gerakan kita berdasarkan prinsip benar untuk kemaslahatan kita bersama dan bangsa Aceh. Bangsa Aceh bukan pesisir dan semua bagian biarpun dia penutur bahasa yang sangat kecil,” tutup DR. Rusly dalam penjelasannya.[*]
Komentar

Tampilkan

Terkini