JAKARTA - Gerakan Rakyat Menggugat (GeRAM) mengadakan konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/11/2017), mempertanyakan Pengadilan Meulaboh menerima Gugatan PT Kalista Alam yang disidangkan hari ini sementara putusan Mahkamah Agung yang sudah Inkracth eksekusinya diabaikan sampai sekarang.
Pada tahun 2014, PT Kalista Alam (PT KA) telah dinyatakan bersalah melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar lahan Gambut Rawa Tripa, di Kabupaten Nagan Raya. Kejadian tersebut menyebabkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat PT KA di Pengadilan Negeri Meulaboh. Rawa Tripa merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser yang terkenal. Sebelum pengrusakan, Rawa Tripa dikenal di dunia sebagai “Ibukota Orangutan di Dunia” karena kepadatan polulasinya. Pada tingkat pengadilan pertama, Pengadilan Negeri Meulaboh di Aceh Barat memerintahkan PT KA membayar Rp. 114.3 milyar, setara dengan 8.5 juta USD kepada negara, dan Rp. 251.7 milyar atau setara dengan USD 18 juta untuk memulihkan kawasan seluas 1000 hektar lahan yang dibakar. PT KA tidak menerima putusan tersebut dan melakukan banding di Pengadilan Tinggi Aceh dan terakhir, melakukan kasasi, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi PT KA dan memerintahan kepada PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT KA.
Putusan MA adalah kemenangan penting bagi pemerintah dan kemenangan hukum perlidungan lingkungan di Indonesia. Lebih signifikan, bagi masyarakat lokal, kemenangan ini adalah keadilan dan inisiasi penting bagi usaha pemulihan di Tripa. Pada September 2015, Mongabay, mengutip Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan, “Kami sangat mengapresiasi terhadap keputusan pengadilan. Di samping memimpin, rasa keadilan bagi masyarakat harus dipenuhi, dan saya akan menindaklanjuti perkembangan ini dengan mengeksekusikan keputusan tersebut.”
Namun dua tahun setelah putusan MA, eksekusi terhadap putusan belum dilakukan. Harli Muin, pengacara GeRAM _sebuah gerakan yang berasal dari pembela lingkungan di seluruh Wilayah Kawasan Ekosistem Leuser_ menjelaskan tujuan konprensi pers hari ini, “KLHK telah menyampaikan permohonan eksekusi putusan Inkracth kepada Ketua PN Meulaboh, dan PN Meulaboh tidak memiliki alasan yang kuat untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan tersebut.”
“Kami tahu bahwa PT KA melakukan Peninjauan Kembali (PK) pada September 2016. Namun, menurut Pasal 66 ayat 2 UU No.14 Tahun 1985, PK tidak dapat menunda pelaksanaan eksekusi,” tegas Harli.
Juru bicara GeRAM, Fahmi Muhammad, menyatakan, 18 April 2017, MA sudah menolak permohonan peninjauan kembali PT KA, jadi PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan. Kami kaget mengetahui bahwa pada tanggal 20 Juli, Ketua PN Meulaboh memberikan Penetapan Perlidungan hukum terhadap PT KA dengan No. 1/Pen/Pdt/eks/2017/Pn.Mbo.
Kemudian PT KA melakukan gugatan terhadap KLHK, Ketua Koperasi Bina Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh dengan perkara No. 14/Pdt.G/Pn.Mbo. Pengadilan Negeri Meulaboh menyatakan eksekusi keputusan tahun 2014 tidak bisa dilaksanakan sampai ada keputusan terhadap gugatan baru.
"Sebenarnya, tidak ada gugatan baru yang diajukan oleh perusahaan bisa membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan," kata Fahmi. “Dan juga tidak ada justifikasi untuk memberikan terdakwa ‘perlindungan hukum’. Apa yang dilakukan Ketua PN Meulaboh membingungkan, kecuali PT KA mencari-cari alasan menghindari membayar dan PN Meulaboh mencari alasan untuk menundah pelaksanaan eksekusi,” lanjutnya.
Lahan Gambut Rawa Tripa merupakan salah satu lahan gambut dari tiga lahan gambut terluas di Aceh, dengan kedalaman mencapai 12 meter dan memainkan peran penting bagi penyerapan karbon di Aceh. Jutaan ton karbok lepas ke atmosfir setiap tahunnya dengan cara pembakaran hutan gambut dan merupakan masalah di Indonesia. Kejadian ini, tidak saja membebani ekonomi Indonesia, tetapi juga kesehatan dan keamanan warga negaranya, dan juga merugikan negara tetangga, seperti Singapura, dan juga berkontribusi terhadap perubahan Iklim Global. Seperti diketahui dari sejumlah Penelitian, Lahan gambut di Aceh diperkirakan menyerap 1200 ton per-hektar karbon. Selain fungsi menyerap karbon, lahan gambut juga dapat mencegah banjir, mendukung nelayan dan menyediakan keragaman habitat bagi keragaman spesies.
“Pengrusakan lahan Gambut Tripa merupakan tragedi lingkungan dan tidak diperbolehkan terjadi untuk kedua kalinya. Jika PT KA dapat menjauh dengan menghindari keadilan, ini merupakan kejadian yang mengerikan bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Dampak selanjutnya, perusahaan serupa akan berani melakukan pengrusakan lingkungan secara ilegal untuk mencari keuntungan jika mereka melihat kesempatan yang baik dapat mempermainkan hukum di Indonesia,” tutup Harli.
GeRAM telah melakukan demonstrasi di depan PN Meulaboh terhadap penundaan putusan eksekusi pada 26 Oktober lalu. Salah satu demonstran, Chrisna, menyatakan, “Dua tahun lalu, kita telah memenangkan kasus bersejarah tersebut. Kami merasa frustasi karena sekarang harus berdemo lagi agar pengadilan peduli terhadap proses yang sudah berjalan. Kenapa putusan MA harus ditunda lebih lama. Masyarakat kehilangan hak mereka terhadap lingkungan yang baik dan semakin lama pihak perusahaan tidak melaksanakan restorasi di Tripa, dampaknya semakin besar. Kami hanya ingin keadilan di negeri ini ditegakkan.”
PT KA adalah perusahaan sawit pertama yang menerima denda yang sangat besar akibat pengrusakan lingkungan hidup. Sejak putusan tersebut, ada beberapa perusahaan lain yang juga telah didenda akibat pengrusakan lingkungan, seperti PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Selat Nasik Indokwarsa, namun belum membayarkan denda kepada negara.
“Kerugian negara sebanyak jutaan dolar terus berakumulasi untuk Indonesia sementara perusahaan bebas dari hukuman. Waktu terus berputar untuk kesempatan kita memulihkan kerusakan lahan gambut dan hutan hujan tropis dan bekerja memenuhi target pengurangan emisi karbon,” kata Fahmi.[*]