BANYUMAS - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Tengah prihatin dan mengutuk kekerasan oleh aparat Kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Banyumas terhadap para wartawan yang tengah meliput peristiwa aksi Komunitas Selamatkan Slamet di halaman kantor bupati setempat, Senin (09/10/2017) sekitar pukul 22.00 WIB.
Sejak pukul 10.00 WIB, para wartawan media cetak, online, televisi, dan radio Banyumas meliput aksi Komunitas Selamatkan Slamet, yang dimulai dari Kampus IAIN Purwokerto hingga Alun-alun Purwokerto, tepatnya di depan pintu gerbang Pendopp Sipanji atau Kantor Bupati Banyumas.
Ratusan orang dari berbagai elemen di dalam komunitas tersebut meminta agar Bupati Achmad Husein membuat rekomendasi kepada Presiden RI Joko Widodo untuk menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Baturraden. Pembangunan itu dinilai menyebabkan kerusakan lingkungan, yang akan berdampak kepada warga, terutama terkait sumber air bersih dari hutan Gunung Slamet. Beberapa waktu belakangan, air berubah keruh sehingga tidak bisa digunakan.
Tidak ditemukan kata sepakat antara Aliansi Selamatkan Slamet dengan Pemerintah Kabupaten Banyumas. Peserta aksi bertahan di sebelah utara alun-alun hingga Senin malam dengan mendirikan tenda. Sekitar pukul 22.00 WIB, aparat Kepolisian dan Satpol PP berupaya membubarkan massa.
Pada saat itulah, menurut kesaksian Agus Wahyudi dan Dian Aprilianingrum (Suara Merdeka), M. Wahyu Setiya Putra (Radar Banyumas), Aulia El Hakim (Satelit Pos), dan Darbe Tyas (Metro TV), polisi menghalang-halangi wartawan dengan meminta untuk tidak mendokumentasikan pembubaran massa. Darbe Tyas dipukuli oleh oknum Polisi dan Satpol PP, sehingga mengalami luka-luka. Kameranya juga dirampas.
Atas kejadian tersebut, PWI Provinsi Jawa Tengah menyampaikan keprihatinan yang mendalam, dan mengutuk keras sebagai perilaku yang menghalang-halangi wartawan dalam menjalankan tugas profesinya untuk mencari berita.
"Dalam menjalankan tugas profesinya wartawan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," demikian tegas Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS didampingi Sekretaris Isdiyanto Isman dan Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan, Ade Oesman, Selasa (10/10/2017).
Atas nama apapun, kekerasan tidak dapat dibenarkan sebagai tindakan melawan hukum. Untuk itu, PWI Provinsi Jawa Tengah menyampaikan sikap sebagai berikut:
1. Mengutuk tindakan penghalang-halangan terhadap tugas wartawan dan kekerasan oleh aparat kepolisian dan Satpol PP yang menimpa wartawan di Banyumas. Tindakan kekerasan tersebut bertentangan dengan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers, khususnya Pasal 3 Ayat 1, bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Lalu Pasal 4 Ayat 3, bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemudian Pasal 6 butir a, bahwa pers nasional melaksanakan peranannya, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
2. Mendesak Kepolisian Resor Banyumas agar menindak pelaku tindak kekerasan tersebut, baik perseorangan maupun kelompok sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk memprosesnya dengan mekanisme Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
3. Meminta kepada Kapolres Banyumas dan Bupati Banyumas untuk meminta maaf secara terbuka kepada insan pers di Banyumas khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
4. Meminta kepada Kapolres Banyumas dan Bupati Banyumas untuk mengembalikan sejumlah barang milik wartawan yang hilang di dalam peristiwa tersebut, serta mengganti kerusakan yang ditimbulkan.
5. Mengimbau kepada warga masyarakat, terutama pejabat pemerintah dan aparat keamanan untuk membudayakan sikap mendahulukan dialog ketimbang kekerasan dalam hal apapun.[*]