JAKARTA - Janji pemerintah menyelesaikan perundingan lima poin dengan Freeport rampung pada 10 Oktober 2017, kini tak terbukti. Bahkan, CEO Freeport McMoRan Inc, Richard Adkerson mengirimkan surat ke Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang isinya menolak posisi pemerintah, terutama soal valuasi harga divestasi 51% yang dihitung hanya sampai tahun 2021.
Chalid Tualeka, Ketua Komite Pusat Forkom Indonesia (KKP Forkom Indonesia) menilai, dengan penolakan proposal pemerintah, maka upaya mengambil alih aset nasional itu, bisa menjadi macet.
Menurut Chalid, ada banyak faktor yang menyebabkan mandegnya negosiasi pemerintah Indonesia terhadap Freeport. Salah satunya adalah belum kompaknya eksekutif dan legislatif.
"Jika ingin membuat multinational corporate tunduk, seperti Freeport, negara harus kompak.Pemerintah melalui Menteri ESDM harus duduk bersama dengan kementerian lain. Tidak hanya sesama eksekutif, tapi juga legislatif," ujar Chalid, dalam Keterengan Pers, Rabu (11/10/2017).
Chalid Tualeka menyayangkan beberapa kementerian yang terkesan jalan sendiri-sendiri. Sehingga, Freeport, bisa seenaknya menolak proposal pemerintah.
"Menteri keuangan, Menteri ESDM, Menteri BUMN menjalankan perintah dan arahan presiden, mereka harus satu suara. Jangan lupa juga ada Komisi VII DPR RI yang memiliki kewenangan di bidang yang sama," tegas Chalid.
Menurut Chalid, dalam kasus Freeport, pemerintah harus satu suara dalam menyusun kebijakan terkait Freeport. Seluruh pemangku kebijakan, kata Chalid, harus menyamakan sudut pandang dan satu visi bahwa Freeport harus memberi manfaat besar bagi bangsa negara.
"Jangan sampai diam-diam ESDM keluarkan izin ekspor tiga bulan untuk Freeport. Berbahaya, bisa kebablasan," tandasnya.
Forkom Indonesia mendesak pemerintah agar bergerak cepat, tidak takut, dalam melakukan negosiasi dengan Freeport dan jangan lagi ada kompromi yang ujungnya merugikan kepentingan rakyat.
Untuk itu, Forkom Indonesia mendesak agar DPR RI harus membuat Panitia Kerja (Panja) khusus Freeport, agar negosisasi tidak jalan ditempat dan memperkuat daya tawar pemerintah.
"Bila Freeport tidak tunduk dan ikuti kebijakan pemerintah, panggil ke senayan sebagai rumah rakyat Indonesia. Masak kita kalah dengan maling di rumah sendiri," tegas Chalid.
Forkom mengingatkan, jangan lagi Freeport dikuasai dan dinikmati asing. Freeport adalah kekayaan bangsa yang mesti dinasionalisasi tanpa syarat, sebagai kekayaan bangsa dan negara.
Freeport yang merupakan perusahaan tambang emas di Papua, harus dikelola bangsa ini sebagai sumber ekonomi negara.
Selama ini, Freeport yang dikuasai asing tidak memberi kontribusi bagi pembangunan. aatnya Freeport dimiliki sendiri bangsa ini, untuk memperkuat bangsa dan negara.
Sejak 1967 Freeport menguras kekayaan papua. Justru yang terjadi dan dirasakan langsung oleh rakyat Papua akibat ekploitasian besar-besaran PT. Freeport ialah hilangnya tanah adat karena di rampas.
Tercemarnya lingkungan di sepanjang aliran-aliran sungai serta penindasan dalam bentuk pelanggaran hak asasi manusia selama hampir 50 tahun sejak berdirinya Freeport.
"Jangan sampai, divestasi saham Freeport hanya melanggengkan oligarki kekuasaan asing maupun nasional," tegas Chalid.[*]